Eksistensi Ilmu Filsafat dan Agama
Oleh
Ahmad damiri
A.
Pengertian Ilmu
Definisi ilmu secara
etimologi berarti tahu ata pengetahuan. Kata Ilmu dari bahasa arab ‘Alima
ya’lamu, dana kata scinence dari bahasa latin: scio, scire,
kedua-duanya berarti tahu. Tetapi secara terminologi, ilmu atau science
itu adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan
syarat-syarat tertentu[1].
Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau kepandaian
baik yang termasuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan keadaan alam[2].
Jika melihat pendapat Mohammad Hatta bahwa, definisi ilmu dapat
dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan. Suatu
pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat
diamati panca indera manusia. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada
para ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk:
"jika,...maka..."
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera masing-masing individu
dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memproses
pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu, definisi ilmu bisa berlandaskan
aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang
digunakannya, karena tidak setiap aktifitas berfikir itu dapat menghasilkan
ilmu
Dari definisi yang diungkapkan di atas, kita dapat melihat bahwa
sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu
yang berdiri secara satu kesatuan, tersusun secara sistematis, ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang
dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan
data), Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua
pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri ialah segala
sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui,
yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan
terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, dalam, dan luas dari pengetahuan.
B.
Pengertian
Filsafat
Filsafat berasal dari kata yunani, yaitu philosophia,
gabungan antara philein yang berarti mencintai, dan sophia
berarti kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan
filsafat disebut filsuf atau filosof artinya pencinta kebijaksanaan[3].
Sedangkan menurut Harun Nasution bahwa, pembentukan kata filsafat menjadi kata
Indonesia diambil dari kata barat Fil dan safat dari kata Arabsehingga
terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat[4].
Filsuf Heroklaitos (540-480 SM) sudah memakai kata falsafat untuk
menerangkan hanya tuhan yang mengetahui hikmah dan pemilik hikmah, manusia
harus puas dengan tugasnya di dunia sebagai pencari dan pencipta hikmah[5].
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa.
Maka filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar[6].
C.
Pengertian
Agama
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada
kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Sedangkan
agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga
disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut[7].
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi, artinya
definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat
dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan
nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama
itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan
keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar
dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa
juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa
manusianya sendiri. Misalnya Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, dan lain-lain atau
hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu
penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur,
ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama
D.
Korelasi Ilmu,
Filsafat Dan Agama
Sumber ilmu pengetahuan dan falsafah adalah akal atau rasio, akal
itulah yang menjadi alat untuk mencapai tujuan. Para sarjana umumnya sepakat
menyatakan bahwa akal manusia itu meskipun mempunyai daya jangkau dan aya
analisa yang kuat, namun tetap saja akal itu bersifat nisbi dan terbatas[8].
Sedangkan agama bersumber dari wahyu yang memiliki aspek-aspek bersifat prinsip
dan tidak bisa diganggu gugat dan tidak menerima penalaran akal.
Oleh karena itu, Ilmu, filsafat serta agama mempunyai hubungan yang
kuat terkait pada manusia, karena ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak
bisa dipisahkan pada manusia, yakni ketiga tersebut ada potensinya pada manusia
yaitu, akal, rasa dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat
merasakan dan meraih sesuatu kepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan
tujuannya.
Filsafat dan Agama merupakan
dua jalan yang saling berhubungan erat menuju pengenalan
diri. Orang beragama yang berfilsafat
tentang diri sendiri dan bertatap
muka dengan banyak soal yang
tidak terjawab olehnya, akan menyerahkannya pada Teologi, atau meninjau dirinya
kembali di bawah sorotan cahaya
Wahyu Illahi. Kalau filsafat telah
mengubah dia menjadi “orang yang bertanya-tanya”, sapaan
Tuhan akan diberi arti lebih
besar, yakni sebagai bantuan bagi
manusia yang bertanya. Kalau dia bukan “orang yang bertanya-tanya di
hadapan Allah, Tuhan dan sapaanya-Nya
tidak akan dianggap kenyataan yang hidup.
Karena keseimbangan dari akal dan keyakinan yang dimiliki manusia
dapat membawa pada kebenaran yang jauh lebih kuat, seperti teori Thomas Aquinas
(1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk membuktikan adanya tuhan.
Dalam bukunya Summa Theologia ia berhasil menyusun lima argumen tentang
adanya Tuhan. Namun, kembali lagi pada keterbatasan jangkauan akal manusia yang
mencoba memahami tentang Tuhan, maka
perlu dipandu oleh nilai-nilai wahyu, karena usaha rasio itu hanya menjangkau
hal-hal yang logis saja, sedangkan saat berbicara keimanan, nuranilah yang
berperan.
E.
Kedudukan dan
fungsi Falsafah Bagi Manusia
Falsafah adalah usaha mencari jawaban dari berbagai persoalan hidup
manusia yang tak sempat dan tak di mampui oleh Ilmu Pengetahuan yang menjawabnya, maka falsafah
sangat penting kedudukannya bagi manusia. Diatas dunia ini pada umumnya setiap
bangsa mendasarkan negaranya pada idiologi yang lahir dari suatu konsep
falsafati sebagai sebuah dasar negara yang memiliki arti yang mendalam.
Dalam dunia Ilmu Pengetahuan, falsafah sekarang ini berfungsi
sebagai salah satu sarana dan alat
pendekatan interdisiplin yang akan merangkum atau setidak-tidaknya mencari
hubungan-hubungan antara berbagai disiplin yang bermacam-macam, sehingga
menjadi suatu rangkaian yang saling berkaitan.[9]
Filsafat sebetulnya mencari
suatu citra manusia, yaitu suatu
visi tertentu atas hidup manusia,
yang dapat dipertanggungjawabkan, yang dapat berperan menjadi pedoman yang
bersifat mengikat dan mengarahkan
bagi keseluruhan sikap hidupnya.
Visi itu harus menjuruskan dan
menjiwai tingkah lakunya. Jadi
tujuan filsafat bukanlah pengetahuan
demi pengetahuan. Manusia membutuhkan suatu visi atas hidup yang benar-benar berakar dan berbobot,
supaya dengan berpijak pada
hal tersebut ia tahu bagaimana
membentuk diri seperti
semestinya, apa yang dapat diharapkannya untuk
masa yang akan datang, dan dimana ia harus mencari
kebulatan, keutuhan, dan
kesempurnaan hidup sebagai manusia, dan
akibatnya, di mana ia akan dapat
menemukan kebahagiaan (kalau
kebahagiaan itu ada). Jadi berfilsafat
mempunyai orientasi praktis, namun harus bertumpu pada citra manusia
yang bertanggungjawab dan suatu pandangan atas manusia yang berdasar. Itulah yang harus dicita-citakan.
Romano Guardini (1885-1968)
seorang filsuf-teolog terkenal,
dalam bukunya “Mein Ich und
das Gute” menyebut sebagai bahaya sangkaan banyak orang
bahwa, setelah menjadi dewasa, mereka tidak perlu dibimbing dan dibina lebih lanjut.
Hanya efesiensi mereka perlu ditingkatkan. Untuk
itu diperlukan sejumlah pengetahuan baru ad hoc. Akibatnya ialah bahwa
mereka mengalami suatu kemiskinan mental, yang membuat mereka tidak
berdaya terhadap setiap pengaruh
dari luar. Mereka tidak mampu
membentuk sikap dan pendirian yang bersifat pribadi. Sekalipun mereka pandai di
bidang profesional, dan penuh
kepastian, mereka berdiri di kancah
kehidupan dengan ragu-ragu dan tanpa arah (mungkin, korupsi dan
opportunisme yang melanda masyarakat kita dapat diasalkan kepada tiadanya pegangan yang sungguh-sungguh dihayati).
Menurut Guardini, manusia harus
dihadapkan dengan diri
sendiri berulang-ulang. Ia sendiri harus mencari dan
menyelidiki semua
kemungkinan yang nampak terbuka
bagi dia. Ia harus memeriksa sendiri arti sebenarnya dari kebebasan
dan tanggungjawabnya, sebab hanya
demikianlah ia akan mampu
menemukan jalan yang
benar di suatu dunia yang serba
berubah dengan pesat, dan menyesuaikan diri secara bertanggungjawab dengan suatu zaman
teknologi, dimana efesiensi lebih tinggi
memang dituntut sebagai prasyarat.
F.
Kedudukan dan fungsi Agama Bagi Manusia
Menurut Prof Ahmad Tafsir bahwa dunia ini dibangun oleh dua
kekuatan yaitu agama dan filsafat[10], karena pentingnya agama dalam kehidupan manusia
sebagai sebuah landasan idiologis yang bisa menghantarkan manusia pada sebuah
kebahagiaan dan ketentraman. Karena sudah menjadi fitrah manusia yang
memerlukan sandaran dari segala keterbatasannya salah satunya dari aspek daya
jangkau akal, oleh karena itu jika kita berbicara tentang agama atau Ad-Din
dalam bahasa arab sebagi istilah yang dipakai islam. Dan tercermin pada hadits
ما من مولود الا يولد على الفطرة,
فأبواه يهودانه او ينصرانه ويمجسانه[11]
"Tidak ada anak yang dilahirkan, kecuali dilahirkan atas kesucian.
Dua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR.Bukhari)
Maka dari hadits di atas secara tersirat menyatakan bahwa manusi asejak dilahirkan memiliki fitrah yang tidak bisa dipisahkan
dengan nilai-nilai agama. Karena agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang
menghantarkan manusia pada kehidupan yang tak sekedar berlangsung di dunia
namun juga di akhirat, agama sebagai sistem Ibadah dan agama sebagai sistem
kemasyarakatan yang mengatur hubungan manusia secara horizontal dengan manusia
lain dan pertikal kepada Tuhan.
G.
Kebenaran
Falsafah
Filsafat merupakan pemikiran sedalam-dalamnya tentang semua hal
yang bersentuhan dengan manusia dan bagaimanapun juga caranya,
bersangkut paut dengan dia dan hidupnya. Jadi filsafat akan berurusan dengan
benda-benda, situasi-situasi, pertanyaan
dan masalah yang sebelumnya telah dijumpai baik di tingkat pengetahuan pra-ilmiah maupun
di tingkat pengetahuan ilmiah, namun kali ini diselami ke dasar yang
lebih dalam.
Menurut Prof.Ahmad Tafsir tentang ukuran kebenaran pengetahuan
filsafat ialah sebagai pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini
menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan
itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah[12].
Oleh karena itu, ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang
menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Kuatnya sebuah teori filsafat terletak
pada kekuatan argumen yang dimiliki, bukan pada kehebatan konklusi.
Oleh karena filsafat mencari “yang paling dalam” dan “yang paling dasar”, ia melampaui
pengertian yang dihasilkan ilmu pengetahuan. Keuntungannya ialah bahwa ia
lebih dapat memperlihatkan saling
hubungan antara segala-galanya. Sebab
pada inti realitas yang terdalam, semuanya bersentuhan satu sama lain. Akan tetapi semua itu hasil
produk pemikiran manusia yang memiliki keterbatasan sehingga bersifat
spekulatif , maka perlu diimbangi dengan kebenaran agama. Atau muncul pula
istilah filsafat islam yang menurut Ibrahim Madkur ialah pemikiran yang lahir
dalam dunia islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama
dan filsafat[13].
Sehingga setidaknya kebenaran filsafat ini tidak begitu saja kosongdari
nilai-nilai spiritual yang akan membawanya pada kebenaran yang absolut.
H.
Kebenaran Agama
Karena kita tidak memiliki sesuatu jenis kebenaran yang pasti, yang
dapat dirumuskan oleh manusia sebagai pedoman asasi dalam hidup, maka manusia
mencari kebenaran lain yang lebih menjamin kepastian dan jauh dari kenisbian.
Oleh karena itu, kebenaran agama disandarkanpada wahyu yang bersifat qoth’i
yang disana terdapat aspek-aspek yang tidak bisa diganggu gugat atau pun
menjadikan akal sebagai alat untuk menalarnya.
الحق
من ربك فلا تكونن من الممترين
Kebenaran itu dari tuhanmu, maka janganlah
engkau termasuk orang-orang yang ragu (Qs.Al-Baqoroh: 147)
Maka
kebenaran absolute ini berasal langsung dari Tuhan, jika kita berbicara tentang
sudut pandang kebenaran agama (red: islam) ini tidak terlepas dari sumber qoth’I
yaitu Al-Qur’an yang merupakan firman-firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW yang berisi kebenaran-kebenaran yang pasti yang
bersifat universal, tidak seperti kebenaran yang dirumuskan oleh pemikiran manusia yang
sifatnya parsial, temporer, kondisional dan relative.
Bab 2
Penutup
A.
Kesimpulan
Ilmu,
filsapat serta agama mempunyai hubungan yang kuat terkait pada manusia, karena
ke tiga tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada manusia, yakni
ketiga tersebut ada potensinya pada manusia yaitu, akal, rasa dan keyakinan.
Sehingga dengan ketiga tersebut manusia dapat merasakan dan meraih sesuatu
ykepuasan dari hidupnya yakni kebahagiaan dan tujuannya.
Ilmu mendasar pada akal, filsafat mendasar
pada otoritas akal murni secara radikal pada kenyataan dan agama mendasar pada
wahyu.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Al-Kariim
Agama
Islam, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan, Islam untuk Disisplin Ilmu
Filsafat, Jakarta: Departemen Agama RI, 1997.
Chaniago,
Amran Ys, kamus lengkap bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Clement,
C.J. Webb, A history of philosophy, London: Oxford University Press,
1949.
Madkur, Ibrahim, Fi Falsafah
Al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, Jilid I , kairo: Dar Al-Ma’arif, 1968.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2002.
Nasution, Harun, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosda, 2010.
[1] Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Islam untuk Disisplin Ilmu Filsafat, Jakarta: Departemen Agama RI,
1997.h. 41.
[2] Amran Ys Chaniago, kamus lengkap bahasa
Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002,h. 253.
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002,hlm.1.
[4] Harun Nasution, Falsafat Agama,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm.9.
[5] Clement, C.J. Webb, A history of
philosophy, London: Oxford University Press, 1949, hlm.7
[7] Amran Ys Chaniago, Op.Cit,hlm. 14.
[8] Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam,Op.cit, .hlm.134.
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung:
Rosda, 2010, hlm.89.
[12]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Rosda, 2010, hlm. 88
[13]
Ibrahim Madkur, Fi Falsafah Al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, Jilid I ,
kairo: Dar Al-Ma’arif, 1968, hlm. 19-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar