RESUME
BUKU
TEORI
COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL
Oleh
: Ahmad Damiri
A.
Biografi dan
Karya-karya G.H.A Juynboll
Gautier
H.A Juynboll yang lahir di Leiden, Belanda pada 1935 adalah seorang pakar
dibidang sejarah perkembangan awal hadits. Selama tiga puluh tahun lebih ia
secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari
persoalan klasik hingga kontemporer. Kepakaran murid J. Brugmen ini dalam
kajian sejarah awal hadits, menurut P.S. van Koningsveld, telah memperoleh
pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak diragukan ketokohannya dalam
bidang itu dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti James Robson, Fazlur
Rahman, M.M Azami, dan Michael Cook.
Dalam
pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic
Hadith, Juynboll mengklaim telah menjelaskanperkembangan penelitiannya atas
literatur haduts secara kronologis sejak akhir tahun 1969-an hingga 1996.
Semasa
menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung bersama sekelompok kecil orang untuk
mengedit satu karya yang kemudian menghasilkan separo akhir dari kamus Hadits, Concordance et indices de la tradition
musulmane, tepatnya dari pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya
tersebut. Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands
Organisation for the advecement of pure Research (ZWO). Juynboll hingga di
Mesir untuk melakukan penelitian Disertasi mengenai pandangan para teolog Mesir
terhadap literatur Hadits, akhirnya, Disertasi yang disusunnya itu dapat
dipertahankan di depan komisi senat pada kamis, 27 Maret 1969, pukul 14.15,
dalam rangka meraih gelar doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Leiden, Belanda.
Setelah
disertasi tersebut diterbitkan oleh penerbit E.J. Brill, Leiden, pada 1969,
Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang
klasik maupun kontemporer. Pada 1974, ia menulis makalah bertitel: “on The
Origins Of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku, Studies On The First
Century Of Islamic Society. Sejak saat itu, ia memusatkan perhatiannya pada
studi hadits dan tidak pernah meninggalkannya lagi.
Selain
meneliti, Juynboll yang dalam beberapa kesempatan sering mengatakan, “seluruhnya
akan kupersembahkan untuk hadits nabi,” juga mengajar di berbagai Universitas
di Belanda. Hanya saja, kegiatan mengajar para mahasiswa yang sedang menulis
tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Sebagai seorang ilmuan Swasta (Private
Scolar), ia tidak terikat dengan Universitas manapun dan sebagai akibatnya
tidak mempunyai jabatan akademis sebagaimana para ilmuan besarlainnya. Oleh
karena itu kegiatan sehari-harinya adalah sebagai Daily Visitor di
perpustakaan Universitas Leiden. Belanda. Untuk melakukan penelitian hadits
khususnya diruang baca koleksi perpustakaan Timur Tengah Klasik (Oriental
Reading Room) , di bawah seorang supervisor bernama Hans van de Velde.
Diusianya yang telah menginjak 69 tahun itu, Juynboll tinggal di Burggravenlaan
40 NL-23 HW Leiden, Belanda.
Sebagai
seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang studi Hadits, Juynboll telah
menghasilkan sebuah karya, baik dalam bentuk buku maupun artikel, yang pada
gilirannya ikut memberikan sumbangan terhadap studi haditsnpada khususnya dan
studi islam pada umumnya. Sebagian besar pemikirannya, terutama yang terkait
dengan studi hadits dan teori Common link, di elabiorasi dalam tiga
bukunya, The Autentifity of the Tradition Literature: Discusion in Modern
Egypt. Muslim Tradition. Studies in Chronology. Provenance and Authorshipof
Early Hadith. Dan Studies on the origins and Uses of Islamic Hadits. Oleh
karena itu tidak salah jika penulis memberikan perhatian perhatian khusus
kepada tiga karya tersebut dan kemudian mengemukakan kandungannya secara
ringkas.
The
authentificity of The Tradition Literature adalah
karya orisinal Juynboll yang berdasarkan berbagai sumber klasik dan kontemporer
mengkaji pendapat-pendapat para teo;og muslim mesir tentang keshahihan hadits
nabi. Dalam pendahuluan buku ini dia menjelaskan pendapat para orientalis,
seperti A. Sprenger, orang pertama yang menganggap sebagian besar hadits palsu,
G. Weil, W. Muir, dan R.P.A. Dozy yang menyatakan, setidak-tidaknya separo
hadits yang terdapat dalam koleksi al-Bukhari adalah otentik.
Pada
bagian selanjutnya Juynboll mengupas pendapat Ignaz Goldziher dan Joseph
Schacht serta pendapat para pemikir hadits modern, seperti Fuat Seizgen dan
Fazlur Rahman tentang kedudukan hadits dalam Islam. Menurutnya, Goldziher telah
berkesimpulan bahwa jarang sekali sebuah hadits dapat dibuktikan sebagai
perkataan nabi atau deskripsi mengenai perilaku nabi yang asli dan dapat
dipercaya. Literature hadits, kata Goldziher, merupakan akibat Dari
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama.
Sedangkan Joseph Schacht mengatakan isnad sebenarnya memiliki
kecenderungan berkembang ke belakang. Pada awalnya, hadits hampir tidak pernah
kembali kepada nabi atau sahabat sekalipun, tetapi disebarkan berdasarkan
otoritas para tabiin. Dikemudian hari, hadits sering kali dikembalikan kepada
seorang sahabat dan akhirnya kepada nabi sendiri.
Berbeda
dengan Goldziher dan Schacht, Fazlur Rahman yang diharapkan dapat menjembatani
jurang antara kesarjanaan barat dan nilai-nilai islam ortodoks, memperkenalkan
konsep-konsep kesinanambungan sunah nabi dan praktek keagamaan umat islam.
Menurutnya konsep sunah nabi sudah dipakai pada masa nabi sendiri. Dengan
berbagai argumen, ia menegaskan bahwa sunah, sebagaimana dihimoun dalam koleksi
hadits, mencakup perilaku nabi. Dengan kata lain, ia menghembuskan semangat
nabi. Oleh karena itu, literature Hadits harusnya tidak dianggap sebagai data
sejarah yang tidak dapat dipercaya sama sekali dan dibuang secara keseluruhan.
Meskipun bagian yang dianggap mewakili sunah nabi itu sedikit, sisanya
merefleksikan sunnah yang hidup (Living Tradition), sementara sunah yang
hidup merupakan penafsiran dan perumusan progresif dari sunnah nabi. Sementara
itu, Fuat Seizgin lebih mengarahkan perhatiannya pada problem penulisan Hadits
yang berujung pada bukti mengenai kesejarahan isnad Hadits. Ia merevisi
kesimpulan Goldziher tentang kronologi penulisan Hadits. Baginya, aktivitas
penulisan Hadits telah dipraktekan pada masa yang lebih awal dapida yang
dipahami oleh Goldziher.
Setelah,
di dalam buku ini Juynboll juga mengemukakan definisi-definisi Islam ortodoks
tentang beberapa istilah teknis dan ringkasan historis mengenai evolusi Hadits
dalam islam dengan menekankan adanya jarak satu abad dari masa nabi hingga masa
umar bin abdul aziz dalam masalah penulisan Hadits. Secara umum, diskusi
mengenai keshahihan Hadits dalam karya tersebut didasarkan pada beberapa
persoalan, seperti persoalan tadwin (penulisan Hadits), ‘adalah
(keadilan), wadh, periwayatan Hadits, israiliyat, dan Hadits-Hadits
tentang pengobatan.
Pada
bagian selanjutnya, Juynboll menguji kesuksesan sejumlah teolog mesir, seperti
muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Mahmud Abu rayyah yang menyoroti keshahihan Hadits.
Dalam bab II buku tersebut dikatakan bahwa sejak awal, Muhammad Abduh yang
merasa kesulitan untuk menentukan Firqoh yang selamat dalam Hadits sataftariqu
Ummati, tidak bermaksud menolak sebagian besar Hadits sebagai tidak
relevan, tetapi dia hanya berusaha untuk melepaskan diri dari ketundukan (taqlid)
kepada para ulama sebelumnya, termasuk para teolog dan ahli Hadits.
Pada
Bab III, Juynboll membicarakan pandangan kritis Rasyid Ridha tentang Hadits,
menurutnya, Ridha sangat menghargai kedudukan sunnah dan kodifikasinya dalam
literature Hadits. Akan tetrapi dia tidak bersandar pada kritik Hadits klasik.
Ia memandang sunnah sebagai akar kedua dari agama, dan karena itu, Hadits
sebagai registrasi sunnah harus diteliti secara cermat untuk dipisahkan antara
yang otentik dan tidak. Kemudian, pada Bab IV dikemukakan, setelah menguji enam
koleksi Hadits secara mendalam, Mahmud Abu Rayyah yakin bahwa banyak Hadits
shahih yang direkam dalam koleksi tersebut. Ia menyesalkan para ulama Hadits
yang terlalu percaya pada metode kritik Hadits seperti halnya para ulama abad
pertengahan. Menurutnya, para ahli Hadits tidak memperhatikan kritik teks
(Kritik matan), dan tidak pernah mempertimbangkan apakah sebuah matan
Hadits layak diterima atau tidak.
Sedangkan
pada Bab V, Juynboll membicarakan perdebatan para ulama, seputar persoalan
penulisan dan pembukuan Hadits (tadwin). Rafiq al-Azm, misalnya,
berpendapat bahwa pada masa hidup nabi, beberapa sahabat membuat daftar
sebagian besar sabda nabi dalam bentuk tulisan yang disebut Shaha’if. Sambil
menyebutkan sejumlah Hadits yang mengijinkan dilakukannya sejumlah Hadits yang
mengijinkan dilakukannya penulisan Hadits, ia juga menyimpulkan bahwa penulisan
Hadits pada saat itu tidak dilarang. Ridha mengkritik pendapat Rafiq seraya
menyatakan bahwa ia hanya menyebutkan Hadits-Hadits yang memperbolehkan penulisan
Hadits. Selanjutnya, Ridha menjelaskan seluruh Hadits yang melarang penulisan Hadits.
Persoalan
‘adalah (keadilan) sahabat dijadikan pokok bahasan bab VI. Berbeda
dengan ahli hadits abad pertengahan, Rasyid Ridha mengatakan bahwa keadialan
Seorang riwayat tidak dapat dijadikan jaminan untuk menerima apa saja yang
diriwayatkannya. Lebih jauh, juynboll mengeksplorasikan pendapat kaum modernis
yang menyatakan bahwa kritik isnad klasik dipandang tidak memadai.
Mereka juga menolak pernyataan, ash-shahabah
kulluhum ‘udul (semua sahabat berstatus adil). 18Sebagai
konsekuensinya, keadilan abu hurairah juga diragukan, sebagaimana dikaji pada
bab VII. Diantara para penulis kontemporer, Abu Rayyah adalah orang yang paling
keras menyerang pribadi Abu Hurairah.
Bersama dengan Ahmad Amin, Abu Rayyah mempertanyakan iktsar Abu
Hurairah. Dalam waktu yang sangat singkat, sekitar tiga tahun atau dua puluh
satu bulan, tampaknya tidak masuk akal jika Abu Hurairah meriwayatkan
sedemikian banyak hadits. Hal ini membuat Ridha mengemukakan sejumlah pendapat
dikalangan ulama ortodok. Dikatakan olehnya, Abu Hurairah mengumpulkan hadits
dengan maksud untuk disebarkan, sementara sahabat lain memperbincangkan
hadits bila diperlukan, seperti ketika
mengambil keputusan.19
Dalam
bab VIII, Juyboll lebih menekankan pembahasannya pada persoalan betapa
pemalsuan hadits secara besar-besaran telah terjadi sehingga menimbulkan
kerusakan terhadap keseluruhan materi hadits. Pemalsuantersebut dilakukan oleh
lima golongan, yakni (1) orang-orang zindiq, (2) para teolog dan ahli hukum,
(3) orang-orang yang lemah daya ingatannya, (4) para qushashash (para
tukang cerita), dan (5) orang-orang yangh ingin mendapatkan kedudukan dari
penguasa.20
Sedangkan
bab IX membicarakan riwayat hadits, khususnya periwayatan hadits secara maknawi
(ar-riwayah bil al-ma’na). Semua penulis modern sepakat bahwa telah
terjadi periwayatan Hadits. Hnya saja, mereka berbeda pendapat mengenai
konsekuensi periwayatan secara ma’nawi tersebut. Rasyid Ridha, memandang bahwa Hadits-Hadits
kanonik adalah otentik, menghawatirkan riwayah bi al-ma’na karena
menurutnya kebanyakan periwayat hanya meriwayatkan Hadits yang mereka pahami.
Padahal menurutnya, pemahaman mereka tentang Hadits yang diriwayatkannya
terkadang kurang memadai. Lebih tegas lagi Abu Rayyah berpendapat bahwa
periwayatan secara ma’nawi telah menyebabkan hilangnya kata-kata nabi yang
asli, karena para periwayat Hadits sering kali mengubah materi (matan) Hadits.
Adapun
bab X membicarakan masalah isra’iliyyat, Hadits-hadits yang mengandung
unsur-unsur yahudi. Dalam hal ini, Rasyid Ridha, memandang israiliyat secara
negatip. Menurutnya, orang-orang sejamannya harus berpegang pada ajaran islam
yang sesuai dengan para leluhur yang shaleh (as salaf as shaleh). Mereka
tidak memperhatikan kisah-kisah orang yahudi dan persia yang masuk islam,
tetapi menjaga kebersihan agama dari pengaruh luar.
Sedangkan
pada bab terakhir ( Bab XI), penulis membicarakan Hadits-Hadits tentang
pengobatan yang diragukan otentisitasnya, seperti Hadits lalat yang membuat
heboh para teolog dan ilmuan pengobatan. Riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa
nabi di duga pernah mengatakan, “bila
lalat jatuh kedalam kendimu, tenggelamkan sepenuhnya terlebih dahulu, kemudian
buanglah karena salah satu sayapnya membawa obat, sedangkan yang satunya lagi
membawa penyakit. Sama dengan sidqi, Ridha melihat adanya keganjilan adanya
keganjilan dalam matan Hadits lalat tersebut. Akan tetapi, ia juga memberikan
pertimbangan mengenai dualitas pada binatang yang mungkin saja sesuai dengan
realitas.
B.
Teori Common
Link Sebelum G.H.A. Juynboll
G.H.A.
Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan fenomena Common Link
dalam periwayatan Hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan
penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada
Schacht seraya menyetakan bahwa dialah pembuat istilah Common Link dan
yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins. Meski demikian, Schacht
ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan
perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Sejak
awal, fenomena Common Link ini sudah dikenal oleh para ahli hadits di
kalangan Islam. At-Tirmidzi dalam koleksi Haditsnya menyebut Hadits-Hadits,
yang menunjukan adanya seorang periwayat tertentu. Si a misalnya, sebagai Common
Link dalam Isnadnya, dengan “Hadits-Hadits si A”. Istilah tekhnis
yang dipakai at-Tirmidzi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah Imadar
(poros). Hadits-Hadits itu membentuk sebagian besar Hadits gharib, yaitu
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tunggal pada thabaqah
(tingkatan) isnad tertentu. Akan tetapi, kelihatannya para ahli Hadits dikalangan
islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut terhadap
problem penanggalan Hadits.
Schacht
mengatakan bahwa teori Common Link dapat dipakai untuk memberikan
penanggalan terhadap Hadits-Hadits dan dontrin-doktrin para ahli fiqh. Penjelasan
mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya mengubah sikap
penerimaan yang tidak kritis terhadap keaslian isnad. Selain itu, ada
kemungkinan bahwa nama Common Link hanya digunakan oleh orang lain yang
tidak dikenal, dan dengan demikian kemunculannya hanya sebatas sebagai terminus
a quo, khususnya pada periode tabiin. Lebih jauh mengatakan bahwa penomena
semacam ini juga terjadi pada Hadits-Hadits yang terkait dengan sejarah.
Robson
menilai teori ini sebagai sumbangan yang sangat bernilai terhadap studi
perkembangan Hadits karena metode itu tidak hanya memberikan penanggalan
terhadap Hadits yang disandarkan kepada nabi, tetapi juga menjelaskan nilai
jalur isnad secara pasti bahwa bagian isnad yang timbul
belakangan adalah otentik, sementara isnad bagian awal yang kembali
kepada nabi adalah palsu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Juynboll
ingin mengembangkan dan menerapkan teori ini dalam skala lebih luas.
C.
Cara kerja
teori Common Link: metode rekonstruksi dan analisis Isnad
Setelah
diketahui secara umum bahwa setiap Hadits terdiri dari dua bagian. Dibagian
pertama terdapat rangkaian (silsilah) nama-nama periwayat dari otoritas
yang paling tua, yang dalam berbagai koleksi Hadits mewujud dalam pribadi nabi
saw. yang mengarah kepada para periwayat yang termuda, yaitu para penghimpun Hadits,
seperti al-Bukhari (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), Abu Dawud (w.275
H/889 M). At-Turmudzi (w.279 H/892 M), an-Nasai (w. 303 H/915 M), Ibnu Majah
(w. 273 H/887 M). Rangkaian yang berisi sejumlah nama periwayat yang
menjembatani masa antara nabi dan para pegnhimpun Hadits ini disebut dengan sanad
atau isnad. Dalam berbagai Hadits, jalur isnad tersebut rata-rata
berisi lima, enam, atau tujuh nama periwayat, tetapi dalam kitab al-Muwatha’
Malik (w.179 H/795 M). Misalnya, jalur itu hanya terdiri dari tiga
nama. Sementara bagian kedua, yang berisi susunan kata aktual tentang apa yang
dianggap pernah dikatakan atau dilakukan oleh nabi disebut matan, teks Hadits.
Matan Hadits itu dapat dinyatakan otentik jika rangkaian para periwayat
dalam isnad memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam metode kritik Hadits.
Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa dalam meneliti laporan atau Hadits,
para ulama Hadits lebih menekankan penelitian isnad daripada matan. Jika
isnad sebuah Hadits terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya maka Hadits
itu dinyatakan shahih, dan sebaliknya, jika isnad Hadits terdiri dari
orang-orang yang tidak dapat dipercaya maka Hadits itu tidak dappat diterima.
Dalam sejarah periwayatan Hadits memang telah terjadi pemalsuan sejumlah Hadits.
Akan tetapi Hadits-Hadits yang dianggap lemah dan palsu itu telah dipisahkan
dari yang otentik oleh para ahli dengan menggunakan metode kritik isnad.
Oleh karena itu, Hadits nabi secara keseluruhan sudah berhasil dihimpun dalam
koleksi Hadits pada abad III H/IV M. Dengan demikian proses penyeleksian antara
Hadits otentik dan Hadits lemah maupun Hadits palsu. Menurut para ahli Hadits
sudah dianggap final.
Dari
berbagai tulisan Juynboll mengenai Hadits, khususnya yang menggunakan teori
Common Link dan metode analisis isnad, penulis dapat menyimpulkan
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara
rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1.
Menentukan Hadits
yang akan diteliti
2.
Menelususri Hadits
dalam berbagai koleksi Hadits
3.
Menghimpun
seluruh isnad Hadits
4.
Menyusun dan
merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad
5.
Mendeteksi Common
Link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran Hadits
Dalam
kasus Hadits yang merendahkan martabat perempuan, Juynboll juga menerapkan
analisis matan. Secara umum, langkah-langkah metode analisis matan yang
diajukan olehnya adalah:
1.
Mencari
matan yang sejalan
2.
Mengidentifikasi
Common Link yang terdapat pada matan yang sejalan
3.
Menentukan Common
Link yang tertua
4.
Menentukan
bagian teks yang sama dalam semua Hadits yang sejalan
Metode
analisi isnad cum matan, menurut Motzki, terdiri dari beberapa langkah:
1.
Mengumpulkan
sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad.
2.
Menghimpun
seluruh jalur isnad untuk mendeteksi Common Link dalam generasi
periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah
periwayatan Hadits mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan
harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya
3.
Membandingkan
teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik
dalam struktur maupun susunan katanya..langkah ini juga memungkinkan untuk
membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari Hadits yang dibicarakan
4.
Membandingkan
hasil analisis isnad dan matan
D.
Teori-teori
terkait
Selain
teori common link, masih ada lagi dua teori lain yang memiliki kaitan
erat dengan teori common link dan bahkan tidak bisa dipisahkan darinya.
Yaitu teori backward projection dan teori argumenta e silentio.
Hanya saja Juynboll kurang memberikan perhatian yang cukup memadai untuk
mengelaborasi kedua teori ini. Hal itu barangkali karena ia merasa bahwa
schacht telah mengkajinya secara luas dan terperinci sehingga ia tidak perlu
mendiskusikan kembali teori-teori tersebut. Meski demikian, keterkaitan kedua
teori ini dengan teori common link menyebabkan setiap pengkaji Hadits
merasakan sesuatu yang hilang jika tidak membicarakannya, walaupun secara
ringkas.
1.
Backward
Projection
Backward
Projection adalah upaya,
baik dari aliran fiqh klasik maupun dari para ahli Hadits untuk mengaitkan
berbagai doktrin mereka kepada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau,
seperti para tabiin, sahabat, dan akhirnya nabi sendiri. Upaya ini perlu
dilakukan agar doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya karena
dianggap sebagai berasal dari tokoh-tokoh yang terpercaya.
2.
Argumenta
e silentio
Teori
lain yang berhubungan erat dengan teori common link adalah argumenta
e silentio. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa. Cara terbaik untuk
membuktikan bahwa sebuah Hadits tidak ada pada masa tertentu adalah dengan cara
menunjukan bahwa Hadits itu tidak pernah dipergunakan sebagai argumen hukum
dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya, jika Hadits itu memang
ada. artinya, sebuah Hadits dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika ia
tidak dipakai sebagai argumen hukum –dalam kitrab-kitab fiqh awal yang ditulis
oleh imam malik, as-syafi’i dan Abu Dawud-yang mengharuskan merujuk kepadanya.
Menurut
Zafar Ishaq Ansari, asumsi dari Argumenta e silentio dapat dibenarkan
jika seseorang terlebih dahulu mengakui validitas asumsi-asumsi berikut ini:
1.
Selama dua abad
pertama, ketika berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, Hadits-Hadits yang
dipakai sebagai argumen untuk mendukungnya juga disebutkan secara konsisten.
2.
Hadits yang
diketahui oleh seorang ahli hukum atau ahli Hadits diketahui pula oleh ahli
hukum dan ahli Hadits pada masanya
3.
Semua Hadits
yang beredar pada masa tertentu dihimpun dan dipublikasikan secara luas
serta dipelihara sedemikian rupa hingga
jika seseorang tidak menemukan sebuah Hadits dalam karya-karya para ulama
terkemuka maka hal itu merupakan bukti ketiadaannya pada masa itu, di daerahnya
dan juga di duni islam.
E.
Sumber dan Asal
Usul Hadits
Implikasi
yang pertama dan utama dari teori common link adalah menyangkut sumber Hadits,
siapa yang menjadi sumber Hadits yang terhimpun dalam berbagai koleksi Hadits,
khususnya koleksi Hadits kanonik: apakah nabi, sahabat, tabiin, atau tabiit
tabiin? Mayoritas ahli Hadits dikalangan umat islam berpendapat bahwa sebagian
besar materi Hadits, setidak-tidaknya yang terdapat dalam koleksi Hadits
kanonik, adalah otentik dan dengan demikian, bersumber dari nabi saw. pendapat
ini hampir dapat dikatakan sebagai sebuah konsensus ahli Hadits, seperti dalam
koleksi al-Bukhari dan Muslim.
Memang
ada pendapat dikalangan ahli Hadits yang menyatakan bahwa sumber Hadits tidak
hanya nabi, tetapi juga para sahabat dan tabiin. Akan tetapi, karena Hadits
sahabat (mauquf) dan tabiin (maqhtu’) tidak memenuhi kriteria marfu’
(disandarkan kepada nabi) maka Hadits-Hadits dalam kategori tersebut tidak
dijumpai dalam koleksi Hadits kanonik karena koleksi Hadits tersebut merupakan
hasil koreksi dari berbagai Hadits untuk menghimpun Hadits-Hadits nabi yang
otentik. Adalah benar bahwa dalam kitab-kitab sunan ada sejumlah Hadits hasan
dan dhaif, namun Hadits-Hadits ini adalah Hadits marfu’ dan bukan Hadits
mauquf maupun maqhtu’. Selain itu, para penghimpunnya juga
menunjukan kualitas Hadits yang dianggap tidak shahih.
Menurut
Juynboll, gejala single trand dibawah Common Link dan kenyatan
dibawah sebagian besar common link terjadi terjadi pada generasi ketiga
atau keempat dan tidak terjadi pada generasi pertama dan kedua sebenarnya bisa
dipahami jika seseorang memahami kronologi kelahiran isnad secara cepat.
Perdebatan mengenai persoalan tersebut muncul karena adanya perbedaan
interpretasi sejarah atas pernyataan ibnu sirrin (w. 110 H) sebagai mana
termuat dalam muqaddimah shahih Muslim berikut ini :
“Dulu orang-orang tidak bertanya tentang isnad, ketika telah
terjadi fitnah (perang sipil), mereka berkata, “jelaskan nama-nama isnad
kalian! Jika berasal dari ahli as-sunah maka Hadits kalian diterima dan jika
berasal dari ahl al-bida’ maka Hadits kalian diabaikan”
Berdasar
pernyataan tersebut, lahirlah beberapa teori tentang kelahiran isnad. Pertama,
sebagian besar ahli Hadits dikalangan islam dari abad pertengahan hingga
masa sekarang sepakat bahwa yang dimaksud dengan fitnah dalam pernyataan ibnu
sirrin adalah perang sipil pertama yang ditandai dengan terbunuhnya khalifah Utsman pada 35 H.
Sebagai awal perkembangan isnad. kedua, schacht berpendapat bahwa
fitnah yang disebut oleh ibnu sirrin adalah perang sipil ketiga yang
dimulai dengan terbunuhnya khalifah bani umayah, Walid bin Yazid, pada 126 H. ketiga, J. Robson yang mendasarkan
pendapatnya pada data-data dan bukti-bukti baru yang berada diantara dua teori
diatas dan menyatakan perang sipil kedua adalah titik tolak bagi kelahiran dan
perkembangan isnad. Perang sipil itu terjadi pada 63 H. Dengan
diploklamirkannya Abdullah bin Zubair sebagai khalifah tandingan di Mekkah yang
menantang kekuasaan Umayyah di Damaskus dan berakhir pada 73 H
Dari
tiga toeori ini, Juynboll memilih teori ketiga sebagai titik tolak bagi
penyelidikannya mengenai kronologimkelahiran isnad. Dia tidak
mengingkari bahwa para sahabat sudah membicarakan Hadits nabi pada
dekade-dekade setelah nabi meninggal sudah ada dalam bentuk periwayatan formal
dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya, standarisasi Hadits baru dimulai dengan
diperkenalkannya isnad sebagai alat untuk membuktikan kelahiran Hadits
padaakhir abad I H. Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat untuk
memisahkan antara Hadits yang otentik dan palsu tidak lebih awal dari akhir
abad pertama hijriah. Hal ini juga sangat cocok dengan kronologi dari Common
Link tertua dalam Hadits.
F.
Metode Kritik Hadits
Konvensional
Dalam
rangka menghadapi gerakan pemalsuan Hadits, para ahli Hadits telah
mengembangkan sebuah kritik untuk membedakan antara Hadits Hadits otentik
dengan Hadits yang lemah dan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima
kriteria:
1.
Persambungan sanad
(ittishal as-sanad)
2.
Keadilan
periwayat (‘adalah arruwat)
3.
Ke-dhabith-an periwayat
(dhabth ar-ruwat)
4.
Keterhindaran
dari syudzudz
5.
Keterhindaran
dari ‘illat.
Belakangan
ini syuhudi ismail mencoba menyistematisasi kriteria itu dengan membaginya
menjadi dua kategori:
1.
Unsur-unsur
kaidah mayor
2.
Unsur-unsur
kaidah minor
Selain
itu dia juga meringkas lima kriteria keshahihan Isnad Hadits menjadi
tiga unsur mayor, yakni:
1.
Persambungan sanad
2.
Keadilan
periwayat
3.
Ke-dhabitannya
Sementara
kriteria kesahihan matan dia ringkas menjadi dua unsur mayor, yakni:
1.
Terhindar dari syudzudz
2.
Terhindar dari ‘illat
Metode
studi Hadits ini sudah dianggap mapan dan baku oleh para ahli Hadits. Metode
ini menurut mereka, telah terbukti kehandalannya dan mampu menyingkirkan Hadits-hdais
yang lemah dan palsu. Bahkan, keunggulan metode ini tidak dapat digantikan oleh
metode apapun, termasuk oleh para sarjana barat modern. Setidak-tidaknya,
seperti itulah yang dikatakan Azami dan Iftikharuz zaman. Lebih lanjut
dikatakan bahwa materi Hadits yang terdapat dalam berbagai koleksi Hadits lebih
tepat bila dipahami dan dikaji dengan menggunakan metode tersebut. Pemakaian
metode yang lain justru akan mengakibatkan kesalahan
G.
Teori Mutawatir
dalam Hadits
Hadits
jika dilihat dari sudut kualitas periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih,
hasan dan dhaif. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut kuantitas
periwayatnya, ia terbagi menjadi dua bagian, yakni mutawatir dan ahad. Hadits
mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat (dan
mereka juga memperolehnya) dari sejumlah periwayat dari awal hingga akhir sanad
yang menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk
berdusta. Hanya saja, para ulama Hadits berbeda pendapat mengenai jumlah
periwayat Hadits mutawatir. Pendapat mereka bervariasai dari empat,
lima, sepuluh, dua belas, dua puluh, hingga empat puluh, tujuh puluh, dan
bahkan tiga ratus tiga belas periwayat laki-laki dan dua orang periwayat
perempuan. Semua pendapat itu sebenarnya didasarkan pada ayat al-qur’an, namun
seluruhnya tidak berdasarkan ayat yang jelas kandungannya (sharih ad-dhalalah),
oleh karena itu, Ibnu Hajar berpendapat bahwa definisi mengenai Hadits mutawatir
tidak perlu disertai dengan ketentuan mengenai jumlah periwayatnya.
Hadits
mutawatir terbagi menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi, dan mutawatir
maknawi, mutawtir lafdzi adalah Hadits yang diriwayatkan dengan cara
seperti disebutkan diatas, dengan lafadz dan bentuk yang sama. Sedangkan mutawatir
maknawi adalah Hadits yang diriwayatkan dengan cara seperti diatas, yang
maknanya mutawatir, namun versinya berbeda-beda. Jika dalam mutawatir lafdzi
disyaratkan adanya kesesuaian lafadz (muthabaqah Lafdziyah) maka dalam mutawatir
maknawi hal itu tidak disyaratkan.
H.
Posisi Syu’bah
bin Hajjaj dalam perkembangan Hadits
Dalam buku biografi periwayat Hadits, seperti al-jarh
wa at-ta’dil Abu Harim Ar-Razi dan Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu
Hazar al-Atsqolani. Syu’bah bin Hajjaj menduduki posisi yang terhormat diantara
para ahli Hadits lainnya, khususnya di Basrah. Dalam beberapa hal ia
ditempatkan di tempat yang lebih tinggi daripada al-‘Amasy dan Sufyan
at-Syauri. Pada puncaknya, sufyan at-syauri menyebutnya sebagai amir
al-mu’minin fi al-Hadits.
Selanjutnya
Syu’bah terlibat dalam perkembangan Hadits anti Khadzib (anti
kebohongan), sebuah Hadits populer dan menurut para ahli Hadits pada abad
pertengahan ia berstatus mutawatir. Hadits yang berbunyi man Khadzaba
‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min nar tersebut bersumber dari
Syu’bah. Dalam beberapa bundel isnad yang mendukung matan Hadits yang
dianggap berasal dari nabi ini, Syu’bah adalah Common Link tertua dan
dianggap paling teruji kebenarannya. Hadits tersebut muncul karena syu’bah
marah karena semakin maraknya pemalsuan Hadits yang dilakukan oleh para ahli Hadits
yang sezamannya. Khususnya para Khushash (para tukang cerita) yang suka
menambah-nambah Hadits, seperti Abban bin Abi Ayyas. Bahkan, dilaporkan karena
begitu marahnya Syu’bah kepada Abban Bin Abi Ayyas, suatu hari Syu’bah pernah
menyeretnya kehadapan Qhadi dan memintanya untuk menghukum Abban bin Abi
Ayyas.
Untuk
menghentikan gerakan pemalsuan Hadits yang dirasakan membahayakan ajaran islam.
Syu’bah membuat matan Hadits yang mencaci kebohongan dalam Hadits desertai
dengan ancaman api neraka. Sayangnya, kata Juynboll, Hadits anti khadzib
yang diciptakan oleh Syu’bah ini tidak terdeteksi oleh para ahli Hadits hingga
saat ini. Hal ini menunjukan paradoks yang sangat luar biasa dalam periwayatan Hadits
Untuk
meneliti keterlibatan Syu’bah dalam penyebaran Hadits ini, Juynboll meneliti
enam Hadits berikut:
1.
Syu’bah
menyebarkan laporan yang didukung oleh sebuah jalur dengan isnad: Jami
bin Syaddad-Amir bin Abdullah bin az-Zubair yang menghubungkan laporan tersebut
kepada ayahnya, abdullah bin az-Zubair yang bertanya kepada ayahnya, az-Zubair
bin al-Awwam
2.
Versi dari
sebuah jalur berdasarkan isnad al-hakam bin Utaibah-Abd ar-Rahman bin
Abi Laila-Samurah bin Jundab yang berdasar pada perkataan nabi: “siapa saja
yang meriwayatkan sebauh hadits dariku, sementara ia tahu bahwa ia adalah
sebuah kebohongan maka ia sendiri adalah seorang pendusta.
3.
Versi yang sama
dengan jalur yang lain (berbeda), yang kembali kepada nabi melalui seorang
sahabat, Mughirah bin Syu’bah
4.
Versi dengan
sebuah jalur berdasarkan isnad manshur bin almu’tamir- Rib bin Hirasy- Ali yang
bersandar pada perkataan nabi:”jangan berdusta atas namaku karena siapa saja
yang melakukannya akan masuk neraka”
5.
Versi lain
dengan sebuah jalur berdasarkan isnad Yazid bin Khumair-Sulaim bin Amir-Awsath
bin Ismail al-Bajali sebagai bagian dari sebuah Hadits panjang yang sangat
menyerupai Hadits anti khazib yang disandarkan kepada A’masy:”.....kalian harus
berkata jujur karen kejujuran akan membawa kepada kebajikan dan kebajikan akan
membawa ke surga, namun jauhilah kebohongan karena kebohongan akan membawa
kepada kejahatana dan kejahatan akan menggiring ke neraka
6.
Versi yang
berstatus spider (laba-laba) dengan isnad Hammad bin Sulaiman
(dan Qhatadah serta Sulaiman bin Tharkan)-Anas, versi man khadzaba Klasik
lengkap dengan kata-kata Muta’ammidan pada versi ini, Syu’bah juga
ditemukan sebagai tokoh kunci.
I.
Isnad Keluarga:
Historisitas Isnad Malik–nafi-Ibn Umar
Sejak
awal sejarah periwayatan hadits, tidak sedikit Hadits yang diriwayatkan melalui
isnad-isnad keluarga. Kata keluarga disini mencakup tidak hanya hubungan
darah, yakni, hubungan anak dengan orangtuanya, tetapi juga hubungan Mawali,
hubungan budak dengan tuannya. Beberapa contoh isnad semacam itu adalah:
Ma’mar bin Muhammad dari ayahnya,
Isa
bin Abdullah dari ayahnya
Katsir
bin Abdullah dari ayahnya
Musa
bin mathir dari ayahnya
Yahya
bin Abdullah dari ayahnya
Nafi
dari tuannya, Ibn Umar, dan
Muhammad
bin Sirih dari tuannya, Anas bin Malik
Analisis
atas isnad-isnad di atas, kata schact, membuktikan bahwa isnad keluarga
adalah palsu dan dengan demikian ia bukan merupakan indikasi bagi otentitas
hadits, melainkan lebih sebagai alat untuk menjamin kemunculannya. Berbeda
dengan schacht, Abbott berpendapat bahwa isnad keluarga memiliki
hubungan langsung, dan sejak awal, dengan periwayatan hadits secara tertulis
selama beberapa generasi. Fenomena isnad keluarga, menurutnya, semakin
memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa terdapat kesinambungan dalam
periwayatan hadits secara tertulis dari masa nabi hingga munculnya beberapa
koleksi hadits Kanonik.
J.
Beberapa Isu
Penting Dalam Hadits
1.
Hadits tentang
pembangunan Kota Baghdad
Salah
satu hadits yang dikaji oleh juynboll dengan metode common link adalah
hadits tentang pembangunan kota baghdad dan kekhawatiran originator-nya
atas masa depan kota baghdad dan para penguasanya, para khalifah Abbasiyah.
Hadits tersebut terdapat dalam Tarikh Baghdad, karya al-Khatib al-Baghdadi
dan kitab al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jawzi.
2.
Hadits tentang
mengecat rambut dan janggut
Hadits
lain yang dikaji oleh Juynboll dengan menggunakan teori common link
adalah hadits tentang mengecat rambut kepala dan janggut, suatu
kebiasaan bersolek yang terdapat dalam berbagai sumber islam kuno, seperti
koleksi hadits, kumpulan biografi, dan naskah-naskah sejarah. Tujuan utama
pengkajian hadits ini, bagi Juynboll, tiada lain adalah untuk menelusuri
kronologi, asal-usul dan sumber hadits tersebut. Dari ketiga masalah ini,
persoalan kedua lebih dapat dikaji secara cermat, meskipun masalah pertama dan
ketiga tetap saja bisa diselidiki. Tentu saja, jika dilihat dari
perkembangan tulisannya dibidang hadits, anlisis Juynboll tentang hadits ini
dapat dikatakan sebagai upayanya untuk memperkenalkan teori common link.
Hasil
analisi Juynboll menunjukkan bahwa hadits-hadits yang disandarkan kepada nabi
dan para tokoh awal islam yang membicarakan masalah mengecat rambut itu pada
dasarnya berasal dari tiga tempat: Hijaz, Syria, dan Irak. Menurutnya, ada
laporan penting yang terkait dengan Hijaz, yang berasal dari Hasan al-Bashri
(w. 110H./728M). Diberitahukanbahwa Hasan al-Basri pernah mengatakan:”saya
melihat perempuan-perempuan madinah tertentu melakukan shalat dengan rambut
bercat wasmah”. Kata-kata ini selanjutnya di ikuti dengan cerita tentang
percakapan antara asy-sya’bi, ahli fiqh Kufah (w. 103-110 H./721-728 M.) dengan
Ibn Umar (w.74 H./693 M.) tentang mengecat dengan wasmah, yang terjadi
tidak lama menjelang Ibn Umar meninggal, namun tampaknya Ibn Umar tidak tahu
hal itu.
Oleh
karena itu, lanjut Juynboll, nama Ibn Umar dalam cerita ini hanya disisipkan
saja untuk memberikan penegasan. Pada kenyataannya, Ibn Umar telah mendengar
kombinasi hinna dengan katam. Dilaporkan pula bahwa Ibn Umar
tertarik dengan masalah ini. Akan tetapi, analisis isnad menunjukkan bahwa
hadits tersebut berasal dari waktu yang relatif lebih belakangan dan bahkan
mungkin. Pula berasal dari luar Hijaz.
3.
Hadits
merendahkan martabat perempuan (misoginis)
Pada
bab II subbab ketiga buku ini, hadits yang merendahkan martabat perempuan telah
didiskusikan dalam kaitannya dengan cara kerja teori common link: metode
rekonstruksi dan analisis isnad. Agar tidak mengakibatkan pengulangan pembahasan
yang tidak perlu, disini, pembicaraan mengenai hadits tersebut dilakukan secara
singkat saja dan hanya menitikberatklan pada materi haditsnya yang kurang
dibahas sebelumnya.
Pada
awalnya, Juynboll tampak curiga atas berbagai generasi tentang perempuan yang
terdapat dalam berbagai literatur hadits karena generalisasi itu dianggap telah
merendahkan martabat perempuan. Apakah hadits itu benar-benar berasal dari nabi
atau tidak, karena menurutnya, meskipun suatu hadits tertentu yang berkaitan
dengan nabi dapat ditemukan di berbagai koleksi hadits kanonik, hal itu tidak
berarti bahwa penyadarannya telah terjamin secara historis. Dengan asumsi
ini, ia mencoba menelusuri hadits-hadits yang merendahkan martabat perempuan
hingga para pencetus (originator)nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar