Kamis, 26 April 2012

metodologi tafsir ijmali


METODOLOGI TAFSIR IJMALI

Abstract
Many scholars have written commentaries are several works about the method of interpretation of the qur’an. From the clergy came the various models and methods of interpretation in order to uncover the messages of the Qur'an optimally match the capabilities and their social conditions. Among the methods of interpretation that are popular among the scholars is the method of interpretation ijmali (global).
Keyword
metode, mufassir, Alquran, dan ijmali
A.    Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna. Pemahanan umat terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya umat. Pemahaman disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada masa Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.[1]
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metode muqaran (komparatif), dan metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan  metode tafsir ijmali, mengingat metode tafsir ijmali tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya.
B.     Metode Tafsir Ijmali
1.      Definisi
Sebelum berbicara tentang metode penafsiran al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang pengertian metode itu sendiri. Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan[2]. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan
 Metode adalah Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud[3]. Dalam Ensiklopedi Indonesia Metoda adalah : cara melakukan sesuatu ata cara mencapai pengetahuan[4]
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Qur’an sesuai kemampuan manusia.[5]
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul.
Secara lughawi, kata al-Ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Sehingga yang dimaksud dengan metode Ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan kandungannya secara ringkas dan tapi meyeluruh, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[6] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[7]
Dalam metode ini, mufasir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.
Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
2.      Tujuan dan Target
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.

3.      Mekanisme Penafsiran
Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
a.    Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
b.    Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi jelas.
c.    Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan. Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
d.   Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.[8]
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyasasar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan sebagainya. Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Ketika menggunakan metode Ijmali , seorang mufasir hanya perlu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas, penyajiannya pun tak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, seakan-akan pembacanya masih tetap mendengar al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirannya. Namun, pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir tahlili (analitis).
Dengan kata lain, pembahasan tafsir ijmali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Termasuk dalam karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir al-Farid li al-Qur’an al-Madjid karya Muhammad ‘Abd al-Mun’im yang hanya mengedapankan arti kata-kata (al-mufradah), sabab an-nuzul dan penjelasan singkatnya. Begitu juga tafsir Jalalain karya Jalal ad-Din as-Suyuti dan Jalal ad-Din al-Mahally, serta Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an karya Shiddiq Hasan Khan.
Kitab yang terakhir disebut ini oleh Abd Muhyi Ali Mahfuz disebut-sebut sebagai salah satu kitab yang pantas dijuluki “mutiara yang tiada bandingnya” karena isinya terlepas dari kisah-kisah israiliyat, perdebatan mazhab fiqih, dan perbantahan kalam (teolog). Hal ini disebabkan pengarangnya lebih berkosentrasi menerangkan makna seluruh ayat dengan bahasa dan ungkapan yang mudah dipahami.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat penafsiran yang diberikan imam as-Suyuti dalam kitabnya Tafsir Jalalain ayat awal surah Al-Baqarah, sebagai berikut:
(بسم الله الرحمن الرحيمز الم ) الله اعلم بمراده بذالك (ذالك ) اي هذا (الكتاب ) الذي يقرؤه محمد (لا ريب شك (فيه ) انه من عند الله ....
Dalam penafsiran diatas, tampak bahwa imam as-Suyuti hanya menerangkan makna ayat dengan sangat singkat dan global, tidak dengan perincian yang panjang lebar.
Yang perlu diingat dari metode ini, bahwa cirinya tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan mushaf atau sebagian saja. Akan tetapi, yang menjadi patokan metode ini adalah pola dan sistematika pembahasan. Maka selama mufasir hanya menafsirkan ayat secara ringkas tanpa uraian yang mendetail, tanpa perbandingaan dan tidak juga mengikuti tema tertentu, maka penafsiran tersebut dikategorikan dalam tafsir Ijmali , meskipun hanya satu dua ayat.[9]


4.      Kelebihan Tafsir Ijmali
Kelebihan metode ijmali di antaranya, adalah:
1.    Praktis dan mudah dipahami: Tafsir yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tanpa berbelit-belit pemahaman al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya. Pola penafsiran serupa ini lebih cocok untuk para pemula. Tafsir dengan metode ini banyak disukai oleh ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat.
2.    Bebas dari penafsiran israiliah: Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, maka tafsir ijmali relatif murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran Israiliat yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur’an sebagai kalam Allah yang Maha Suci. Selain pemikiran-pemikiran Israiliat, dengan metode ini dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh seorang teologi, sufi, dan lain-lain.
3.    Akrab dengan bahasa al-Qur’an: Tafsir ijmali ini menggunakan bahasa yang singkat dan padat, sehingga pembaca tidak merasakan bahwa ia telah membaca kitab tafsir. Hal ini disebabkan, karena tafsir dengan metode global menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut. Kondisi serupa ini tidak dijumpai pada tafisr yang menggunakan metode tahlili, muqarin, dan maudhu’i. Dengan demikian, pemahaman kosakata dari ayat-ayat suci lebih mudah didapatkan dari pada penafsiran yang menggunakan tiga metode lainnya.[10]
5.      Kelemahan Tafsir Ijmali
Kelemahan dari metode ijmali antara lain:
1.      Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat tersebuat akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
2.      Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian dan pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika menginginkan adanya analisis yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode ini. Namun tidak berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi demikian amat posetif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global[11]
6.      Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.
            Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.[12]
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada proses dan bentuknya yang mudah dibaca, dan sangat ringkas serta bersifat umum, sehingga bisa terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat. Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang diganderungi, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an. Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.

Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks “ telah diperkosa” untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali.
Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada uhasa untuk membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini, azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun nuzul) secara tepat.[13]
Kedua, hegemoni penafsir. Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.
            Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).
Terlihat dengan jelas dari tafsir yang dilakukan oleh Suyuti, penambahan huruf “la” yang berfaidah ‘nahi’, secara otomatis menafikan terhadap keta kerja setelahnya, dan tentu saja sangat berdampak terhadap pembalikan makna yang ada pada teks. Bagaimana mungkin teks yang aslinya berarti “ bagi orang-orang yang mampu”, kemudian harus dimaknai dengan “ bagi orang-orang yang tidak mampu”.
Apa yang terjadi dalam tafsir Jalalain (yang merepresentasikan penafsiran dengan metode ijmali) di atas, merupakan bagian dari alasan adanya hegemoni berlebihan seorang mufasir dalam menginterpretasi teks. Hal itu terjadi, dalam metode ijmali selain karena metode ini lebih mengedepankan tafsir terhadap kata, metode ijmali juga tidak memberikan ruang yang bebas untuk menginterpretasi, sehingga mufasir cenderung membatasi dalam untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran lain, selain ide dan gagasannya sendiri. Akibatnya, gagasan tafsir sang mufasir menjadi gagasan tafsir yang tampak paling terbenarkan dan sangat hegemonik.
C.    Kesimpulan
Terlepas dari berbagai problem yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.
Tetapi, metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus menjadi pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap individu berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.
Al-Qur’an memberikan hak otonom kepada siapapun untuk menafsirkan ayat-ayatnya secara kreatif guna menemukan makna-makna ideal yang diinginkan oleh al-Qur’an. Kebebasan membaca dan menafsirkan al-Qur’an ini, tentu saja bisa dilakukan dengan cara apapun yang dimiliki oleh setiap individu.
Dari sinilah, al-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan global, memungkinkan setiap individu menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan dilakukan, karena setiap mufasir bukanlah makhluk super yang tidak memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.
Akhirnya, penulis sangat sepakat dengan gagasan Abdul Mustaqim, dalam menghadapi berbagai corak penafsiran yang harus dilakukan. Pertama, bersikap kritis dalam melihat produk tafsir tersebut karena setiap kemungkinan bisa terjadi, baik kemungkinan ada hidden interest dan ada penyimpangan di balik penafsiran yang dilakuakn. Kedua, apabila arguemn tafsir mereka sangat kuat, kita harus menghargai dan menghormati, walaupun tidak harus mengikuti, karena kemungkinan setiap corak (metode) penafsiran tersebut memiliki kemungkinan benar, minimal kebenaran partikuler-realatif tentatif.
                                                      






                                                       DAFTAR PUSTAKA
A. Jamrah, Metode Tafsir Maudhu’iy: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1994
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977).
Nashruddin Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-I. Jakarta: Balai Pustaka
Khalaf, Abdul Wahab.tnp thn. Tarikh al- Tasri’al- Islami . Surabaya:Maktabah Salim bin Nabhan
Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat [ed], Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramadeia
http://muhlis.wordpress.com/makalah-s2-kelas-b-regulerpendidikan/studi-al-quranmetode-tafsir-ijmalitahlili-maudzui-muqarin/
Muqowin. 1997. Metode Tafsir, Makalah Seminar, Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003










METODE TAFSIR IJMALI
Diajukan pada seminar kelas pada mata kuliah Ilmu Tafsir

Deosen Pembimbing : Prof. Ali Abdurrahman, MH


Description: E:\logouinbandung.jpg


Oleh : Muhamad Mas’ud

PROGRAM PASCA SARJANA KONSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011


[1] Abdul wahab Khalaf,Tarikh al-Tasri’ al-Islami, Maktabah Salim bin Nabhan, Surabaya, tnp.thn hlm. 26.
[2] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat [ed], Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramadeia. hlm. 16.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. 1989. hlm. 580 – 581.
[4] Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t. hlm. 2230.
[5][5] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003. hlm. 196.
[6] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 43 – 44.
[7] Ibid, hlm. 67.
[8] Nashruddin Baidan, . Metode Penafsiran al-Qur’an hal 20
[9] A. Jamrah, Metode Tafsir Maudhu’iy,  hal 44-45
[10] Nashruddin Baidan. . hlm. 22-27.
[11] Ibid
[12] Muqowin. 1997. Metode Tafsir, Makalah Seminar, Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar