Metode Tafsir Maudhu’i
Ahmad Damiri
Abstract
In interpreting
the Holy Quran at least comprises of four methods: general understanding method
of Quran, detail understanding method of the Holy Scripture, comparative
understanding method of the Holy Book, and thematical/topical interpreting
method of Quran. The interpreting the verses of the Holy Qoran influenced by
those four methods and the background of the interpreters themselves. Each
method has the characteristics either its weakness or its strength. For that
reason, there is no the best method for understanding Quran.But, according to
the writer of this article in term of interpreting Quran nowadays the
topical/thematical method is very urgent to answer and to solve Moslem
communities.
Keywords: methods,the holy quran, thematical.
1.
Pendahuluan
Tipologi tafsir berkembang terus
dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan kontek zaman, dimulai dari tafsir
bi al-ma’tsur atau tafsir riwayat berkembang ke arah tafsir bi
al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur menggunakan nash dalam menafsirkan
Al-Qur’an, sementara tafsir bi al-ra’yi lebih mengandalkan ijtihad dengan akal. Berdasarkan metode terbagi menjadi tafsir tahlili, tafsir maudhu’i,
tafsir ijmali dan tafsir muqaran. Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al- Qur’an ada berdasar
subjek atau topik. Bagaimana sejarah perkembangan dan manfa’at tafsir tematik
itu menjadi topik pembahasan makalah ini.
2.
Pengertian
Metode Tafsir
Kata “metode”
berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan[1]. Dalam
bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpikir
baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya atau cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna
mencapai suatu tujuan yang ditentukan[2].
Metode
digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu
masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan
fisik pun tidak
terlepas dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana
untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. Dalam kaitan ini, studi
tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Metode tafsir Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang
harus diperhatikan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka, apabila seseorang
menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan
keliru dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y
al-mahdh [tafsir berdasarkan pikiran] [3].
Ada dua istilah
yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat
membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara
yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu
ilmu tentang cara tersebut. Maka pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode
muqarin [perbadingan], misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan
jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qur’an, disebut pembahasan metodik.
Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik
atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang
digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dan seni atau teknik ialah cara
yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode,
sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode- metode
penafsiran al-Qur’an[4].
Di dalam
penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode
penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan allaunu.
Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia[5],
kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu
metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi,
kata mazhab bermakna aliran[6],
dan kata laun bermakna corak atau warna dalam penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan thariqah
adalah digunakan dalam metode tahlili, muqarin, ijmali dan mawdlu’i.
Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan madzhab yang
bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang
ahli fiqih cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fiqih dan seorang filosof
menafsirkan Qur’an ke arah fisafat[7],
dan seterusnya.
Allaunu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an. Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan
corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof
dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau
warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat
al-Qur’an dengan corak tasawuf[8].
Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan
dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga
seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya.
3.
Pengertian
Tafsir Maudhu’i
` Kata maudhu’i
berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul
dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan
dan membuat-buat[9].
Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul
atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan
ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu.
Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat,
seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat[10].
Adapun pengertian tafsir maudhu’i
(tematik) menurut istilah para ulama ialah
جمع الآيات القرآنية،
ذات الهدف الواحد ـ التي اشتركت في موضوع ما ـ وترتيبها حسب النزول ـ ما أمكن ذلك ـ
مع الوقوف على أسباب نزولها، ثم تناولها بالشرح والبيان، والتعليق والإستنباط.
Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an
yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor
tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan[11].
Menurut al-Sadr bahwa istilah
tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia
mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke
Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman
manusia dengan alqur’an. Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk
memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya.
Melainkan menyatukan keduanya di dalam konteks
suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Islam
mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang
dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini
disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat
yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sintesis, atas dasar
ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya
ke dalam sebuah pandangan yang tersusun[12].
Menurut al Farmawi bahwa dalam
membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut
tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai
dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif)[13]. Dari
beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah
upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan
mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan
menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan
Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib
turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
4.
Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i adalah
metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas
topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya[14].
Menurut Al-farmawi metode tafsir maudhu’i ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam
dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul,
kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta
didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun
pemikiran rasional[15].
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia
mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai
macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.
Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep
nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, dan
sebagainya.
M. Quraish Shihab,
mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu
surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang
merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga
dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula
dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari
berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan
urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut,
guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu[16].
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i
ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an
yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya
kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya
selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i
mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an
yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[17].
Ciri metode ini ialah menonjolkan
tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa
metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu
sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji
secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas
atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi
penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an
agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala
[al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap
menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir[18].
5.
Pembagian Tafsir Maudhu’i
Dalam perkembangannya, metode maudhu’i
memiliki dua bagian:
a. Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal
(tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya,
serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu
mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh:
الحمد لله مافي السموات وما في الأرض وله الحمد
في الأخرة وهو الحكيم الخبير, يعلم ما يلج في الأرض ومايخرج منها وماينزل من
السماء وما يعرج فيها وهو الرحيم الغفور
.
Segala puji
bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya
(pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke
dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha
Pengampun.(Qs,Saba:1-2)
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan
menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang
universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
b. Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang
berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu
ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Contohnya: Allah SWT,
berfirman:
فتلقى
أدم من ربه كلمت فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم. (البقرة: 37)
“ Kemudian Adam menerima
beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima tibatnya, sesungguhnya
Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman
Allah Ta’ala di atas ,nabi mengemukakan ayat.
قالا
ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفرلنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين (الأعراف:23)
“ keduanya berkata, : ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak
mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang
merugi.”
Contoh lainnya:
أحلت لكم بهيمة
الأنعم إلا مايتلى عليكم (المائدة: 1)
“ Dihalalkan bagimu binatang ternak,
yang akan dbiacakan kepadamu.”
Untuk
menjelaskan pengecualian yang terdapat pada ayat saat disana, nabi merujuk firman Allah
:
حرمت عليكم
الميتة و الدم و لحم الخنزير (المائدةك 3)
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”
6.
Sejarah
Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i
telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang
kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa
semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i
dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah
digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960.
Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir
maudhu‘i berdasarkan
subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru
besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir,
fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir
sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus
enam puluhan[19].
Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah
karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad,al-Insân fî al-Qur’ân,al-Mar’ah fî
al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân[20].Kemudian
tafsir model ini dikembangkan dan
disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah
Maudu‘iyah[21].
Namun jika, merujuk pada catatan lain,
kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab,
baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek.
Kaitannya dengan tafsir tematik
berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al- Burhân[22],
misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya
tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyûtî (w.
911/1505) dalam karyanya al-Itqân[23].
Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-Jauzîyah (1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab Hanbalî,
yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz al- Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid ; Mufradât
al-Qur`ân oleh al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû al-Hasan al-Wahîdî al-Naisâbûrî (w. 468/1076),
dan sejumlah karya dalam yakni;
(1) Naskh al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad
al-Zuhrî (w. 124/742),
(2) Kitâb al-Nâsikh wa al-Mansûkh
fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nahhâs (w. 338/949),
(3) al-Nâsikh wa al-Mansûkh
oleh Ibn Salamâ (w. 410/1020),
(4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh
Ibn al-‘Atâ`iqi (w.s. 790/1308),
(5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh
wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-Fârisî. Sebagai tambahan, tafsir
Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jasâs (w. 370 H.), adalah contoh lain dari tafsir
semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an.
Karena itu, meskipun tidak fenomena
umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh,
perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa
kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik
tematik berdasarkan surah al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek/topik.
7.
Kelebihan
Tafsir Maudhu’i
Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:
[1] Menjawab tantangan
zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan
perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya
metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini
diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
[2] Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha
memecahkan permasalahan yang timbul.
[3] Dinamis: Metode tematik membuat
tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga
menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an
senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua
lapisan dan starata sosial.
[4] Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan
ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an
dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode
tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk
pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas[24]
7. Kekurangan Tafsir Maudhu’i
Kekurangan metode tafsir
maudhu’i antara lain:
[1] Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud
memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat
atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk
tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam
satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak
mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf
agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
[2] Membatasi pemahaman ayat: Dengan
diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.
Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena
dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap
sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan,
berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut[25].
8. Kedudukan Tafsir Maudhu’i
Ali Hasan
al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu’i dalam era sekarang
ini yaitu[26]:
[1] Metode maudhu’i berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar
pada bagian surat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir
dengan metode ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat
menghindarkan mufassir dari kesalahan. [2] Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut
seorang pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat
itu. [3] Dengan metode maudhu’i seorang pengkaji mampu memberikan suatu
pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema dengan cara
mengetahui, menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif terhadap semua
ayat yang berbicara tentang tema tersebut. [4] Dengan metode ini seorang
pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan
kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat. [5] Metode maudhu’i
sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana terjadi diferensiasi pada
tiap-tiap persoalan dan masing-masing
masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti
sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu. [6] Dengan metode maudhu’i
orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu
tema. [7] Metode maudhu’i memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk
sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah
payah dan menemui kesulitan. [8] Metode maudhu’i mampu menghantarkan
kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah,
terlebih lagi pada saat ini telah banyak bertaburan ”kotoran” terhadap hakikat
agama-agama sehingga tersebar doktrin-doktrin kemanusiaan dan isme-isme yang
lain sehingga sulit untuk dibedakan.
Dari berbagai uraian tentang
kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode yang dikemukakan, menurut
Hujair A.H Sanaky kebutuhan ummat pada zaman modern, metode Maudhu’i
mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelesaian suatu tema dengan
mendasarkan ayat-ayat al-Qur’an, walaupun setiap metode memiliki karakteristik
sendiri-sendiri yang tentu tergantung pada kepentingan dan kebutuhan mufassir
serta situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhu’i
dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat
dewasa ini, karena metode maudhu’i mampu menghantarkan ummat [pembaca
Tafsir] ke suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling
mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami
tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i,
mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang
dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an
dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya mengikuti
urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an[27].
9. Perbedaan metode maudhu’i (tematik)
dengan metode tafsir lainnya
a.
Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tahlili
Metode Tahlili
|
Metode Maudhu’i (Tematik)
|
1.
mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
2.
Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam
satu ayat.
3.
Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu
ayat.
4.
Sulit ditemukan tematema tertentu yang utuh
5.
Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir
yang ada.
|
1.
Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih
terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
2.
Mufassir tidak berbicara tema lain
selain tema ysng sedang dikaji. Oleh
karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing
berdiri sendiri dantidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
3.
Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu
ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
4.
Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
5.
Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran
yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.
|
b.
Perbedaan metode maudhu’i
(tematik) dengan metode ijmali (global)
Metode Ijmali (Global)
|
Metode Maudhu’i (Tematik)
|
1.
Mufassir terikat dengan susunan mushaf.
2.
Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam
satu ayat.
|
1.
Mufassir tidak terikat dengan susunan mushaf.
2.
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
|
c.
Perbedaan metode maudhu’i dengan metode muqaran
Metode Muqaran
|
Metode Maudhu’i
|
1.
Mufassir menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para
mufassir.
2.
Mufassir terikat dengan uraian para mufassir.
|
1.
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
2.
Mufassir tidak terikat dengan uraian para mufassir.
|
10. Operasionaliaasi kerja tafsir maudhu’i
Menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah
dalam sistimatika tafsir maudhu’i[28].Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan
oleh M. Quraiah Shihab yaitu:
ü menetapkan masalah yang akan dibahas
ü menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah
tersebut
ü menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah
dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal
ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
ü mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing
ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan
dengan terma sentral pada suatu surah)
ü melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas
ü menyusun outline
pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu,
sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah
ü mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau
mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang
relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan
atau pemaksaan dalam penafsiran
ü menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban
Alquran terhadap masalah yang dibahas[29].
Contoh: Potensi-potensi manusia
dalam Alquran (masalahnya apa jawaban Alquran tentang potensi-potensi manusia,
(2) mencari kata kunci yakni kata aql, qalb, nafs, ruuh, jasad, dan lain-lain,
(3) diantara sekian ayat dipilih yang mewakilinya dan ditertibkan sesuai dengan
Makkiyah Madaniyahnya, (4) melengkapi bahan-bahan dari hadis, (5) menyusun
outline penelitian, (6) mempelajari secara seksama, dengan ilmu-ilmu yang
dikuasai dan dapat memakai tafsir bil ma’tusr, tahlili atau lainnya, (7)
menyusun hasil penelitian sebagai jawaban Alquran terhadap tema yang dibahas).
Dengan memperhatikan kompleksnya
pembahasan proses kerja dalam penerapan metode tafsir maudhu’i, maka
membutuhkan seorang mufassir yang betul-betul berwawasan luas maka keilmuannya
terutama ketika meneliti berbagai ayat yang berhubungan dengan tema dan
memilihnya secara representatif. Di samping seorang mufassir tabu tentang
perangkat ulum Alquran terutama ilmu munasabah, asbab al-nuzul (kalau
ada), tafsir bi al-ma’tsur, ilmu bahasa arab, juga si mufassir harus
bersikap hati-hati dan tekun. Oleh karena itu begitu urgensinya penerapan
metoda ini dalam rangka mencari solusi jawaban Alquran terhadap permasalahan
umat, maka setiap mufassir seharusnya melengkapi dirinya perangkat penerapan
metode ini sehingga hasilnya dapat memuaskan. Kalau dilihat dari kompleksnya
operasionaliaasi kerja metode tafsir ini akan dapat menjawab permasalahan umat
atau paling tidak akan lebih mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Allah
swt. Karena metode ini di samping membiarkan ayat-ayat Alquran berbicara dengan
dirinya sendiri, mencakup pendapat para sahabat, tetap memakai hadis-hadis
Nabi, juga meng-sintesakannya dengan pengalaman kemanusiaan.
10. Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas
dapat diketahui bahwa sejarah munculnya tafsir tematik berdasarkan surah
digagas pertama kali oleh seorang guru besar Al-Azhar Syaikh Mahmud Syaltut,
pada tahun 1960, sedangkan berdasarkan tema digagas pertama kali oleh Prof.Dr.
Ahmad Sayyid al- Kumiy dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof.Dr.Abdul
Hay Al-Farmawiy, pada tahun 1977.
Langkah yang dilakukan dalam metode tematik ini adalah menetapkan
masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik
tersebut,melengkapi ayat-ayat dengan hadis-hadis yang relevan dengan topik
pembahasan kemudian dibahas dan disimpulkan.
Keistimewaan tafsir metode tematik adalah menafsirkan ayat dengan ayat
atau dengan hadis Nabi merupakan cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara
itu kesimpulan yang diambil mudah dipahami tanpa mengemukakan berbagai
pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu dan Al-Qur’an sebagai petunjuk
hidup secara konkrit dapat menjawab problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Daftar Isi
Al-Aridl, Ali Hasan. Tarikh Ilm Al-Tafsir.
Hlm.92-95, Dalam Muqowin, Metode Tafsir, Makalah Seminar Al-Qur’an, Program
Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga, 18 Desember , Yogyakarta.1997,
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Rajawali Pers,
1996.
Al-Suyûtî, Jalâl
Al-Din, Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur`Ân
, Kairo: Dâr Al-Turâth, 1405/1985.
Baidan, Nashruddin. Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1988.
Hassan, Fuad. Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjaraningrat [Ed], Metode-Metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1977.
Munawwir, Ahmad Warso. 1984. Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan
PP.”Al-Munawwir” Krapyak.
Ma’luf, Luia . Al Mun Jid Fr
Al-Lughah Wa Al-A ‘Lam, Dar Al-Masyriq, Beirut, 1987.
Sadr At, Muhammad Baqir, “Pendekatan Temalik Terhadap Tafsir
AI-Qur’an “,
Dalam Ulumul Quran, Vol I, No. 4, 1990
Sanaky, Hujair A.H., Metode
Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak Mufassirin], Al-Mawarid
Edisi XVIII Tahun 2008.
Shihab, M. Quraish, Membumikan
al-Quran, cet. Ke xix , Bandung: Mizan, 1999.
________, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir
Mau Atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 1997.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa
Indonesia, Cet. Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka.1988.
Website
[1] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. 1977. Beberapa
Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat [ed], Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. hlm. 16.
[2] Tim Penyusun. 1988. Kamus Bahasa
Indonesia, cet. Ke-I, Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 580-581.
[3] Tafsir bi al-ra’y al-mahdh [tafsir
berdasarkan pemikiran] yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan
bahwa penafsiran serupa itu haram [Ibnu Taymiyah. 1971/1391. Muqaddimat fi
Ushul al-Tafsir. Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, cet.ke-I. hlm. 105, dalam
Nushruddin Baidan. Op. Cit. hlm. 2
[4] Nashruddin Baidan. 1988. Metodologi
Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 1-2.
[5] Ahmad Warso Munawwir. 1984. Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan
PP.”al-Munawwir” Krapyak. Kata: Thariqah [jalan, cara], hlm. 910-1645. Manhaj
[cara, metode], hlm. 1567, Ittijah [arah], hlm. 1645, dan Allaunu
[warna,corak], hlm. 1393. Sebagai perbandingan: Menurut Hans Wehr: thariqah
[jamak: thara’iq] berarti cara, mode, alat, jalan, metode, prosedur dan system.
Manhaj [jamak: ittijahat] berarti terbuka, dataran, jalan, cara, metode, dan
program. Ittijah [jamak:alwan] berarti warna, mewarnai, corak, macam, dan
contoh [Hans Wehr. 1974. A Dictionary of Modern Written Arabic.
ed.J.Milton Cowan. London: Macdonald and Evans Ltd. hlm. 559].
[6] H.Said Agil Husin al-Munawar, Silabus
Diskusi, tanggal 21 Oktober 1998.
[7] Contoh Ittijah dalam penafsiran al-Qur’an,
buku karangan Abdul Majid Abdus Salam Al-Muhtasib. 1973. Ittijah al-Tafsir
fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah Aqly Taufiqy,
Ittijah Ilmy. Beirut: Dar al-Fikir, yaitu tentang orientasi tafsir pada
masa modern, dan buku karangan Nasr Hamid Abu Zaid. 1996. al-Ittijah al-Aqly
fi al-Tafsir; Dirasah fy Qadliyah al-Majaz fy al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah.
Beirut: al-Markaz al-Tsaqafly al-Araby, yaitu tentang orientasi tafsir yang
rasional menurut Mu’tazilah. [Muqowin. 1997. Metode Tafsir, Makalah Seminar
al-Qur’an Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 18
Desember 1997, hlm.5].
[8] Hujair a.h.sanaky, metode tafsir
[perkembangan metode tafsir mengikuti warna atau corak mufassirin], Al-Mawarid
Edisi XVIII Tahun 2008.hlm 4
[9] Luia Ma’luf, Al Mun jid fr al-Lughah wa al-A
‘lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1987, hal. 905.
[10] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada
Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 83-84.
[11] Abd al-Hayy al Farmawi, , Mu jam al-Alfaz
wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52. Situs resmi
Abd al-Hayy Al-Farmawi, http://www.hadielislam.com/arabic/index.php?pg=articles%2Farticle&id=704, 08.45 am, 5 Desember 2011.
[12] Sadr at, Muhammad Baqir, “Pendekaian Temalik
Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Quran, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34. http://maragustamsiregar.wordpress.com/2011/01/10/metode-tafsir-maudhui-tematik-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/, 08.45 am, 5 Desember 2011.
[13] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi
al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977,
hal. 62. http://www.hadielislam.com/arabic/index.php?pg=articles%2Farticle&id=704, 08.45 am, 5 Desember 2011.
[15] al-Farmawi, op.cit, hlm. 52., dalam
Nashruddin Baidan. op.cit. hlm. 151.
[16] M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan
al-Qur’an. Bandung: Mizan. hlm. 74.
[17] M. Quraish Shihab. 1997. Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Mau atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. hlm.
xiii.
[18] Nashruddin Baidan. Op. Cit. hlm. 152.
[19] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, cet.
Ke xix (Bandung: Mizan, 1999), hlm.114.
[20] Ibid., hlm. 114
[21] Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. oleh Suryan
A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
[22] Badr al-Dîn Muh}ammad al-Zarkashî, al-Burhân
fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988), 1:61-72.
[23] Jalâl al-Din> al-Suyût}î, al-Itqân fî
‘Ulûm al-Qur`ân (Kairo: Dâr al-Turâth, 1405/1985), 2:159-161.
[24] Ibid. hlm 18.
[25] Nashruddin Baidan. ibid. hlm.
165-168.
[26] Ali Hasan al-Aridl. Tarikh Ilm al-Tafsir.
hlm.92-95, dalam Muqowin, Metode Tafsir, Makalah Seminar al-Qur’an, Program
Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan Kalijaga, 18 Desember 1997, Yogyakarta, hlm.
22-23. Hujair a.h.sanaky, metode tafsir [perkembangan metode tafsir mengikuti
warna atau corak mufassirin], Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.hlm 22.
[27] Ibid. hlm 23.
[28]
Abdl hay Al-farmawi, Op.cit.hlm 61-62
[29]
Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1989, hal. 141.