FILSAFAT HUKUM
SIYASAH
Oleh
Ahmad Damiri
PENDAHULUAN
Siyasah dalam peradaban kaum muslim
mengatur berbagai bentuk tentang tata cara memimpin, dan membangun
pemerintahan. Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya
negara yang cocok baginya, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam
yang disebut dengan Siyasah di pandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam
pergulatan sosial dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan
sejarah ummat Islam. Meskipun demikian nilai siyasah tidak serta merta menjadi
relative karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan
keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah[1].
Siyasah secara garis besarnya terbagi
menjadi dua yaitu Siyasah Wad’iyyah
ialah siyasah yang dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat
masyarakat dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam Negara. Yang kedua,
Siyasah Syar’iyyah yaitu siyasah yang
berdasarkan syara’ yang mengikut etika agama,
moral dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur
manusia hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam[2].
Akan tetapi dalam hal ini Islam lebih mengacu pada siyasah syar’iyyah dari pada siyasah wad’iyyah,
karena di anggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga kurang diterima
keberadaanya oleh kaum muslimin.
Siyasah didalamnya juga mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga, lembaga dengan
lembaga, maupun Negara dengan Negara dengan ketentuan syariat Islam. Mayoritas
ulama sepakat mengenai keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara.
Siyasah atau pemerintahan sudah ada pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw.
Siyasah Syar’iyyah dalam Islam yang
berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut terbagi menjadi
tiga, yaitu siyasah dusturiyah, dauliyah dan maliyah[3].
Untuk lebih jelasnya pemakalah akan memaparkan dalam makalah ini dengan tema
filsafat hukum Siyasah.
PEMBAHASAN
Sejarah awal berdirinya suatu Negara
Islam adalah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Dalam kepemimpinan
Rasulullah Siyasah Syar’iyyah telah
dilaksanakan untuk mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial
budaya yang diridhai Allah SWT. Pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah merupakan
suatu Negara yang memenuhi persyaratan persyaratan Negara dalam system
pemerintahan dan ketatanegaraan di zaman modern yang memiliki wilayah
kekuasaan, penduduk, pemerintahan, rakyat, dan konstitusi[4].
Fakta sejarah yang tidak dapat diingkari
oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk
bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya
dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya
sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di
antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa,
dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan
masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai
bangunan masyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai ‘negara’.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi
setelah Rasulullah menetap di Madinah merupakan nilai dasar fiqh siyasah
syar’iyyah. Dalam kedudukanya sebagai kepala Negara, kebijakan Rasulullah SAW.
Merupakan pelaksanaan fiqh siyasah syar’iyyah. Salah satu contohnya adalah
kebijakan yang dibuat Rasululllah SAW. Berkenaan dengan persaudaraan intern
kaum muslimin antara kelompok muhajirin dengan kelompok Anshar. Kemudian
perjanjian eksteren antara komunitas muslim dengan komunitas non muslim.
Persoalan siyasah yang pertama dihadapi
kaum muslimin setelah Rasulullah wafat adalah suksesi politik. Pada masa
khulafaurasyidin dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara yang
dikenal dengan sebutan khalifah dan dengan berbagai kriteria yang sesuai dengan
sosio historis yang ada. Dikarenakan sebelum Rasulullah wafat belum menentukan
siapa yang akan menggantikannya. Setelah Rasulullah wafat, pengendalian dan
pengarahan kaum muslimin di pegang oleh shahabat Abu Bakar[5].
Sejarah menunjukkan bahwa khalifah berfungsi sebagai kepala dan pemimpin agama
dan Negara, pada masa kepemimpinan khlaifah empat pertama sejarah mencatat
bahwa fungsi khalifah hanya sebagai pemimpin Negara, terutama setelah munculnya
konsep Sultan dan Syaikh[6].
1.
Pengertian
Siyasah dan Macamnya
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau
membuat keputusan), atau ساس القوم (mengatur kaum,
memerintah dan memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa
siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan.
Pengertian siyasah di atas secara tersirat berarti:
“Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemashlahatan”
Sedangkan pengertian siyasah secara
istilah menurut Ibn ‘Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim yang mentarifkan:
“Siyasah adalah
segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih
jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT.
Tidak menentukannya”[7].
Dari pengertian siyasah di atas baik
secara bahasa maupun istilah, maka dapat diketahui bahwa objek kajian siyasah
meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga Negara dengan warga Negara,
warga Negara dengan lembaga Negara, lembaga Negara dengan lembaga Negara baik
yang bersifat intern suatu Negara atau yang bersifat eksteren suatu Negara
dalam berbagai bidang. Sedangkan menurut Abdul Wahab Khalaf[8]:
Yang termasuk objek pembahasan siyasah
adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal
kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan
realisasi kemashlahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya.
Berkenaan
dengan luasnya objek kajian fiqh siyasah, maka dalam tahap perkembangan siyasah
dikenal beberapa pembidangan fiqh siyasah yang berkenaan dengan pola hubungan
antar manusia yang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal ini siyasah dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah
yang mengatur hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan
warga Negara dan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu
Negara.
b. Siyasah Dauliyyah, ialah siyasah yang mengatur
antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga
Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
c. Siyasah Maliyyah, ialah siyasah yang mengatur
tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara[9].
a. Siyasah Dusturiyah
Siyasah
Dusturiyyah,
adalah siyasah yang mengatur hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang
satu dengan warga Negara dan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas
administrasi suatu Negara.
Permasalahan di dalam siyasah dusturiyah adalah hubungan antara
pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan dalam
masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasan siyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalam pembahasan tentang pengaturan
dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi
persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan
manusia serta memenuhi kebutuhanya[10].
Kata “dusturi” berasal dari bahasa
persia. Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang
politik maupun agama.
Sumber-sumber siyasah Dusturiyah diantaranya ialah:
a. Al-Quran, yaitu
ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat.
b. Hadits, terutama
yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullah dalam menerapkan
hukum Negara.
c. Kebijakan-kebijakan
khulafarasyidin dalam mengendalikan pemerintahan.
d. Ijtihad para
ulama.
e. Adat kebiasaan
suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan
Hadits.
b. Siyasah Dauliyah
Siyasah
Dauliyah
ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara dengan lembaga Negara dari
Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
Siyasah
dauliyah mengatur hubungan antara warga Negara dengan
lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara
dari Negara lain[11]
. Dalam hubungan Internasional asas damai merupakan asas hubungan
international, alasanya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya,
yaitu menolak kezaliman, menghilang fitnah, dalam rangka mempertahankan diri.
Konsekuensi dari asas damai sebagai hukum asal dalam hubungan internasional
adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan. Maka:
a. Perang tidak
dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
b. Orang yang tidak
ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
c. Segera
menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada damai
d. Memperlakukan
tawanan perang dengan cara manusiawi.
Subjek hukum dalam siyasah dauliyah
adalah Negara, setiap Negara mempunyai kewajiban. Kewajiban terpenting adalah
menghormati hak-hak Negara lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat.
Semua Negara yang ada di dunia ini adalah bertetangga, karena itu dalam
hubungan antar Negara diterapkan kewajiban menghormati Negara sebagai tetangga
Negara kita. Landasan dari kewajiban tersebut adalah:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh[12]
dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Sedangkan mengenai perjanjian antar Negara yang
diistilahkan dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat tertentu
yang mengikat suatu perjanjian.
a. Yang mengadakan
perjanjian memiliki kewenangan.
b. Karelaan dari
kedua belah pihak.
c. Isi perjanjian
dan objeknya tidak dilarang oleh syariat
islam.
d. Penulisan
perjanjian.
e. Menaati
perjanjian[13].
Hubungan internasional dalam peperangan
juga diatur dalam siyasah dauliyah ini, dalam kondisi perang keadaan
darurat itu sangat nyata pilihanya hanya
dua membunuh dan dibunuh. Itulah hukum perang yang nyata hanya saja kaum
muslimin yang berjihad fisabilillah tahu persis sesuai dengan pandangan
hidupnya, untuk agama dia berperang, dan apa makna syahid di medan perang,
karena itu sangat penting untuk diketahui kenapa perang harus terjadi:
a. Perang dalam
islam untuk mempertahankan diri.
b. Perang dalam
rangka dakwah.
c. Perang untuk
melindungi hak Negara yang sah yang dilanggar oleh suatu Negara lainnya tanpa
sebab yang dapat diterima.
Perang yang tidak sah menurut Ali Mansur
adalah suatu peperangan yang bermaksud untuk memperluas wilayah, perluasan
pengaruh, dan keinginan untuk menduduki dan menguasai Negara lain. Peperangan
dalam siyasah dauliyah disertai dengan aturan aturan yang dibenarkan dalam
Islam, diantaranya yaitu:
a. Adanya
pengumuman perang yang memungkinkan sampainya berita itu kepada musuh.
b. Adanya etika dan
aturan dalam peperangan seperti dilarang membunuh anak-anak, dilarang membunuh
wanita-wanita yang tidak ikut berperang juga dilarang memperkosa.
c. Dilarang
membunuh orang yang sudah tua apabila orang-orang tua itu tidak ikut berperang.
d. Tidak merusak
pohon, sawah, dan lading.
e. Tidak merusak
binatang ternak.
f. Tidak
menghancurkan rumah-rumah peribadatan.
g. Dilarang mencincang mayat musuh.
h. Dilarang membunuh pemuka agama.
i.
Tidak melampaui batas[14].
Peperangan bisa dihentikan dengan
upaya-upaya untuk segera memberhentikan peperangan. Perhentian peperangna bisa
terjadi dengan berbagai kemungkinan antara lain:
a. Peperangan bisa
dihentikan karena tercapainya tujuan perang.
b. Peperangan
dihentikan dengan adanya perjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapat
dibatalkan apabila musuh menghianati janji yang telah dibuat dan disetujui.
c. Siyasah Maliyyah
Siyasah
Maliyah
ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran
uang milik Negara[15].
Pengaturan dalam siyasah maliyah di
orientasikan untuk mengatur kemashlahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah
diantaranya mengatur hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta. Konsep
tentang sumber-sumber pemasukan dan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangan
Negara ini merupakan salah satu butir pemikiran fuqaha' yang cukup penting.
Dalam buku Al-Siyasah, Ibnu Taimiyah
banyak menyoroti tentang perekonomian negara yang secara gamblang membahas
tentang sumber pemasukan dan pendistribusian keuangan negara. Menurutnya,
sumber keuangan negara terdiri dari zakat, ghanimah, dan fai'. Sumber-sumber
lainnya yang tidak termasuk kategori zakat
dan ghanimah, dimasukkan dalam
istilah fai'. Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangan negara berpijak
pada skala prioritas menurut tingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagi
rakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentuk gaji, subsidi, pembangunan, dan
lain-lain.
Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah
diatas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detail dan operasional. Bagi
al-Mawardi, sumber-sumber pemasukan keuangan negara sangat beragam, baik yang
bersifat normatif seperti zakat,
ghanimah, dan fai', maupun yang ijtihadi, seperti jizyah, kharaj, 'usyr dan lain-lain. Pemaparan yang operasional
terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukan dan
pembelanjaan keuangan Negara dilakukan dengan sistem pengadministrasian (diwan) yang ketat dalam hubungannya
dengan kedudukan bait al-mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri dari empat
bagian, yaitu bagian yang mengurusi data diri tentara dan besaran gajinya,
bagian pencatatan wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan negara Islam,
bagian pencatatan pegawai negara dan bagian pencatatan bait al'mal[16].
Pengaturan harta dalam Siyasah Maliyah
mengacu pada prinsip-prinsip yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits.
Prinsip-prinsip tersebut adalah;
a. Prinsip tauhid
dan isti'mar, yaitu pandangan bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta
dan disediakan untuk manusia.
b. Prinsip
distribusi rizki, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan adalah rizki dari Allah.
c. prinsip mendahulukan kemaslatratan umum, yaitu
pandangan bahwa harta kekayaan itu hakikatnya milik Allah[17].
2.
Kepemimpinan
dalam Siyasah
Pada masterpiece-nya yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi
menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah)
dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur persoalan dunia. Karena
itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan merupakan sesuatu yang
wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara rasional.
Kepemimpinan dalam Negara menurut para
ulama berpendapat bahwa khalifah atau kepala Negara haruslah dari suku quraisy.
Selama berabad-abad suku Quraisy adalah suku terpilih di antara bangsa Arab dan
non Arab. Hadits yang menyatakan hak kepemimpinan suku Quraisy itu adalah sebagai berikut[18]:
لاَ يَزَالُ
هَذَاالأَمْرُفِى قُرَيْشٍ مَا بَقِرَ مِنْهُمْ اِثْنَانِ
“Pemerintahan itu masih harus dipegang oleh orang
Quraisy walaupun hanya tinggal dua orang (H.R. Bukhari)
Dalam sejarah penguasa yang menyebut
dirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukun Quraisy tidak pernah diakui
keberadaannya. Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlah khalifah dala
arti kepala Negara yang disebut al-Imamat[19].
Kata-kata khalifah dalam al-Quran lebih menunjukkan kepada fungsi manusia
secara keseluruhan dari pada seorang kepala Negara. Kata khalifah sebagai
kepala Negara adalah kepala Negara pengganti Nabi di dalam memelihra agama dan
mengatur keduniawian. Dia adalah manusia biasa yang dipercaya ummat karena baik
dalam menjalankan agamanya, bersifat adil seperti yang tampak pada pribadi Abu
Bakar dan khalifah setelahnya.
Para ulama ahlussunnah menyamakan pengertian
imamah dan khlifah. Karena keduannya lebih mendahulukan masalah-masalah agama
dan memelihara agama dari pada duniawi. Sedangkan dikalangan syiah imam ialah
shahibul hak as syar’I yang didalam undang-undang modern dikatakan de jure baik
yang langsung memerintah ataupun tidak. Adapun lafadz khalifah, mula-mula
menunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaan dalam kenyataan, walaupun tidak
berhak, yang pada masa sekarang disebut de facto[20].
Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagi
imamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Adapun ketentuan bagi
seseorang untuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi harus memenuhi tujuh
syarat yaitu[21]:
a. Adil yang
meliputi segala aspeknya.
b. Berilmu
pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap
berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
c. Sehat indranya,
seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui
langsung persoalan yang dihadapi.
d. Anggota tubuhnya
normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk
bergerak dan bertindak dengan cepat.
e. Memiliki
kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan
publik (al-mashlahah).
f. Keberanian dan
ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh.
g. Keturunan dari
suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin berasal dari Quraisy.
Ibnu Khaldun juga menguraikan
syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Syarat-syarat
itu adalah[22]:
a. Pengetahuan
tentang hukum-hukum Tuhan dan dapat menerapkan dan menguasai hukum tersebut.
b. Keadilan.
c. Kesanggupan
(capability).
d. Sehat jasmani
dan rohani.
e. Keturunan
Quraisy.
Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamah
merupakan hal yang wajib dalam umat Islam berdasarkan Ijma’. Sedangkan alasan
yang menjadikan wajibnya imamah tersebut, menurut al-Mawardi terdapat dua
pendapat di kalangan umat Islam, yakni sebagian mengemukakan wajib dengan akal
(rasio). Akal memandang kewajiban imamah ini untuk keselamatan manusia dari
tindakan zalim pertikaian (tanazu‘) dan permusuhan (takhasum). Segolongan yang
lain berpendapat bahwa kewajiban imamah dengan alasan syar‘i karena seorang
imam bertugas untuk menegakkan urusan-urusan syari’ah (umur al- syari‘ah).
3.
Kaidah Ahkam
dalam Al-Nadhariyah Siyasah
Seperti diketahui bahwa fiqih siyasah
adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan. Apabila
disederhanakan, Fiqih siyasah meliputi hukum tata Negara, administrasi Negara,
hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan,
fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya
sebagai penguasa yang konkrit di dalam ruang lingkup satu negara atau
antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun
internasional.
Berikut
beberapa kaidah fiqih di bidang fiqih siyasah yang dianggap penting untuk
diketahui:
1.
تَصَرُّفُ
اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Memperkuat kaidah ini, apa yang
dikatakan oleh Umar bin Khatab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur:
إِنِّي
أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي اْليَتِيْمِ إِنْ
أَحْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ
اسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta
Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan aku
mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika
aku berkecukupan aku menjauhinya”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang
pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti
keinginan hawa nafsunya dan keinginan keluarga atau kelompoknya. Kaidah ini
juga dikuatkan oleh surat An-Nisa ayat 58.
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap
kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat maka itulah yang harus
direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai atau dievaluasi
kemejuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan
rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya
pembangunan misalnya, membuat irigasi kepada petani, membuka lapangan kerja
yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkat
pegawai-pegawai yang amanah dan professional, dan lain sebagainya.
2.
الخِيَانَةُ لاَ
تَتَجَزَّأُ
“Perbuatan
khianat itu tidak terbagi-bagi”[23]
Apabila seseorang tidak melaksanakan
atau khianat terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia
harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.
Contohnya, seorang kepala daerah
memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya, baik tentang keuangan,
kepegawaian, maupun tentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabila ia
menyalahgunakan wewenangnya, misalnya dibidang keuangan dengan melakukan
korupsi, maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinya seluruh amanah lain yang
dibebankan kepadanya, karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya. Sebab
melanggar salah satunya berarti melanggar keseluruhannya.
3.
إِنَّ
اْلإِمَامَ أَنْ يَخْطَئَ فِي اْلعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَخْطَئَ فِي
اْلعُقُوْبَةِ
“Seorang pemimpin itu salah dalam memberi maaf lebih
baik daripada salah dalam menghukum”
Kaidah ini sama dengan ungkapan
hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi. Maksud kaidah tersebut diatas
menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting.
Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin mengakibatkan kemunduran kepada
rakyat dan bawahannya. Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada
bukti yang meyakinkan antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang
terbaik adalah memberi maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan
bukti-buktinya, maka seorang pemimpin harus berani dan tegas mengambil
keputusan sesuai dengan kaidah:
يُقَدَّمُ
فِي كُلِّ وِلاَيَةٍ مَنْ هُوَ أَقْدَمُ عَلَى اْلقِيَامِ بِحُقُوْقِهَا وَمَصَالِهَا
“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yang
berani menegakkan hak atau keebenaran atau kemaslahatan”
Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:
إِخْتِيَارُ
اْلأَمْثَالِ فَالأَمْثَالُ
“Memilih
yang representatif atau yang lebih representatif lagi”
4.
الوِلاَيَةُ
الْخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ اْلوِلاَيَةِ العَامَّةِ
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya)
dari pada kekuasaan yang umum”[24]
Dalam fiqih siyasah ada pembagian
kekuasaan sejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang,
maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam suatu negara. Ada khalifah sebagai
lembaga kekuasaan eksekutif, ada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
Bahkan ada lembaga pengawasan.
Maksud kaidah tersebut tersebut
diatas bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada
lembaga yang umum. Contohnya camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya
daripada kepala desa; wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya
daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.
5.
لاَ يُقْبَلُ فِي
دَارِ اْلإِسْلاَمِ اْلعُذْرُ بِجَهْلِ اْلأَحْكَامِ
“Tidak
dterima di negeri muslim pernyataan tidak tahu hukum”[25]
Sudah barang tentu yang dimaksud
tidak tahu hukum disini adalah hukum yang bersifat umum karena mesyarakat
mestinya mengetahui, seperti hukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat itu
wajib, dan lain sebagainya.
6.
الأَصْلُ فِي
اْلعَلاَقَةِ السِّلْمُ
“Hukum
asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”[26]
Ajaran Islam baik dalam hubungan
antara manusia maupun antara negara adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan
untuk melakukan pertahanan diri. Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika
satu-satunya penyelesaian adalah perang. Perang itu karena darurat. Oleh karena
itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus
diupayakan kembali kepada perdamaian, baik dengan cara penghentian sementara,
perjanjian, dan dengan melalui lembaga arbitrase.
7.
كُلُّ مُبِيْعٍ
لمَ ْيَصِحُّ فِي دَارِ اْلإِسْلاَمِ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِ اْلحَرْبِ
“Setiap barang yang tidak sah dijual belikan di
negeri Islam, maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”[27]
Negara harbi adalah negara yang
sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini dipakai oleh madzhab Imam
Maliki dan Syafi’i. Kaidah ini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya,
dimanapun berada, barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang
muslim yang pergi ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum
minuman yang memabukkan, melakukan riba dan sebagainya. Selain itu, dia harus
tetap shalat, puasa, memegang amanah, dan lain sebagainya.
8.
العَقْدُ يُرْعَي
مَعَ اْلكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ الْمُسْلِمِ
“Setiap perjanjian dengan orang non muslim harus
dihormati seperti dihormatinya perjanjian semua muslim”[28]
Kaidah ini berlaku dalam akad,
perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan non muslim dan antara
negeri muslim dan non muslim secara bilateral atau unilateral.
9.
الجِبَايَةُ
بِالْحِمَايَةِ
“Pungutan harus disertai dengan
perlindungan”
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan
berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, rikaz, ma’dun, kharaj, wajib
disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah
mengeluarkan apa yang dikomentari. Pemerintah tidak punya hak untuk memungut
tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah
terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apapun dari
rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan ini adalah rakyat harus dilindungi
hartanya, darahnya dan kehormatannya. Termasuk di dalamnya menciptakan kondisi
keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang
halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya.
10. الخُرُوْجُ
مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar
dari perbedaan pendapat adalah disenangi”[29]
Dalam kehidupan bersama sering
terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi
alternatif pemecahan masalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatan itu disenangi,
setelah terjadi terjadi perbedaan pendapat tadi agar kehidupan masyarakat
menjadi tenang kembali.
11. مَا
لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكَ كُلُّهُ
“Apa
yang tidak bisa dilaksanakn seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila
suatu keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalam pelaksanannya banyak
hambatan, maka tidak berarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa
yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan
kemampuan yang ada.
12. لَهُمْ
مَا لَنَا وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada
kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap
kita”[30]
Kaidah di atas tersebut menegaskan
adanya persamaan hak dan kewajiban diantara sesama warga negara yang dilandasi
oleh moral ukhuwah wathaniyah, meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan
budaya, serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks
hubungan antar negara Muslim dan dzimmi. Mereka berkedudukan sama di depan
penguasa dan hukum.
KESIMPULAN
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau
membuat keputusan), atau ساس القوم (mengatur kaum,
memerintah dan memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa
siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan
Siyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah
yang mengatur hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan
warga Negara dan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu
Negara.
b. Siyasah Dauliyyah, ialah siyasah yang mengatur
antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga
Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
c. Siyasah Maliyyah, ialah siyasah yang mengatur
tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ø A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media.
2003),
Ø Juhaya S, Praja,
Filsafat Hukum Islam (Bandung:
Lathifah Press. 2009),
Ø
Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in
‘an Rabb al-Alamin (Beirut: Dar al-Jayl. t,t),
Ø Abdul Wahab
Khalaf, al-Siyasah wa al-Syari’ah
(Kairo: Dar Anshar. 1977),
Ø
A.
Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian
(Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2002),
Ø
Ahmad
Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah
(Beirut: 1978),
Ø
Juhaya
S, Praja, Filsafat Hukum Islam
(Bandung: Lathifah Press. 2009),
Ø
Hasbi
Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh
islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1971),
Ø
Ibnu
Khaldun, Muqaddimah, dalam program
kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
Ø
Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001),
Ø
Asymuni
A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
Ø
Abd.
Al Qadir Audah, al-Islam Wa Awdha’una
al-Siyasah (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1957),
Ø
Abdul
Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyah
(Kairo: Dar al-Anshar, 1977),
[1] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm 1
[2] Ibid, hlm. 44
[3] Ibid, hlm. 48
[4]
Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah
Press. 2009), hlm. 84
[5] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 27
[6] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah
Press. 2009), hlm. 84
[7]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in ‘an Rabb al-Alamin
(Beirut: Dar al-Jayl. t,t), hlm. 16
[8] Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah wa al-Syari’ah (Kairo: Dar
Anshar. 1977), hlm. 5
[9] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 48
[10]A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 47
[11]
Ibid., hlm. 31
[12]Dekat dan jauh di sini ada yang
mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang
Muslim dan yang bukan Muslim.
[13]A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 137-139
[15] Ibid., hlm. 48
[16]Ibid, hlm. 389
[17]A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian (Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
2002), hlm. 287-288
[18] Ahmad Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah (Beirut: 1978),
hlm. 128-183
[19] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah
Press. 2009), hlm. 89
[20] Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh islam
(Jakarta: Bulan Bintang. 1971), hlm. 37
[21] Ibid, hlm. 5
[22] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 98-100 dalam program
kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[23] Asymuni A Rahman, Qaidah-qaidah
Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 75
[24] Ibid., hlm. 132
[25] Abd. Al Qadir Audah, al-Islam Wa Awdha’una al-Siyasah (Kairo:
Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1957), hlm. 431
[26]
Ali Mansur, al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al- Dawali al-‘Am (al-Qahirah:
Majlis ‘Ala li Syu’un al-Islamiyah, 1971), hlm. 137-138
[27] Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah
al-Syar’iyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), hlm. 264
[28] Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa’id
al-Fiqhiyah (Beirut: Dar al-Qalam, 1998), hlm. 113
[29] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa
al-Ndhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 1979), hlm. 151
[30]
Abd. Al Qadir Audah, al-Islam Wa Awdha’una al-Siyasiyah, hlm.
196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar