Senin, 30 April 2012

FILSAFAT HUKUM SIYASAH


FILSAFAT HUKUM SIYASAH
Oleh
Ahmad Damiri

PENDAHULUAN
Siyasah dalam peradaban kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang tata cara memimpin, dan membangun pemerintahan. Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok baginya, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yang disebut dengan Siyasah di pandang sebagai sebuah proses yang tidak  pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan sejarah ummat Islam. Meskipun demikian nilai siyasah tidak serta merta menjadi relative karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah[1].
Siyasah secara garis besarnya terbagi menjadi dua yaitu Siyasah Wad’iyyah ialah siyasah yang dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam Negara. Yang kedua, Siyasah Syar’iyyah yaitu siyasah yang berdasarkan syara’ yang mengikut etika agama,  moral dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam[2]. Akan tetapi dalam hal ini Islam lebih mengacu pada siyasah syar’iyyah dari pada siyasah wad’iyyah, karena di anggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga kurang diterima keberadaanya oleh kaum muslimin.
Siyasah didalamnya juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga, lembaga dengan lembaga, maupun Negara dengan Negara dengan ketentuan syariat Islam. Mayoritas ulama sepakat mengenai keharusan menyelenggarakan siyasah berdasarkan syara. Siyasah atau pemerintahan sudah ada pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw. Siyasah Syar’iyyah dalam Islam yang berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut terbagi menjadi tiga, yaitu siyasah dusturiyah, dauliyah dan maliyah[3]. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan memaparkan dalam makalah ini dengan tema filsafat hukum Siyasah.

PEMBAHASAN
Sejarah awal berdirinya suatu Negara Islam adalah pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Dalam kepemimpinan Rasulullah Siyasah Syar’iyyah telah dilaksanakan untuk mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial budaya yang diridhai Allah SWT. Pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah merupakan suatu Negara yang memenuhi persyaratan persyaratan Negara dalam system pemerintahan dan ketatanegaraan di zaman modern yang memiliki wilayah kekuasaan, penduduk, pemerintahan, rakyat, dan konstitusi[4].
Fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat ‘politik’. Atau yang dinamakan sebagai ‘negara’.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi setelah Rasulullah menetap di Madinah merupakan nilai dasar fiqh siyasah syar’iyyah. Dalam kedudukanya sebagai kepala Negara, kebijakan Rasulullah SAW. Merupakan pelaksanaan fiqh siyasah syar’iyyah. Salah satu contohnya adalah kebijakan yang dibuat Rasululllah SAW. Berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin antara kelompok muhajirin dengan kelompok Anshar. Kemudian perjanjian eksteren antara komunitas muslim dengan komunitas non muslim.
Persoalan siyasah yang pertama dihadapi kaum muslimin setelah Rasulullah wafat adalah suksesi politik. Pada masa khulafaurasyidin dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala Negara yang dikenal dengan sebutan khalifah dan dengan berbagai kriteria yang sesuai dengan sosio historis yang ada. Dikarenakan sebelum Rasulullah wafat belum menentukan siapa yang akan menggantikannya. Setelah Rasulullah wafat, pengendalian dan pengarahan kaum muslimin di pegang oleh shahabat Abu Bakar[5]. Sejarah menunjukkan bahwa khalifah berfungsi sebagai kepala dan pemimpin agama dan Negara, pada masa kepemimpinan khlaifah empat pertama sejarah mencatat bahwa fungsi khalifah hanya sebagai pemimpin Negara, terutama setelah munculnya konsep Sultan dan Syaikh[6].

1.      Pengertian Siyasah dan Macamnya
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة  (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan), atau ساس القوم   (mengatur kaum, memerintah dan memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan. Pengertian siyasah di atas secara tersirat berarti:
 “Memimpin sesuatu dengan cara  yang membawa kemashlahatan”
Sedangkan pengertian siyasah secara istilah menurut Ibn ‘Aqil sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim yang mentarifkan:
“Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah SWT. Tidak menentukannya”[7].
Dari pengertian siyasah di atas baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat diketahui bahwa objek kajian siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga Negara dengan warga Negara, warga Negara dengan lembaga Negara, lembaga Negara dengan lembaga Negara baik yang bersifat intern suatu Negara atau yang bersifat eksteren suatu Negara dalam berbagai bidang. Sedangkan menurut Abdul Wahab Khalaf[8]:
Yang termasuk objek pembahasan siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemashlahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya.
Berkenaan dengan luasnya objek kajian fiqh siyasah, maka dalam tahap perkembangan siyasah dikenal beberapa pembidangan fiqh siyasah yang berkenaan dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal ini siyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:
a.       Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
b.      Siyasah Dauliyyah, ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
c.       Siyasah Maliyyah, ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara[9].

a.      Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
Permasalahan di dalam siyasah dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan dalam masyarakatnya. Ruang lingkup pembahasan siyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalam pembahasan tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya[10]. Kata “dusturi” berasal dari bahasa persia. Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama.
Sumber-sumber siyasah Dusturiyah diantaranya ialah:
a.       Al-Quran, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat.
b.      Hadits, terutama yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullah dalam menerapkan hukum Negara.
c.       Kebijakan-kebijakan khulafarasyidin dalam mengendalikan pemerintahan.
d.      Ijtihad para ulama.
e.       Adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan Hadits.

b.      Siyasah Dauliyah
Siyasah Dauliyah ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
Siyasah dauliyah  mengatur hubungan antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain[11] . Dalam hubungan Internasional asas damai merupakan asas hubungan international, alasanya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu menolak kezaliman, menghilang fitnah, dalam rangka mempertahankan diri. Konsekuensi dari asas damai sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan. Maka:
a.       Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
b.      Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
c.       Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada damai
d.      Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
Subjek hukum dalam siyasah dauliyah adalah Negara, setiap Negara mempunyai kewajiban. Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak Negara lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat. Semua Negara yang ada di dunia ini adalah bertetangga, karena itu dalam hubungan antar Negara diterapkan kewajiban menghormati Negara sebagai tetangga Negara kita. Landasan dari kewajiban tersebut adalah:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[12] dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Sedangkan  mengenai perjanjian antar Negara yang diistilahkan dengan al-ittifak (kesepakatan) terdapat syarat-syarat tertentu yang mengikat suatu perjanjian.
a.       Yang mengadakan perjanjian memiliki kewenangan.
b.      Karelaan dari kedua belah pihak.
c.       Isi perjanjian dan objeknya  tidak dilarang oleh syariat islam.
d.      Penulisan perjanjian.
e.       Menaati perjanjian[13].
Hubungan internasional dalam peperangan juga diatur dalam siyasah dauliyah ini, dalam kondisi perang keadaan darurat  itu sangat nyata pilihanya hanya dua membunuh dan dibunuh. Itulah hukum perang yang nyata hanya saja kaum muslimin yang berjihad fisabilillah tahu persis sesuai dengan pandangan hidupnya, untuk agama dia berperang, dan apa makna syahid di medan perang, karena itu sangat penting untuk diketahui kenapa perang harus terjadi:
a.       Perang dalam islam untuk mempertahankan diri.
b.      Perang dalam rangka dakwah.
c.       Perang untuk melindungi hak Negara yang sah yang dilanggar oleh suatu Negara lainnya tanpa sebab yang dapat diterima.
Perang yang tidak sah menurut Ali Mansur adalah suatu peperangan yang bermaksud untuk memperluas wilayah, perluasan pengaruh, dan keinginan untuk menduduki dan menguasai Negara lain. Peperangan dalam siyasah dauliyah disertai dengan aturan aturan yang dibenarkan dalam Islam, diantaranya yaitu:
a.       Adanya pengumuman perang yang memungkinkan sampainya berita itu kepada musuh.
b.      Adanya etika dan aturan dalam peperangan seperti dilarang membunuh anak-anak, dilarang membunuh wanita-wanita yang tidak ikut berperang juga dilarang memperkosa.
c.       Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila orang-orang tua itu tidak ikut berperang.
d.      Tidak merusak pohon, sawah, dan lading.
e.       Tidak merusak binatang ternak.
f.       Tidak menghancurkan rumah-rumah peribadatan.
g.       Dilarang mencincang mayat musuh.
h.       Dilarang membunuh pemuka agama.
i.         Tidak melampaui batas[14].
Peperangan bisa dihentikan dengan upaya-upaya untuk segera memberhentikan peperangan. Perhentian peperangna bisa terjadi dengan berbagai kemungkinan antara lain:
a.       Peperangan bisa dihentikan karena tercapainya tujuan perang.
b.      Peperangan dihentikan dengan adanya perjanjian damai. Sedangkan perjanjian dapat dibatalkan apabila musuh menghianati janji yang telah dibuat dan disetujui.

c.       Siyasah Maliyyah
Siyasah Maliyah ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara[15].
Pengaturan dalam siyasah maliyah di orientasikan untuk mengatur kemashlahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah diantaranya mengatur hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta. Konsep tentang sumber-sumber pemasukan dan kaidah-kaidah dalam pembelanjaan keuangan Negara ini merupakan salah satu butir pemikiran fuqaha' yang cukup penting.
Dalam buku Al-Siyasah, Ibnu Taimiyah banyak menyoroti tentang perekonomian negara yang secara gamblang membahas tentang sumber pemasukan dan pendistribusian keuangan negara. Menurutnya, sumber keuangan negara terdiri dari zakat, ghanimah, dan fai'. Sumber-sumber lainnya yang tidak termasuk kategori zakat dan ghanimah, dimasukkan dalam istilah fai'. Sedangkan prinsip dalam pembelanjaan keuangan negara berpijak pada skala prioritas menurut tingkat kemaslahatan yang paling tinggi bagi rakyat, yang alokasinya diberikan dalam bentuk gaji, subsidi, pembangunan, dan lain-lain.
Berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah diatas, pandangan al-Mawardi relatif lebih detail dan operasional. Bagi al-Mawardi, sumber-sumber pemasukan keuangan negara sangat beragam, baik yang bersifat normatif seperti zakat, ghanimah, dan fai', maupun yang ijtihadi, seperti jizyah, kharaj, 'usyr dan lain-lain. Pemaparan yang operasional terlihat dalam penjelasan al-Mawardi bahwa seluruh kegiatan pemasukan dan pembelanjaan keuangan Negara dilakukan dengan sistem pengadministrasian (diwan) yang ketat dalam hubungannya dengan kedudukan bait al-mal. Menurutnya, adminitrasi negara terdiri dari empat bagian, yaitu bagian yang mengurusi data diri tentara dan besaran gajinya, bagian pencatatan wilayah-wilayah yang berada dalam kekuasaan negara Islam, bagian pencatatan pegawai negara dan bagian pencatatan bait al'mal[16].
Pengaturan harta dalam Siyasah Maliyah mengacu pada prinsip-prinsip yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
a.       Prinsip tauhid dan isti'mar, yaitu pandangan bahwa hanya Allah yang menciptakan alam semesta dan disediakan untuk manusia.
b.      Prinsip distribusi rizki, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan adalah rizki dari Allah.
c.        prinsip mendahulukan kemaslatratan umum, yaitu pandangan bahwa harta kekayaan itu hakikatnya milik Allah[17].

2.      Kepemimpinan dalam Siyasah
Pada masterpiece-nya yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur persoalan dunia. Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan merupakan sesuatu yang wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara rasional.
Kepemimpinan dalam Negara menurut para ulama berpendapat bahwa khalifah atau kepala Negara haruslah dari suku quraisy. Selama berabad-abad suku Quraisy adalah suku terpilih di antara bangsa Arab dan non Arab. Hadits yang menyatakan hak kepemimpinan suku Quraisy itu adalah  sebagai berikut[18]:
 لاَ يَزَالُ هَذَاالأَمْرُفِى قُرَيْشٍ مَا بَقِرَ مِنْهُمْ اِثْنَانِ
“Pemerintahan itu masih harus dipegang oleh orang Quraisy walaupun hanya tinggal dua orang (H.R. Bukhari)
Dalam sejarah penguasa yang menyebut dirinya sebagai khalifah dan ia bukan dari sukun Quraisy tidak pernah diakui keberadaannya. Khalifah seperti itu menurut para ulama bukanlah khalifah dala arti kepala Negara yang disebut al-Imamat[19]. Kata-kata khalifah dalam al-Quran lebih menunjukkan kepada fungsi manusia secara keseluruhan dari pada seorang kepala Negara. Kata khalifah sebagai kepala Negara adalah kepala Negara pengganti Nabi di dalam memelihra agama dan mengatur keduniawian. Dia adalah manusia biasa yang dipercaya ummat karena baik dalam menjalankan agamanya, bersifat adil seperti yang tampak pada pribadi Abu Bakar dan khalifah setelahnya.
Para ulama ahlussunnah menyamakan pengertian imamah dan khlifah. Karena keduannya lebih mendahulukan masalah-masalah agama dan memelihara agama dari pada duniawi. Sedangkan dikalangan syiah imam ialah shahibul hak as syar’I yang didalam undang-undang modern dikatakan de jure baik yang langsung memerintah ataupun tidak. Adapun lafadz khalifah, mula-mula menunjukkan kepada yang mempunyai kekuasaan dalam kenyataan, walaupun tidak berhak, yang pada masa sekarang disebut de facto[20].
Al-Mawardi menyebutkan dua hak bagi imamah, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu. Adapun ketentuan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin, menurut al-Mawardi harus memenuhi tujuh syarat yaitu[21]:
a.       Adil yang meliputi segala aspeknya.
b.      Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
c.       Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi.
d.      Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat.
e.       Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah).
f.       Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh.
g.      Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin berasal dari Quraisy.
Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah[22]:
a.       Pengetahuan tentang hukum-hukum Tuhan dan dapat menerapkan dan menguasai  hukum tersebut.
b.      Keadilan.
c.       Kesanggupan (capability).
d.      Sehat jasmani dan rohani.
e.       Keturunan Quraisy.
Al-Mawardi menjelaskan bahwa imamah merupakan hal yang wajib dalam umat Islam berdasarkan Ijma’. Sedangkan alasan yang menjadikan wajibnya imamah tersebut, menurut al-Mawardi terdapat dua pendapat di kalangan umat Islam, yakni sebagian mengemukakan wajib dengan akal (rasio). Akal memandang kewajiban imamah ini untuk keselamatan manusia dari tindakan zalim pertikaian (tanazu‘) dan permusuhan (takhasum). Segolongan yang lain berpendapat bahwa kewajiban imamah dengan alasan syar‘i karena seorang imam bertugas untuk menegakkan urusan-urusan syari’ah (umur al- syari‘ah).

3.      Kaidah Ahkam dalam Al-Nadhariyah Siyasah
Seperti diketahui bahwa fiqih siyasah adalah hukum Islam yang objek bahasannya tentang kekuasaan. Apabila disederhanakan, Fiqih siyasah meliputi hukum tata Negara, administrasi Negara, hukum internasional, dan hukum ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya sebagai penguasa yang konkrit di dalam ruang lingkup satu negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.
Berikut beberapa kaidah fiqih di bidang fiqih siyasah yang dianggap penting untuk diketahui:

1.      تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Memperkuat kaidah ini, apa yang dikatakan oleh Umar bin Khatab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur:

إِنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي اْليَتِيْمِ إِنْ أَحْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan aku mengambil daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan aku menjauhinya”
            Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya dan keinginan keluarga atau kelompoknya. Kaidah ini juga dikuatkan oleh surat An-Nisa ayat 58.
            Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai atau dievaluasi kemejuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pembangunan misalnya, membuat irigasi kepada petani, membuka lapangan kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan professional, dan lain sebagainya.

2.      الخِيَانَةُ لاَ تَتَجَزَّأُ
“Perbuatan khianat itu tidak terbagi-bagi”[23]
            Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.
            Contohnya, seorang kepala daerah memiliki banyak amanah yang dibebankan kepadanya, baik tentang keuangan, kepegawaian, maupun tentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabila ia menyalahgunakan wewenangnya, misalnya dibidang keuangan dengan melakukan korupsi, maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinya seluruh amanah lain yang dibebankan kepadanya, karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya. Sebab melanggar salah satunya berarti melanggar keseluruhannya.

3.      إِنَّ اْلإِمَامَ أَنْ يَخْطَئَ فِي اْلعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَخْطَئَ فِي اْلعُقُوْبَةِ
“Seorang pemimpin itu salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam menghukum”

            Kaidah ini sama dengan ungkapan hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi. Maksud kaidah tersebut diatas menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin mengakibatkan kemunduran kepada rakyat dan bawahannya. Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya, maka seorang pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan sesuai dengan kaidah:
يُقَدَّمُ فِي كُلِّ وِلاَيَةٍ مَنْ هُوَ أَقْدَمُ عَلَى اْلقِيَامِ بِحُقُوْقِهَا وَمَصَالِهَا
“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yang berani menegakkan hak atau keebenaran atau kemaslahatan”
Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:

إِخْتِيَارُ اْلأَمْثَالِ فَالأَمْثَالُ
“Memilih yang representatif atau yang lebih representatif lagi”

4.      الوِلاَيَةُ الْخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ اْلوِلاَيَةِ العَامَّةِ
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan yang umum”[24]

Dalam fiqih siyasah ada pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam suatu negara. Ada khalifah sebagai lembaga kekuasaan eksekutif, ada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Bahkan ada lembaga pengawasan.
            Maksud kaidah tersebut tersebut diatas bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga yang umum. Contohnya camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala desa; wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama, dan seterusnya.

5.      لاَ يُقْبَلُ فِي دَارِ اْلإِسْلاَمِ اْلعُذْرُ بِجَهْلِ اْلأَحْكَامِ
“Tidak dterima di negeri muslim pernyataan tidak tahu hukum”[25]

            Sudah barang tentu yang dimaksud tidak tahu hukum disini adalah hukum yang bersifat umum karena mesyarakat mestinya mengetahui, seperti hukum mentaati ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya.

6.      الأَصْلُ فِي اْلعَلاَقَةِ السِّلْمُ
“Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”[26]
            Ajaran Islam baik dalam hubungan antara manusia maupun antara negara adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk melakukan pertahanan diri. Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaian adalah perang. Perang itu karena darurat. Oleh karena itu, harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan kembali kepada perdamaian, baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian, dan dengan melalui lembaga arbitrase.

7.      كُلُّ مُبِيْعٍ لمَ ْيَصِحُّ فِي دَارِ اْلإِسْلاَمِ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِ اْلحَرْبِ
“Setiap barang yang tidak sah dijual belikan di negeri Islam, maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”[27]

            Negara harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini dipakai oleh madzhab Imam Maliki dan Syafi’i. Kaidah ini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya, dimanapun berada, barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang muslim yang pergi ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum minuman yang memabukkan, melakukan riba dan sebagainya. Selain itu, dia harus tetap shalat, puasa, memegang amanah, dan lain sebagainya.

8.      العَقْدُ يُرْعَي مَعَ اْلكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ الْمُسْلِمِ
“Setiap perjanjian dengan orang non muslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian semua muslim”[28]

            Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan non muslim dan antara negeri muslim dan non muslim secara bilateral atau unilateral.

9.      الجِبَايَةُ بِالْحِمَايَةِ
Pungutan harus disertai dengan perlindungan”

            Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, rikaz, ma’dun, kharaj, wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang dikomentari. Pemerintah tidak punya hak untuk memungut tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari pemerintah terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apapun dari rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan ini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya dan kehormatannya. Termasuk di dalamnya menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya.

10.  الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”[29]

            Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi terjadi perbedaan pendapat tadi agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.

11.  مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكَ كُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakn seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”

            Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalam pelaksanannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada.

12.  لَهُمْ مَا لَنَا وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”[30]

            Kaidah di atas tersebut menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban diantara sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah, meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar negara Muslim dan dzimmi. Mereka berkedudukan sama di depan penguasa dan hukum.

KESIMPULAN
Siyasah berasal dari kata ساس، يسوس ،سياسة  (mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan), atau ساس القوم   (mengatur kaum, memerintah dan memimpinnya). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian bahasa siyasah berarti pemerintahan, pengambilan keputusan, pengurusan, pengawasan
Siyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:
a.       Siyasah Dusturiyyah, adalah siyasah yang mengatur hubungan warga Negara dengan lembaga Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara yang lain dalam batas-batas administrasi suatu Negara.
b.      Siyasah Dauliyyah, ialah siyasah yang mengatur antara warga Negara dengan lembaga Negara dari Negara yang satu dengan warga Negara dan lembaga Negara dari Negara lain.
c.       Siyasah Maliyyah, ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik Negara.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003),
Ø  Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009),
Ø  Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in ‘an Rabb al-Alamin (Beirut: Dar al-Jayl. t,t),
Ø  Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah wa al-Syari’ah (Kairo: Dar Anshar. 1977),
Ø  A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian (Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2002),
Ø  Ahmad Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah (Beirut: 1978),
Ø  Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009),
Ø  Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1971),
Ø  Ibnu Khaldun, Muqaddimah, dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
Ø  Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Grafindo Media Persada, 2001),
Ø  Asymuni A. Rahman,  Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
Ø  Abd. Al Qadir Audah, al-Islam Wa Awdha’una al-Siyasah (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1957),
Ø  Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977),


[1] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm 1
[2] Ibid, hlm. 44
[3] Ibid, hlm. 48
[4] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009), hlm. 84
[5] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 27
[6] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009), hlm. 84
[7] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi in ‘an Rabb al-Alamin (Beirut: Dar al-Jayl. t,t), hlm. 16
[8] Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah wa al-Syari’ah (Kairo: Dar Anshar. 1977), hlm. 5
[9] A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 48
[10]A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 47
[11] Ibid., hlm. 31
[12]Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
[13]A. Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta: Prenada Media. 2003), hlm. 137-139
[14] Ibid.. 149-150
[15] Ibid., hlm. 48
[16]Ibid, hlm. 389
[17]A. Djazuli, Lembaga-lembaga Perekonomian (Jakarta: PT Raja Grafindo persada. 2002), hlm. 287-288
[18] Ahmad Bin Hambal, al-Maktab al-Islamiyah (Beirut: 1978), hlm. 128-183
[19] Juhaya S, Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Lathifah Press. 2009), hlm. 89
[20] Hasbi Ash Shiddieqy, ilmu kenegaraan dalam fiqh islam (Jakarta: Bulan Bintang. 1971), hlm. 37
[21] Ibid, hlm. 5
[22] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 98-100 dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[23] Asymuni A Rahman,  Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 75
[24] Ibid., hlm. 132
[25] Abd. Al Qadir Audah, al-Islam Wa Awdha’una al-Siyasah (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1957), hlm. 431
[26] Ali Mansur, al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al- Dawali al-‘Am (al-Qahirah: Majlis ‘Ala li Syu’un al-Islamiyah, 1971), hlm. 137-138
[27] Abdul Wahab Khalaf, al-Siyasah al-Syar’iyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), hlm. 264
[28] Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah (Beirut: Dar al-Qalam, 1998), hlm. 113
[29] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Ndhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1979), hlm.  151
[30] Abd. Al Qadir Audah, al-Islam Wa Awdha’una al-Siyasiyah, hlm. 196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar