Senin, 30 April 2012

Eksistensi Ilmu Filsafat dan Agama


Eksistensi Ilmu Filsafat dan Agama
Oleh
Ahmad damiri
A.   Pengertian Ilmu 
 Definisi ilmu secara etimologi berarti tahu ata pengetahuan. Kata Ilmu dari bahasa arab ‘Alima ya’lamu, dana kata scinence dari bahasa latin: scio, scire, kedua-duanya berarti tahu. Tetapi secara terminologi, ilmu atau science itu adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat tertentu[1]. Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau kepandaian baik yang termasuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan keadaan alam[2].
Jika melihat  pendapat  Mohammad Hatta bahwa, definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memproses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri.  Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya, karena tidak setiap aktifitas berfikir itu dapat menghasilkan ilmu
Dari definisi yang diungkapkan di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang berdiri secara satu kesatuan, tersusun secara sistematis,  ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data), Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri ialah segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, dalam, dan  luas dari pengetahuan.                                  
B.   Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari kata yunani, yaitu philosophia, gabungan antara philein yang berarti mencintai, dan sophia berarti kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut filsuf atau filosof artinya pencinta kebijaksanaan[3]. Sedangkan menurut Harun Nasution bahwa,  pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata barat Fil dan safat dari kata Arabsehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat[4].
Filsuf Heroklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata falsafat untuk menerangkan hanya tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah, manusia harus puas dengan tugasnya di dunia sebagai pencari dan pencipta hikmah[5].
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Maka filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar[6].
C.   Pengertian Agama
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Sedangkan agama menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut[7].
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi, artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misalnya Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama                                         
D.   Korelasi Ilmu, Filsafat Dan Agama                  
Sumber ilmu pengetahuan dan falsafah adalah akal atau rasio, akal itulah yang menjadi alat untuk mencapai tujuan. Para sarjana umumnya sepakat menyatakan bahwa akal manusia itu meskipun mempunyai daya jangkau dan aya analisa yang kuat, namun tetap saja akal itu bersifat nisbi dan terbatas[8]. Sedangkan agama bersumber dari wahyu yang memiliki aspek-aspek bersifat prinsip dan tidak bisa diganggu gugat dan tidak menerima penalaran akal.
Oleh karena itu, Ilmu, filsafat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu kepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.  
Filsafat  dan Agama merupakan dua jalan  yang  saling berhubungan erat menuju pengenalan diri. Orang beragama yang berfilsafat  tentang diri sendiri dan bertatap  muka  dengan banyak soal yang tidak terjawab olehnya, akan menyerahkannya pada Teologi, atau meninjau dirinya kembali di bawah sorotan cahaya  Wahyu  Illahi.  Kalau filsafat  telah  mengubah  dia menjadi  “orang yang bertanya-tanya”,  sapaan  Tuhan  akan diberi arti lebih besar, yakni sebagai bantuan bagi  manusia yang bertanya. Kalau dia bukan “orang yang bertanya-tanya di hadapan  Allah, Tuhan dan sapaanya-Nya tidak  akan  dianggap kenyataan yang hidup.
Karena keseimbangan dari akal dan keyakinan yang dimiliki manusia dapat membawa pada kebenaran yang jauh lebih kuat, seperti teori Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk membuktikan adanya tuhan. Dalam bukunya Summa Theologia ia berhasil menyusun lima argumen tentang adanya Tuhan. Namun, kembali lagi pada keterbatasan jangkauan akal manusia yang mencoba memahami tentang  Tuhan, maka perlu dipandu oleh nilai-nilai wahyu, karena usaha rasio itu hanya menjangkau hal-hal yang logis saja, sedangkan saat berbicara keimanan, nuranilah yang berperan.                       
E.   Kedudukan  dan fungsi Falsafah Bagi Manusia       
Falsafah adalah usaha mencari jawaban dari berbagai persoalan hidup manusia yang tak sempat dan tak di mampui oleh Ilmu  Pengetahuan yang menjawabnya, maka falsafah sangat penting kedudukannya bagi manusia. Diatas dunia ini pada umumnya setiap bangsa mendasarkan negaranya pada idiologi yang lahir dari suatu konsep falsafati sebagai sebuah dasar negara yang memiliki arti yang mendalam.
Dalam dunia Ilmu Pengetahuan, falsafah sekarang ini berfungsi sebagai salah satu sarana dan alat  pendekatan interdisiplin yang akan merangkum atau setidak-tidaknya mencari hubungan-hubungan antara berbagai disiplin yang bermacam-macam, sehingga menjadi suatu rangkaian yang saling berkaitan.[9]          
Filsafat  sebetulnya  mencari  suatu  citra  manusia, yaitu  suatu  visi tertentu atas hidup manusia,  yang  dapat dipertanggungjawabkan,  yang dapat berperan menjadi  pedoman yang  bersifat  mengikat dan  mengarahkan  bagi  keseluruhan sikap  hidupnya.  Visi itu harus  menjuruskan  dan  menjiwai tingkah  lakunya. Jadi tujuan filsafat bukanlah  pengetahuan demi pengetahuan. Manusia membutuhkan suatu visi atas  hidup yang benar-benar berakar dan berbobot, supaya dengan  berpijak  pada  hal  tersebut ia tahu  bagaimana  membentuk  diri seperti semestinya, apa yang dapat diharapkannya untuk  masa yang  akan  datang, dan dimana ia harus  mencari  kebulatan, keutuhan,  dan kesempurnaan hidup sebagai manusia, dan  akibatnya,  di mana ia akan dapat menemukan kebahagiaan  (kalau kebahagiaan  itu ada). Jadi berfilsafat mempunyai  orientasi praktis,  namun harus bertumpu pada citra manusia yang  bertanggungjawab  dan suatu pandangan atas manusia yang  berdasar. Itulah yang harus dicita-citakan.
Romano  Guardini  (1885-1968)  seorang  filsuf-teolog  terkenal,  dalam  bukunya “Mein Ich und das  Gute  menyebut sebagai bahaya sangkaan banyak orang bahwa, setelah  menjadi dewasa,  mereka tidak perlu dibimbing dan dibina lebih  lanjut.  Hanya efesiensi mereka perlu ditingkatkan.  Untuk  itu diperlukan sejumlah pengetahuan baru ad hoc. Akibatnya ialah bahwa mereka mengalami suatu kemiskinan mental, yang membuat mereka  tidak  berdaya terhadap setiap pengaruh  dari  luar. Mereka tidak mampu membentuk sikap dan pendirian yang bersifat pribadi. Sekalipun mereka pandai di bidang  profesional, dan  penuh  kepastian, mereka berdiri  di  kancah  kehidupan dengan ragu-ragu dan tanpa arah (mungkin, korupsi dan opportunisme yang melanda masyarakat kita dapat diasalkan  kepada tiadanya  pegangan yang sungguh-sungguh  dihayati).  Menurut Guardini,  manusia  harus  dihadapkan  dengan  diri  sendiri berulang-ulang.  Ia  sendiri harus mencari  dan  menyelidiki semua  kemungkinan  yang nampak terbuka bagi dia.  Ia  harus memeriksa  sendiri arti sebenarnya dari kebebasan dan  tanggungjawabnya, sebab hanya demikianlah ia akan mampu  menemu­kan  jalan  yang  benar di suatu dunia  yang  serba  berubah dengan pesat, dan menyesuaikan diri secara  bertanggungjawab dengan suatu zaman teknologi, dimana efesiensi lebih  tinggi memang dituntut sebagai prasyarat.
F.    Kedudukan dan fungsi  Agama Bagi Manusia
Menurut Prof Ahmad Tafsir bahwa dunia ini dibangun oleh dua kekuatan yaitu agama dan filsafat[10], karena pentingnya agama dalam kehidupan manusia sebagai sebuah landasan idiologis yang bisa menghantarkan manusia pada sebuah kebahagiaan dan ketentraman. Karena sudah menjadi fitrah manusia yang memerlukan sandaran dari segala keterbatasannya salah satunya dari aspek daya jangkau akal, oleh karena itu jika kita berbicara tentang agama atau Ad-Din dalam bahasa arab sebagi istilah yang dipakai islam. Dan tercermin pada hadits
ما من مولود الا يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه او ينصرانه ويمجسانه[11]
"Tidak ada anak yang dilahirkan, kecuali dilahirkan atas kesucian. Dua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR.Bukhari)
Maka dari hadits di atas secara tersirat  menyatakan bahwa manusi asejak dilahirkan  memiliki fitrah yang tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai agama. Karena agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang menghantarkan manusia pada kehidupan yang tak sekedar berlangsung di dunia namun juga di akhirat, agama sebagai sistem Ibadah dan agama sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur hubungan manusia secara horizontal dengan manusia lain dan pertikal kepada Tuhan.
G.  Kebenaran Falsafah
Filsafat merupakan pemikiran sedalam-dalamnya tentang semua hal yang bersentuhan dengan manusia dan bagaimanapun juga caranya, bersangkut paut dengan dia dan hidupnya. Jadi filsafat akan berurusan dengan benda-benda, situasi-situasi, pertanyaan  dan masalah yang sebelumnya telah dijumpai  baik di tingkat pengetahuan pra-ilmiah maupun di tingkat pengetahuan  ilmiah,  namun kali ini diselami ke dasar  yang  lebih dalam.
Menurut Prof.Ahmad Tafsir tentang ukuran kebenaran pengetahuan filsafat ialah sebagai pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah[12]. Oleh karena itu, ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Kuatnya sebuah teori filsafat terletak pada kekuatan argumen yang dimiliki, bukan pada kehebatan konklusi.
Oleh karena filsafat mencari “yang paling dalam”  dan “yang paling dasar”, ia melampaui pengertian yang dihasilkan  ilmu  pengetahuan. Keuntungannya ialah bahwa ia lebih  dapat memperlihatkan saling hubungan antara segala-galanya.  Sebab pada inti realitas yang terdalam, semuanya bersentuhan  satu sama lain. Akan tetapi semua itu hasil produk pemikiran manusia yang memiliki keterbatasan sehingga bersifat spekulatif , maka perlu diimbangi dengan kebenaran agama. Atau muncul pula istilah filsafat islam yang menurut Ibrahim Madkur ialah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi  Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat[13]. Sehingga setidaknya kebenaran filsafat ini tidak begitu saja kosongdari nilai-nilai spiritual yang akan membawanya pada kebenaran yang absolut.


H.  Kebenaran Agama
Karena kita tidak memiliki sesuatu jenis kebenaran yang pasti, yang dapat dirumuskan oleh manusia sebagai pedoman asasi dalam hidup, maka manusia mencari kebenaran lain yang lebih menjamin kepastian dan jauh dari kenisbian. Oleh karena itu, kebenaran agama disandarkanpada wahyu yang bersifat qoth’i yang disana terdapat aspek-aspek yang tidak bisa diganggu gugat atau pun menjadikan akal sebagai alat untuk menalarnya.
الحق من ربك فلا تكونن من الممترين
Kebenaran itu dari tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu (Qs.Al-Baqoroh: 147)
Maka kebenaran absolute ini berasal langsung dari Tuhan, jika kita berbicara tentang sudut pandang kebenaran agama (red: islam) ini tidak terlepas dari sumber qoth’I yaitu Al-Qur’an yang merupakan firman-firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW yang berisi kebenaran-kebenaran yang pasti yang bersifat universal,  tidak seperti kebenaran yang dirumuskan oleh pemikiran manusia yang sifatnya parsial, temporer, kondisional dan relative.







Bab 2
Penutup
A.    Kesimpulan
Ilmu, filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
 Ilmu mendasar pada akal, filsafat mendasar pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada wahyu.














Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al-Kariim
Agama Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan, Islam untuk Disisplin Ilmu Filsafat, Jakarta: Departemen Agama RI, 1997.
Chaniago, Amran Ys, kamus lengkap bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Clement, C.J. Webb, A history of philosophy, London: Oxford University Press, 1949.
Madkur, Ibrahim, Fi Falsafah Al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, Jilid I , kairo: Dar Al-Ma’arif, 1968.
Nasution,  Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002.
Nasution,  Harun, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosda, 2010.
                                                                                                                         


[1] Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Islam untuk Disisplin Ilmu Filsafat, Jakarta: Departemen Agama RI, 1997.h. 41.
[2] Amran Ys Chaniago, kamus lengkap bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002,h. 253.
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002,hlm.1.
[4] Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm.9.
[5] Clement, C.J. Webb, A history of philosophy, London: Oxford University Press, 1949, hlm.7
[7] Amran Ys Chaniago, Op.Cit,hlm. 14.

[8] Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,Op.cit, .hlm.134.

[9] Ibid, hlm.
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosda, 2010, hlm.89.

[11] Shohih Bukhari, Bab Janaiz, hadits 1354
[12] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosda, 2010, hlm. 88
[13] Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, Jilid I , kairo: Dar Al-Ma’arif, 1968, hlm. 19-20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar