METODOLOGI TAFSIR IJMALI
Abstract
Many scholars have written commentaries are several works about
the method of interpretation of
the qur’an. From the clergy
came the various models and methods of interpretation
in order to uncover the messages of the Qur'an optimally match the capabilities and their social conditions. Among the methods of interpretation that are popular among the scholars is the method of interpretation ijmali (global).
Keyword
metode, mufassir, Alquran, dan ijmali
A. Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya
yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi
juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga
ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an
tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara
tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan
Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar
akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang
lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh
Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan
kalimat yang singkat dan sarat makna. Pemahanan
umat terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya
umat. Pemahaman disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada
masa Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau
melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para
sahabat ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.[1]
Banyak ulama
tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an.
Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam
rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan
dan kondisi sosial mereka. Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan
para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik),
metode ijmali (global), metode muqaran (komparatif), dan
metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan
ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan
metode tafsir ijmali, mengingat metode tafsir ijmali tersebut
telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam
karyanya.
B. Metode Tafsir Ijmali
1. Definisi
Sebelum
berbicara tentang metode penafsiran al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus
mengetahui tentang pengertian metode itu sendiri. Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”,
yang berarti cara atau jalan[2].
Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud
[dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang
ditentukan
Metode adalah Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai maksud[3].
Dalam Ensiklopedi Indonesia Metoda adalah : cara melakukan sesuatu ata cara
mencapai pengetahuan[4]
Yang dimaksud
dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat
A;-Qur’an sesuai kemampuan manusia.[5]
Metode tafsir
yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan
dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik
menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem
semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang
mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu
muncul.
Secara lughawi, kata al-Ijmali
berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Sehingga yang dimaksud
dengan metode Ijmali adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
mengemukakan kandungannya secara ringkas dan tapi meyeluruh, dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah
suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global.[6]
Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi
mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping
itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal
yang didengarnya itu tafsirnya.[7]
Dalam metode ini, mufasir
berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan
mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang
memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan
luas.
Dengan kata lain, metode
tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak
diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas,
sehingga masih menyiasakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang
dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca
tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali, layaknya membaca ayat
al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali
tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.
2. Tujuan dan Target
Metode ijmali yang dipakai
oleh para mufasir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan
pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak
berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang.
Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami
kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.
3. Mekanisme Penafsiran
Proses penafsiran dengan
menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak jauh beda dengan metode-metode yang
lain, terutama dengan metode tahlili( analitis). Mekanisme penafsiran dengan
metode ijmali dilakukan dengan cara menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat
demi surat yang ada dalam al-Qur’an secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan
secara berurutan dari awal sampai akhir secara ringkas dan padat dan bersifat
umum. Uraian yang dilakukan dalam metode ini mencakup beberapa aspek uraian
terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan, antara lain :
a. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata
yang lain yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.
b. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga
menjadi jelas.
c. Menyebutkan latar belakang turunnya (azbabun nuzul) ayat yang
ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan azbabun nuzul. Azbabun nuzul
ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi turunnya ayat yang ditafsirkan.
Azbabun nuzul menjadi sangat urgen, karena dalam azbabun nuzul mencakup beberap
hal : (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
d. Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah
dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan
oleh Nabi, sahabat, tabi’in maupun tokoh tafsir.[8]
Di antara
kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal
al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah
Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan
Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyasasar karangan Syaikh Abdul
al-Jalil Isa, dan sebagainya. Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode
ijmali, seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi,
kitab Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj
al-Tafasir, karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya
bareng Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis dengan metode yang
sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak tafsirnya tentu saja
memiliki kesamaan.
Ketika menggunakan metode Ijmali ,
seorang mufasir hanya perlu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas,
penyajiannya pun tak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, seakan-akan
pembacanya masih tetap mendengar al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah
tafsirannya. Namun, pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak
luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir tahlili (analitis).
Dengan kata lain, pembahasan tafsir ijmali
hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Termasuk
dalam karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir al-Farid li
al-Qur’an al-Madjid karya Muhammad ‘Abd al-Mun’im yang hanya mengedapankan
arti kata-kata (al-mufradah), sabab an-nuzul dan penjelasan
singkatnya. Begitu juga tafsir Jalalain karya Jalal ad-Din as-Suyuti dan
Jalal ad-Din al-Mahally, serta Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an karya
Shiddiq Hasan Khan.
Kitab yang terakhir disebut ini oleh Abd Muhyi
Ali Mahfuz disebut-sebut sebagai salah satu kitab yang pantas dijuluki “mutiara
yang tiada bandingnya” karena isinya terlepas dari kisah-kisah israiliyat,
perdebatan mazhab fiqih, dan perbantahan kalam (teolog). Hal ini disebabkan
pengarangnya lebih berkosentrasi menerangkan makna seluruh ayat dengan bahasa
dan ungkapan yang mudah dipahami.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat
penafsiran yang diberikan imam as-Suyuti dalam kitabnya Tafsir Jalalain
ayat awal surah Al-Baqarah, sebagai berikut:
(بسم الله الرحمن
الرحيمز الم ) الله اعلم بمراده بذالك (ذالك ) اي هذا (الكتاب ) الذي يقرؤه محمد
(لا ريب شك (فيه ) انه من عند الله ....
Dalam
penafsiran diatas, tampak bahwa imam as-Suyuti hanya menerangkan makna ayat
dengan sangat singkat dan global, tidak dengan perincian yang panjang lebar.
Yang perlu diingat dari metode ini, bahwa
cirinya tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan
mushaf atau sebagian saja. Akan tetapi, yang menjadi patokan metode ini adalah
pola dan sistematika pembahasan. Maka selama mufasir hanya menafsirkan ayat
secara ringkas tanpa uraian yang mendetail, tanpa perbandingaan dan tidak juga
mengikuti tema tertentu, maka penafsiran tersebut dikategorikan dalam tafsir Ijmali
, meskipun hanya satu dua ayat.[9]
4.
Kelebihan
Tafsir Ijmali
Kelebihan
metode ijmali di antaranya, adalah:
1. Praktis dan mudah dipahami: Tafsir yang menggunakan metode ini
terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tanpa berbelit-belit pemahaman
al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya. Pola penafsiran serupa ini
lebih cocok untuk para pemula. Tafsir dengan metode ini banyak disukai oleh
ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat.
2.
Bebas
dari penafsiran israiliah: Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan,
maka tafsir ijmali relatif murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran
Israiliat yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur’an sebagai
kalam Allah yang Maha Suci. Selain pemikiran-pemikiran Israiliat, dengan metode
ini dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan
oleh seorang teologi, sufi, dan lain-lain.
3.
Akrab
dengan bahasa al-Qur’an: Tafsir ijmali ini menggunakan bahasa yang singkat dan
padat, sehingga pembaca tidak merasakan bahwa ia telah membaca kitab tafsir.
Hal ini disebabkan, karena tafsir dengan metode global menggunakan bahasa yang
singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut. Kondisi serupa ini tidak
dijumpai pada tafisr yang menggunakan metode tahlili, muqarin, dan maudhu’i.
Dengan demikian, pemahaman kosakata dari ayat-ayat suci lebih mudah didapatkan
dari pada penafsiran yang menggunakan tiga metode lainnya.[10]
5.
Kelemahan
Tafsir Ijmali
Kelemahan dari
metode ijmali antara lain:
1.
Menjadikan
petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang
utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang
utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di
dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci.
Dengan menggabungkan kedua ayat tersebuat akan diperoleh suatu pemahaman yang
utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.
2.
Tidak
ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai
metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian dan pembahasan
yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika
menginginkan adanya analisis yang rinci, metode global tak dapat diandalkan.
Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan metode
ini. Namun tidak berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi demikian
amat posetif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global[11]
6. Kritik Metodologis
Sebagai sebuah metode
penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang merupakan bagian dari proses
mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang tentu saja sah-sah saja
diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya menafsirkan al-Qur’an,
metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan dalam rangka memahami
al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan yang sangat universal. Dengan pesan
yang universal tersebut, telah banyak melahirkan metode dan corak penafsiran.
Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang
lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman yang luas maknanya dan beragam sisi
signifikansinya. Ia merupakan firman yang tidak mungkin dibatasi makna dan
signifikansinya.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.[12]
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, beragamnya tafsir dan interpretasi terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan, dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor. Pertama, dan ini oleh Nasr Hamid dianggap sebagai faktor yang penting, adalah sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya. Kedua, adalah horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana teks bisa mengungkapkan dirinya.
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.[12]
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada proses dan
bentuknya yang mudah dibaca, dan sangat ringkas serta bersifat umum, sehingga
bisa terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat. Pengaruh
penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi, karena pembahasan
tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang
mufasir memasukkan unsur-unsur lain, seperti penafsiran dengan cerita-cerita
isra’iliyat menyatu ke dalam tafsirannya.
Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali,
seperti Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab
Al-Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir,
karya Muhammad Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bareng
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara
metodis ditulis dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga
paradigma dan corak tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan.
Namun demikian, seiring perkembangan zaman yang notabene
menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam melakukan proses penafsiran
metode ijmali dalam kenyataannya termasuk metode yang kurang diganderungi,
terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.
Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an. Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.
Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali (global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa alas an. Pertama, tekstualistik-skriptualitik. Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dhohir, padahal makna yang seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks yang seharusnya dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam penafsiran disinyalir tidak mampu memenerjemahkan makna dasar dari sebuah ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga melahirkan tafsir tektualis (tradisional). Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.
Teks dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa
mencoba membongkar makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya
dipandang pada sisi dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang
tekstualis dalam memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan
yang tidak dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang
pesan-pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan
tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana
realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balim teks “ telah diperkosa”
untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dhohir. Metode ijmali memakai
pendekatan yang analitis sempit, yaitu tidak hanya sebatas gambaran-gambaran
singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh pada substansi teks, misalnya dalam
tafsir jalalain yang ditulis dengan metode ijmali.
Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan
tetap terpaku pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada uhasa untuk
membongkar teks secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan
bahwa Jalalain merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks,
berakhir pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas
sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam metode ini,
azbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi azababun nuzul
disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai pelengkap, karena tidak
analisa filosofis terhadap azbabun nuzul tersebut, padahal azababun nuzul
merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut Fazlurrahman, dalam memahami
teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya (azababun
nuzul) secara tepat.[13]
Kedua, hegemoni penafsir. Dalam tafsir dengan metode ijmali
dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat
dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide
dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang
berlebihan. Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki
hal subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu
contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode non-ijmali.
Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).
Dalam tafsir Jalalain, terlihat jelas hegemoni dan kebebasan mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sangat bebas, sampai melampaui apa yang tertera dalam teks asli. Diantaranya, penafsiran As-Suyuti terhadap ayat, “wa ‘ala ‘l-ladzina yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin”. Artinya : dan bagi orang-orang yang mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin (Qs. Al-Baqarah, 184). Ayat ini oleh Suyuti ditafsirkan dengan : (wa ala ‘l-ladzina) la (yutiqunahu fidyatun ta’amu miskin), yang artinya tentu saja berbalik total menjadi : dan bagi orang-orang yang tidak mampu (mengerjakan) puasa, (diperbolehkan membayar) fidyah memberi makan orang miskin).
Terlihat dengan jelas dari tafsir yang dilakukan oleh Suyuti,
penambahan huruf “la” yang berfaidah ‘nahi’, secara otomatis menafikan terhadap
keta kerja setelahnya, dan tentu saja sangat berdampak terhadap pembalikan
makna yang ada pada teks. Bagaimana mungkin teks yang aslinya berarti “ bagi
orang-orang yang mampu”, kemudian harus dimaknai dengan “ bagi orang-orang yang
tidak mampu”.
Apa yang terjadi dalam tafsir Jalalain (yang
merepresentasikan penafsiran dengan metode ijmali) di atas, merupakan bagian
dari alasan adanya hegemoni berlebihan seorang mufasir dalam menginterpretasi
teks. Hal itu terjadi, dalam metode ijmali selain karena metode ini lebih
mengedepankan tafsir terhadap kata, metode ijmali juga tidak memberikan ruang
yang bebas untuk menginterpretasi, sehingga mufasir cenderung membatasi dalam
untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran lain, selain ide dan gagasannya sendiri.
Akibatnya, gagasan tafsir sang mufasir menjadi gagasan tafsir yang tampak
paling terbenarkan dan sangat hegemonik.
C. Kesimpulan
Terlepas dari berbagai problem
yang terdapat dalam metode ijmali, dalam sejarah penafsiran metode ini tetap
menjadi salah satu konsep penafsiran yang layak diapreasiasi, karena berbagai
kekurangan yang dimiliki oleh setiap metode tentu pasti ada. Berbagai kitab
tafsir yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali yang muncul dalam dinamika
penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat
berarti.
Tetapi, metode apapun yang
dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan harga mati yang harus
menjadi pilihan atau sesuatu yang terbenarkan secara mutlak. Setiap metode
tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak bisa dinafikan. Dan, setiap
individu berhak melahirkan metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan
dirinya, karena al-Qur’an bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa
orang, tetapi menjadi hak dan miliki semua orang.
Al-Qur’an memberikan hak otonom kepada siapapun untuk
menafsirkan ayat-ayatnya secara kreatif guna menemukan makna-makna ideal yang
diinginkan oleh al-Qur’an. Kebebasan membaca dan menafsirkan al-Qur’an ini,
tentu saja bisa dilakukan dengan cara apapun yang dimiliki oleh setiap
individu.
Dari sinilah, al-Qur’an akan
selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-ayat yang universal dan
global, memungkinkan setiap individu menyusun langkah-langkah metodis yang
kreatif guna menemukan inti dan gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.
Oleh karena itu, sikap kritis terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah
keniscayaan dilakukan, karena setiap mufasir bukanlah makhluk super yang tidak
memiliki kelemahan, tetapi mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari
kelemahan.
Akhirnya, penulis sangat sepakat dengan gagasan Abdul
Mustaqim, dalam menghadapi berbagai corak penafsiran yang harus dilakukan.
Pertama, bersikap kritis dalam melihat produk tafsir tersebut karena setiap
kemungkinan bisa terjadi, baik kemungkinan ada hidden interest dan ada
penyimpangan di balik penafsiran yang dilakuakn. Kedua, apabila arguemn tafsir
mereka sangat kuat, kita harus menghargai dan menghormati, walaupun tidak harus
mengikuti, karena kemungkinan setiap corak (metode) penafsiran tersebut
memiliki kemungkinan benar, minimal kebenaran partikuler-realatif tentatif.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Jamrah,
Metode Tafsir Maudhu’iy: Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1994
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i,
Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977).
Nashruddin Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran al-Qur’an.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-I.
Jakarta: Balai Pustaka
Khalaf, Abdul Wahab.tnp thn. Tarikh al- Tasri’al- Islami .
Surabaya:Maktabah Salim bin Nabhan
Fuad Hassan dan
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam
Koentjaraningrat [ed], Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramadeia
http://muhlis.wordpress.com/makalah-s2-kelas-b-regulerpendidikan/studi-al-quranmetode-tafsir-ijmalitahlili-maudzui-muqarin/
http://muhlis.wordpress.com/makalah-s2-kelas-b-regulerpendidikan/studi-al-quranmetode-tafsir-ijmalitahlili-maudzui-muqarin/
Muqowin. 1997. Metode Tafsir,
Makalah Seminar, Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru –
Van Hoeve. t.t.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga
Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003
METODE TAFSIR IJMALI
Diajukan pada seminar kelas pada mata kuliah Ilmu Tafsir
Deosen Pembimbing : Prof. Ali Abdurrahman, MH
Oleh : Muhamad Mas’ud
PROGRAM PASCA SARJANA KONSENTRASI HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
[1] Abdul wahab Khalaf,Tarikh al-Tasri’ al-Islami,
Maktabah Salim bin Nabhan, Surabaya, tnp.thn hlm. 26.
[2] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat [ed], Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramadeia. hlm. 16.
[3] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka. 1989. hlm. 580 – 581.
[4] Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru –
Van Hoeve. t.t. hlm. 2230.
[5][5] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga
Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003. hlm. 196.
[6] Abd al-Hayy
al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah
Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 43 – 44.
[7] Ibid, hlm. 67.
[11]
Ibid
[12] Muqowin. 1997.
Metode Tafsir, Makalah Seminar, Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar