Senin, 30 April 2012

Metode Periwayatan Hadits


Metode Periwayatan Hadits
Oleh : Ahmad Damiri
Abstrac
Hadith the prophet muhammad Saw is the second  source in islamic law after Qur’an not only to know how prayer but also to guide moslem life. The function of hadits  is explanation from ayah qur’an. Some hadith spread in the moslem but not all hadith is shahih ,there is good hadith, weak hadith, and false hadith. Therefore not all hadith can be law basic  in moslem life because just the  hadith shahih admitted in the islamic law. history of hadith methodology is a way to find out the authenticity of hadith.
Keyword: Weak Hadith, False Hadith , History Of Hadith Methodology.
Pendahuluan
Hadis Nabi Saw, merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang dihadirkan sebagai salah satu petunjuk bagi umat Islam dalam menjalankan tuntunan agamanya. Keberadaan hadis dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan.
Namun, kehadiran hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi penentu boleh atau tidaknya suatu hadis untuk dijadikan hujjah. Hal ini yang menyebabkan ijtihad para ulama hadis bisa melahirkan dua komponen ilmu dalam mempelajari, memahami, menganalisa dan mengamalkan hadis Nabi saw, yaitu yang dikenal dengan ilmu riwayah dan ilmu dirayah hadis . Keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai dasar untuk mengetahui otentisitas hadis. Di awal masa Islam sudah timbul perbedaan pemahaman dalam penyampaian redaksi hadis yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual sehingga melahirkan apa yang disebut dengan periwayatan hadis bi al-lafẓi wa al-ma’na. Pada tingkat selanjutnya ada permasalahan dalam tata cara penerimaan dan penyampaian hadis yang dikenal dengan istilah taḥammul al-ḥadīth wa adā’uhū, yang bisa menentukan kualitas sebuah hadis karena terkait dengan orang yang meriwayatkannya.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Metoda Penelitian hadits, sebagai salah satu bidang cakupan penentu kevalidan sebuah hadis.
BAB I
A.    Pengertian Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah ,maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.[1] Dalam referensi lain metode secara etimologis, metode berasal dari kata 'met' dan 'hodes' yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan[2].
Maka metode ini pun terdapat dalam bahasa arab yang disebut dengan kata thoriqoh yang merupakan bentuk jamak dari thoriq yang berma’na jalan  atau kayfiyah yang berarti cara[3].sedangkan Metodologi dalam kamus bahasa indonesia, berarti  ilmu tetang metode; uraian tentang metode[4]. Sedangkan metode, menurut kamus yang sama adalah Cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan[5].
B.     Pengertian Periwayatan                                          
Periwayatan secara secara etimologi diambil dari kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti   al-naql (penukilan), Al-zikr (penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-istiqa (pemberian minum sampai puas)[6], atau dalam istilah ini terkait dengan kegiatan menghimpun kitab-kitab hadis yang dikenal riwayat hadis. Dalam bahasa indonesia periwayatan yang diserap dari bahasa arab mempunyai arti cerita atau sejarah[7].    Adapun orang yang meriwayatkannya disebut dengan rawi, yang diriwayatkan disebut marwiy, rangkaian para periwayatanya yaitu sanad dan substansi yang setelah sanad dinamai matan[8].     
Menurut terminologi ilmu hadis, periwayatan yang disebut al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu[9]. Menurut Syuhudi Ismail seseorang dapat dikatakan melakukan kegiatan periwayatan hadis jika memenuhi 3 unsur[10], yaitu:
1)      Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis
2)      Kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain, dan
3)      Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.
Ulama umumnya berpendapat, persamaan periwayatan dan kesaksian terletak pada empat hal, yaitu pelakunya haruslah beragama islam, berstatus mukalaf (balig dan berakal), bersifat adil dan bersifat dabit[11]. Dan semua itu menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi periwayat hadis dan saksi. Oleh karena itu periwayat hadis pun bisa dikatakan saksi atas berita yang diriwayatkannya, seperti yang dikenal dalam ilmu sejarah, selama hal ini tidak disamakan persis dalam kesaksian perkara dikarenakan terdapat persamaan dan perbedaan dalam hal ini[12].
C.    Pengertian Hadits                             
Secara etimologi hadits berarti al-jadid (sesuatu yang baru)[13], lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.  Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits itu sama dengan sunnah yaitu, segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib bahwa sunnah ‘atsar rasulullah saw sebelum bi’tsah ataupun sesudah bi’tsah, sedangkan hadits terhitung setelah bi’tsah, maka dia berkesimpulan bahwa sunnah lebih luas dari hadis[14]. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan  segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya[15].  Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits dengan istilah sunnah  ialah ucapan, perbuatan atau pengakuan rasulullah SAW, yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara[16].
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in yang berarti asli dari nabi. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
D.      Pengertian Periwayatan Hadits
Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut[17].
Dalam proses ini terjadi dua peristiwa, yaitu tahammul dan ada’. Tahammul adalah dan cara penyampaian hadits dari seorang syaikh atau guru kepada muridnya. Sedangkan ada’ adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari syaikh atau gurunya. Dengan demikian, antara dua peristiwa di atas tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan.
Dalam proses periwayatan ini diketahui bahwa para rawi berbeda-beda keadaannya pada waktu menerima hadits dari gurunya, termasuk dari shahib al-hadits, selain dalam keadaan normal dan baik, mungkin dalam keadaan kanak-kanak, masih kafir, suka maksiat (fasiq), atau sedang dalam keadaan gila, dan sebagainya[18]. Kompleksitas periwayatan hadis dan bervariasinya ke-tsiqat-an rawi memungkinkan para rawi meriwayatkan hadis selafazh yang diterima dari gurunya atau mungkin meriwayatkan hadis tidak persis dalam lafazh tetapi makna dasarnya tidak berbeda.[19]                   
E.     Cara Nabi Menyampaikan Hadits             
Mengenai cara nabi menyampaikan hadits pada masanya, dapat dilihat dari bentuk-bentuk hadits yang terdiri dari ucapan, perbuatan, taqriir dan hal ihwalnya. Mengingat posisi dan kedudukan nabi pada saat itu selain menjadi kepala Negara beliau pun memerankan fungsinya di tengah masyarakat mapun keluarga. Maka dapat disimpulkan nabi dalam menyampaikan haditsnya  dalam beberapa cara, contohnya:
عن عمر بن أبي سلمة رضي الله عنهما قال : كنت غلاما في حجر رسول لله صلى الله عليه وسلم وكانت يدي تطيش في الصحفة فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: ياغلام, سم الله وكل بيمينك وكل مما يليك فما زالت تلك طعمتي بعد.
 Dari Umar bin Abi Salamah ra. Dia berkata: Aku dahulu seorang budak yang berada di bawah pemeliharaan Rasulullah s.a.w dan selalu tanganku bergerak ke sana ke mari dalam piring makan. Maka Rasulullah s.a.w berkata kepadaku: " hai gulam, sebutlah Nama Allah, makanlah dengan tangan kanan engkau dan makanlah apa yang ada di keliling engkau." Maka setelah itu terus meneruslah sedemikian sifat aku makan.[20]
Nabi juga menyuruh dengan cara langsung dengan lisannya kepada 'Umar untuk makan dengan tangan kanannya. Hal ini karena menurut riwayat syetan itu makan dengan tangan kiri. Dan mengingat bahwa tangan kanan lebih mulia dari tangan kiri. Begitu pula hal ini pada saat minum. dalam arRisalah dan Al Um, AsSyafi'i mewajibkan kita makan dengan tangan kanan karena ada ancaman terhadap orang yang makan dengan tangan kiri.
ان  رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة في المسجد فصلى بصلاته ناس ثم صلى من القابلة فكثر الناس ثم اجتمعوا من اليلة الثالثة او الرابعة فلم يخرج اليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم.فلما اصبح قال قد رايت الذي صنعتم ولم يمنعني من الخروج اليكم الا انى قد خشيت ان تفرض عليكم وذالك في رمضان.
“Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau n bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan[21].
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم احسن الناس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل البائن ولابالقصير
Rasulullah Saw adalah seorang yang paling elok wajahnya dan merupakan ciptaan (tuhan ) yang paling bagus (postur tubuhnya) tidak terlalu tinngi dan tidak juga pendek.[22] ) Hadis ini menerangkan keadaan tubuh nabi. Gambaran ini disampaikan oleh sahabat nabi yang bertnama Al-Barra[23]. Dalam hal ini, cara nabi menyampaikan haditsnya tidak dalam bentuk perbuatan, melainkan berupa keadaan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ رضي الله عنه الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَيْفُ اللَّهِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا مَحْنُوذًا قَدِمَتْ بِهِ أُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ فَقَدَّمَتْ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ إِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَيُسَمَّى لَهُ فَأَهْوَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ إِلَى الضَّبِّ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْ النِّسْوَةِ الْحُضُورِ أَخْبِرْنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ قُلْنَ هُوَ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : لَا وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ ,قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ يَنْظُرُ فَلَمْ يَنْهَنِي (متفق غليه واللفظ لمسلم
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwa Kholid bin Walid radhiyallohu anhu yang dijuluki Saifullah (pedang Allah) mengabarkan kepada beliau (Ibn Abbas) bahwa Kholid bersama Rasulullah shallallohu alihi wa sallam mendatangi Maimunah radhiyallohu anha istri NabI shallallohu alaihi wa sallam yang juga merupakan bibi Kholid dan bibi Ibn Abbas, beliau mendapati di sisinya dhobb panggang yang dibawa oleh saudari Maimunah  yang bernama Hufaidah bintul Harits dari Najd lalu beliau menghidangkan dhobb kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan selama ini sangat jarang beliau dihidangkan sesuatu kecuali telah disampaikan tentang jenis makanannya. Maka Rasulullah shallallohu alihi wa sallam menjulurkan tangannya untuk mengambil  daging dhobb lalu salah seorang wanita yang hadir pada saat itu berkata beritakan kepada Rasulullah makanan yang kalian hidangkan kepada beliau. Para wanita lalu berkata, “Itu daging dhobb  wahai Rasulullah”, maka Rasulullah segera menarik tangannya dan tidak meraih daging tersebut, Kholid bertanya, “Apakah daging dhobb haram wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Tidak akan tetapi daging itu tidak terdapat di daerahku sehingga aku tidak menyukainya karena jijik padanya”. Kata Kholid maka aku mengambilnya lalu memakannya sedang Rasulullah shallallohu alaihi wasallam melihatku dan beliau tidak mencegahku[24]” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal hadits ini sesuai redaksi Imam Muslim)
F.     Periwayatan Hadits pada Zaman Nabi dan Sesudahnya                         
1.      Pada Zaman Nabi                                                                      
           Hadits yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat karena para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat  nabi sendiri seperti, Umar ibn Alkhatab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari nabi. Kata umar, bila tetangganya hari ini menemui nabi, maka umar pada esok harinya menemui nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaandengan nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas[25]. Dengan demikian, para sahabat yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadits dari sahabat yang sempat bertemu dengan nabi.
           Disamping itu, kebijaksanaan nabi mengutus para sahabat keberbagai daerah, baik untuk tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil perananya dalam penyebaran hadits. Hal ini juga turut mempercepat proses penyebaran hadits. Hadits nabi yang telah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada yang dicatat. Sahabat yang banyak menghafal hadits seperti: Abu Hurairoh, sedangkan sahabat nabi yang membuat catatan hadits yaitu: Abu Bakar , Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr ibn Al’Ash dan Abdullah bin abbas[26]. Maka dari uraian diatas, periwayatan hadits terjadi dua hal yaitu cara yang ditempuh oleh nabi dalam menyampaikan haditsnya  dan minat yang besar dari para sahabat.
2.      Pada Zaman Sahabat                
           Setelah wafat rasulullah saw,kendali kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat nabi. Sahabat nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar As-Shidiq kemudian disusul oleh umar bin khatab, ustman bin affan disusul oleh Ali bin Abi thalib. Keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Al-Khulafa Al-rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar[27]. Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama denganperkembangan pengetahuan dengan para sahabat nabi yang masih hidup pada masa itu.
           Diantara sahabat nabi yang masih hidup dan besar peranannya dalam periwayatan hadits nabi ialah ‘Aisyah binti Abu Bakar, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Jabir bin Abdullah[28]. Riwayat hadits yang ‘dimiliki’ para shahabat, ada yang langsung diperolehnya dari nabi dan ada yang diperolehnya dari sahabat lain. Bahkan menurut berbagai sumber, tidak sedikit  sahabat nabi yang memperoleh riwayat hadits dari tabi’in. Aisyah, Abu Hurairah, Mu’awiyah,  Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubayr dan Abdullah bin ‘Amr telah menerima hadits bukan hanya dari nabi dan sahabat nabi saja, melainkan juga dari Ka’b Al-Akhbar, seorang tabi’iy[29].                              
3.      Pada Zaman Sesudah Sahabat 
           Pada zaman sesudah generasi sahabat nabi, khususnya sampai saat hadits dihimpunkan dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadits nabi. Pembakuan tata cara periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadis nabi dari pemalsuan-pemalsuan hadits yang sedang berkembang. Diantara para ulama hadits yang besar perhatiannya terhadap periwayatan hadits pada masa ini yaitu: Sa’id ibn Al-Musayyab, Muhammad ibn Muslim bin Syihab Al-Zuhry, Abu Amr Abdurahman bin ‘Amr al-awzaiy, Ali bin Al-Madaniy, As-Syafi’i  dan Al-Bukhari[30]. Bagian hadits yang mereka kaji dan dalami bukan hanya matn-nya saja, melainkan juga nama-nama periwayatnya dan susunan sanadnya.
           Ulama hadits kemudian menciptakan gelar-gelar keahlian di bidang pengetahuan hadits, seperti gelar al-musnid sebagai gelar ternedah, kemudian beberapa gelar di atasnya seperti: al-muhaddis, al-hafiz, al-hakim, dan yang tertinggi adalah amir al-mu’minin fiy al-hadits. Periwayatan hadits pada zaman ini tidak memperoleh hadits secara langsung dari nabu, karena tidak sezaman dengan nabi, tetapi mereka meriwayatkan hadits dari periwayat yang berasal dari generasi sebelum mereka, tetapi masih sezaman dengan mereka, berasala dari satu generasi dengan mereka dan berasal dari dari generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan mereka[31].                                                 
Bab II
A.    Rangkaian Nama-Nama Periwayatan Dan Tata Cara Periwayatan
Hadits yang dicatat oleh periwayat dan penghimpun  hadis, misalnya Al-Bukhariy, Muslim, dan Abu Dawud, bukan hanya sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal semata, melainkan juga rangkaian nama-nama  periwayatnya yang biasa disebut dengan sanad. Hadis yang disampaikan secara lengkap matn dan sanadnya biasa disebut dengan hadits musnad. Adapun hubungan antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam suatu sanad adalah hubungan kegiatan penerimaan dan penyampaian riwayat hadits. Kedua kegiatan ini dalam ilmu hadis biasa disebut dengan istilah tahammul wa ada’al-hadits[32]. Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
1.      As-sama’
            Periwayatan hadits dengan cara as-sama’ yaitu seorang syekh membacakan hadist sedang murid mendengarkannya, sama saja apabila syekh tersebut membaca dari hafalannya atau kitabnya, begitu pula murid mendengar dan mencatat apa yang di dengarnya atau mendengar saja dan tidak menulisnya[33].
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan adanya pertemuan antar guru dan murid. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur ulama, periwayatan hadits yang diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatan bentuk as-sama’. Syaratnya, yang didengar sang murid benar-benar suara gurunya. Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatrkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir, kemudian para sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Menurut jumhur ulama, as-sama’ merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam periwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yag dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat saling mencocokan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut. Kata atau lafadz yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah sami’tu (سمعت) , akhbarnaa(أخبرنا), qola lanaa(قال لنا), dzakaro lanaa (ذكرلنا),  dan hadatsaniy (حدثني). Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafadznya adalah sami’na (سمعنا) dan haddatsana (حدثنا). Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-sama[34].bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati ulama menurut al-Khatib Al-Bagdadiy bahwa kata yang tertinggi adalah سمعت   kemudian حدثنا  dan حدثني, alasannya kata سمعت  menunjukan kepastian periwayat mendengar langsung hadits yang diriwayatkan. Sedangkan dua kata terakhir itu masih bersifat umum. Menurut ibn al-salah kata حدثنا  dan أخبرنا dari satu sisi dapat lebih tinggi kualitasnya dari سمعت.[35] Dan masih ada beberapa pendapat ulama lain yang berbeda. Kata-kata: كان يقول كذا, فعل, حدث, ذكر, قال فلان  atau yang serupa dengannya, diperselisihkan penggunaannya oleh ulama. Sebagaian ulama berpendapat, kata-kata itu menunjukan periwayata dengan cara as-sama, sebagaian yang lain berpendapat kata-kata tersebut mununjukan cara periwayatan as-sama bila didalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) olehperiwayat yang menggunakan kata tersebut. Pendapat lain mengatakan  فلان قال  dan yang lainnya tersebut disamakan dengan harf عن.  Menurut Abu Ja’far ibn Hamdan al-naysaburiy, kata-kata قال لي فلان  dalam sahih al-bukhari menunjukan periwayatan dengan cara al-qiro’ah atau al-munawalah[36].
2.      Al-Qira’ah
            Periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah yaitu seorang murid membaca sedang guru mendengarkan, sama saja apakah ia sendiri membaca suatu hadits atau orang lain sedang ia mendengarkannya, dan  sama saja baik bacaanya dari hafalan atau dari suatu kitab, begitu pula sama saja guru tersebut mengikuti kepada orang yang membaca hadist dari hafalannya atau ia sendiri menyadarkan kitab atau orang siqoh lainnya.[37] Dari pengertian tersebut iketahui bahwa Al-qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah al-arad. Disebut al-arad, karena seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan sang guru mendengarkan bacaan tersebut. Dan menurut Syuhudi Ismail berpendapat bahwa penerimaan riwayat dengan al-qira’ah pada dasarnya lebih korektif daripada penerimaan riwayat dengan cara as-sama, karena lebih bersifat korektif dari pada dengan cara as-sama[38].
Para ulama berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah. Ada sebagian ulama yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama seperti: Al-Zuhriy, Malik ibn Anas, Sufyan ibn ‘Uyaynah, Al-Bukhariy’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’ yaitu seperti Al-Suyutiy, Al-Buwaytiy,al-Muzaniy, Sufyan Al-Sawriy, Ahmad ibn Hanbal, Abdullah bin Al-Muarak, Ishaq bin Rawahayh dan Ibn al-Salah.sedangkan Abu hanifah, Abu Zi’b dan beberapa Ulama lain menilai al-qira’ah lebih tinggi daripada as-sama[39].
Kata-kata atau istilah yang dipakai dan disepakati para ulama ialah: على فلان قرأت  (digunakan bila rawi membaca sendiri di hadapan guru yang menyimaknya) ,  قرأت على فلان و أنا اسمع فأقربه  ( digunakan bila rawi tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadits menyimaknya[40]. Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakainannya, ialah حدثنا  dan أخبرنا  yang tanpa diikuti kata-kata lain. Ibn al-Mubarak, Ahmad bin hanbal, Al-Nasa’iy dan beberapa ulama lain tidak membenarkan penggunaan kedua kata tersebut untuk periwayatan al-qira’ah. Al-Zuhriy, Malik ibn Anas, Sufyan al-Sawriy, Al-Bukhariy dan beberaa ulama lain membolehkan, bahakan mereka membolehkan juga penggunaanفلان  سمعت .  Al-Syafi’iy, Muslim dan beberapa ulama lagi hanya membolehkan penggunaan اخبرنا saja dan tidak membolehkan penggunaan kata حدثنا[41].
3.      Al-Ijazah
Periwayatan hadits dengan cara al-ijazah yaitu perizinan untuk meriwayatkan, baik secara lafdzi maupun berupa kitab[42]. Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini diberikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Dan ulama berbeda pendapat tentang kebolehan ijazah untuk periwayatan hadits.jenis ijazah secara global ada dua macam. Yakni, ijazah bersama al-munawalah dan ijazah al-mujaradah. Ijazah al-munawalah terbagi dua macam: (a) seorang guru memberikan kepadanya hadits yang apa adanya, kemudian guru berkata, “anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang telah saya peroleh ini”, (b) seorang murid menyerahkan hadits kepada guru, kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata” hadits ini telah saya terima dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”. Bentuk ijazah ini sebagain ulama menyamakan dengan cara as-sama dan sebagian ulama menyamakan dengan al-qira’ah[43].
Adapun periwayatan dengan ijazah al-mujarodah diantaranya: (a) orang tertentu untuk hadits tertentu, misalnya yang termuat dalam kitab sahih al-bukhariy, (b) orang tertentu untuk semua hadits yang telah didengarnya , (c) orang yang tidak tertentu, misalnya umat islam, untukhadits tertentu atau hadits yang tidak tertentu.Ijazah al-mujarodah yang pertama oleh mayoritas ulama fiqh dan ulama hadits disepakati. Sedangkan ijazah yang lainnya diperselisihkan keolehannya[44].
Kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah, seperti Al-Zuhri dan Malik membolehkan penggunaan :حدثنا  dan اخبرنا untuk ijazah yang bersamaan dengan al-munawalah. Abu Nu’amy membolehkan kedua kata itu untuk ijazah al-mujarodah, tetapi ulama menolak pendapat tersebut. Mayoritas ulama sendiri umumnya memakai kata-kata: حدثناإجازة,  atau  إذناحدثنا atau  أجازلي. Al-bagawi menggunakan  إجازةأنبأني إ  dan ulama lainya ada yang memakai أنباني  atau  أنبانا  saja.
4.      Al-munawalah
Periwayatan hadits dengan cara al-munawalah adalah seorang guru memberikan naskah yang telah ia koreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan, sambil berucapa “ ini hadits yang telah saya dengar”  atau, “ ini hadits yang telah saya riwayatkan”. Guru hadits tadi tidak menyatakan agar ‘haditsnya’ itu diriwayatkan. Ulama pada umumnya tidak membenarkan periwayatan dengan al-munawalah tanpa diikuti ijazah[45]. Kata-kata yang dipakai untuk al-munawalah tanpa ijazah, ialah: ناولنا atau  ناولنا[46]. Ulama tidak banyak berbeda pendapat.
5.      Al-mukatabah
Al-mukatabah ialah seorang guru yang menuliskan hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu. Orang yang menulis hadits dapat saja guru itu atau orang lain namun atas persetujuannya, sedang orang yang dieri hadits ketika itu ditulis dapat saja berada di hadapan guru tersebut atau berada di tempat lain[47]. Periwayatan ini terbagi dua yaitu: (a) al-mukatabah tidak disertai dengan ijazah dan (b) al-mukatabah disertai ijazah. Ulama pada umumnya memebolehkan kedua macam al-mukatabah tersebut. Bahkan ada yang menilai, al-mukatabah yang tidak disertai ijazah lebih kuat dari pada periwayatan dengan ijazah saja. Ibn Al-Salah berpendapat, al-mukatabah yang disertai ijazah, kekauatannya sama dengan al-munawalah yang disertai ijazah[48].
Perbedaan antara al-munawalah dan al-muakatabah ialah bahwa al-munawalah, hadits-haditsnya tidak mesti dalam bentuk tulisan, sedang dalam al-mukatabah haditsnya mesti tertulis. Perbedaan lain, bahwa dalam al-mukataah, ketika hadits dicatat telah ada maksud untuk diberikannya kepada periwayat tertentu. Sedang dalam al-munawalah yang berbentuk tulisan, maksud penyerahan dari guru baru muncul setelah hadits yang bersangkutan selesai ditulis. Kata-kata yang dipakai yaitu:  إلي , أخبرني به , أخبر ني بهكتب .[49]
6.      Al-I’lam
Al-ilam yaitu seorang guru hadits memberitahukan kepada muridnya,hadits atau kitab hadits yang telah diterimanya dari periwayatnya, misalnya melalui as-sama, tanpa diikuti pernyataan agar muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut. Ibn Al-Salah tidak menganggap sah periwayatan dengan cara al-‘ilam, alasannya: (a) hadits yang diberi tahukan ituada cacatnya karenanya guru tersebut tidak menyuruh muridnya untuk meriwayatkannya dan periwayatan cara al-ilam memiliki kesamaan dengan pemberitahuan seseorang saksi kepada orang lain, atas suatu perkara, kemudian orang lain itu memberikan kesaksian tanpa izin dari saksi yang sesungguhnya tadi. Tetapi kebanyakan ulama membolehkan periwayatan dengan al-ilam dengan alas an: (a) guru tidak menyatakan agar muridnya meriwayatkan haditsnya, tidak mesti ada cacat dlam haditsnya tersebut. (b) penganalogian al-ilam dengan kesaksian suatu perkara tidaklah tepat, karena kesaksian memang memerlukan izin, sedang periwayatan tidak selalu perlu izin, (c) bila periwayatan dengan cara as-sama dan al-qiro’ah dinyatakan sah walaupun tanpa diikuti adanya izin dari guru, maka al-ilam harus diakui juga keabsahannya[50].
Pendapat mayoritas ulama tersebut, lebih kuat. Sebab untuk apa seorang guru menyampaikan riwayat haditsnya, bila hadits tersebut dilarang diriwayatkan lebih lanjut. Kata – kata yang digunakan:  أعلاماأخبرنا , atau kata-kata lain yang semakna.
7.      Al-Wasiyyah
Al-wasiyah yaitu seorang periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkannya kepada orang lain. Waktu berlakunya ditentukan oleh orang yang member wasiat, dalam hal ini dapat saja mulai berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia atau ketika dalam perjalanan[51]. Ulama berbeda pendapat tentang periwayatan cara wasiat (al-wasiyah) ini. Sebagaian ulama membolehkannya dan sebagiannya tidak membolehkannya. Kata-kata yang diapakai dalam periwayatan ini: أوصى إلي  atau yang semakna dengannya.
8.      Al-wijadah
            Al-wijadah ialah seseorang dengan tidak melalui cara as-sama atau ijazah, mendapati hadits yang ditulis oleh periwayatnya. Orang yang mendapati tulisan hadits itu dapat saja semasa atau tidak semasa dengan penulis hadits tersebut, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadits dari penulis dimaksud[52]. Ulama dalam hal ini juga berbeda pendapat seperti Ahmad Muhammad Syakir yang tidak membolehkan periwayatan dengan cara Al-wijadah. Sedangkan ulama yang membolehkan memberikan syarat tertentu, seperti: (a) tulisan hadits yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa periwayat yang sesungguhnya, (b) kata-kata yang dipakai untuk periwayatan lebih lanjut haruslah kata-kata yang menunjukan bahwa asal hadits itu diperolehnya secara Al-wijadah[53]. Kata-kata yang digunakan adalah:
·         وجدت بخط فلان حدثنا فلان
·         وجدت في كتاب فلان بخطه حدثنا فلان
·         وجدت عن فلان . أو:بلغني عن فلان.
·         وجدت في نسخة من كتاب فلان
·         وجدت في كتاب ظننت أنه بخط فلان.[54]

Butir 1 dan 2 dipakai apabila (a) penerima riwayat tidak pernah menerima riwayat hadits dari penulis hadits yang bersangkutan,(b) tulisan yang dinukil telah jelas keorisinilannya, dan (c) sanad haditsnya bisa saja putus (munqati’) atau bersambung (muttasil). Apabila orisinalitas tulisan belum diketahui dan sanadnya telah jelas terputus, maka pernyataan yang dipakai adalah salah satu dari ketiga pernyataan yang disebutkan terakhir diatas[55]. Dengan demikian, periwayat yang menempuh cara Al-wijadah terlebih dahulu harus mampu meneliti orisinal tidaknya tulisan hadits yang akan diriwayatkannya.
Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa kata-kata yang dipakai sebagai penghubung antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam satu sanad, ada yang ditulis secara lengkap dan ada yang ditulis dalam bentuk singkatan. Bentuk-bentuk singkatan yang lazim dipakai ternyata tidak seragam. Diantara bentuk singkatan yaitu:
a.       Kata حدثنا biasa disingkat dengan ثنا, نا , حا, tetapi oleh al-hakim, abu abdurahman al-sulamiy dan al-bagdawiy.
b.      Kata أخبرنا  biasa disingkat dengan أنا , رنا, أخ, tetapi oleh ketiga ulama dalam butir (a) di atas biasa di singkat dengan أر .  Al-bagawiy biasa menyingkatnya dengan أنبأ . ulama pada umumnya menyayangkan cara penyingkatan yang dilakukan al-bagawiy, karena singkatan itu dapat mengacaukan dengan singkatan untuk أنبأنا
c.       Kata حدثني biasa disingkat dengan ثنى atau  دثني
d.      Kata أخبرني biasa disingkat dengan أني
e.       Kata  أنبأنا biasa disingkat dengan أنبأ
f.       Kata أنبأني biasa disingkat dengan ابني [56]

B.     Redaksi matan Hadits yang Diriwayatkan            
Pada zaman nabi tidak seluruh hadits ditulisoleh para sahabat nabi hadits nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan hadits nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (riwayat bi bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama hanyalah hadits yang dalam bentuk sabda sedang hadits yang tidak dalam bentuk sabda hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-ma’na)[57].
1. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Lafẓiy
Periwayatan hadis dengan lafal adalah cara periwayatan hadis yang disampaikan sesuai dengan lafal yang disabdakan oleh Nabi saw. secara persis tanpa ada perubahan sedikitpun pada tatanan kalimatnya. Atau dengan kata lain, meriwayatkan hadis dengan lafal yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw[58].
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyika”. Untuk lebih jelasnya penulis bisa menyajikan bentuk doa yang diajarkan oleh Nabi saw kepada al-Barra’ bin ‘Azib[59], sebagai berikut;
إذا أويت الى فراشك طاهرا فتوسد يمينك ثم قل: اللهم أسلمت وجهي اليك وفوضت أمري اليك وألجأت ظهري اليك لا ملجأ ولا منجى الا اليك. أمنت بكتابك الذي أنزلت ونبيك الذي أرسلت.
“Apabila kamu berbaring di tempat tidurmu dalam keadaan suci lalu meletakkakan tangan kananmu (pada kepalamu sebagai bantal) maka berdoalah; Ya Allah aku sejahterakan wajahku di hadapan-Mu, aku pasrahkan urusanku pada-Mu, dan aku lindungkan harapanku pada-Mu, tiada pelindung dan tempat berharap selain kepada Engkau. Aku beriman pada kitab yang Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau utus[60].”
Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain[61]:
a.       Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat, dan lain sebagainya.
Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه ثله. [62]
“Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi. ”
b.      Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya. Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه [63]
“Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c.       Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah swt, seperti;
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض؟ [64]
“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw[65].
Menurut hemat penulis, periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
2. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadis diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah saw. periwayatan hadis itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan yang bukan dari Nabi saw. tetapi mereka menyandarkannya pada Nabi saw demi kepentingan diri atau kelompok mereka. Yaitu, dengan mengharuskan para perawi menyampaikan hadis apa adanya, tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikitpun, sehingga redaksi hadis tidak mengalami perubahan sama sekali.
Tetapi dalam kenyataannya, banyak dijumpai hadis yang memiliki makna sama tapi diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita bisa menjumpai komentar hadis “muttafaq ‘alayh, wa al-lafẓ li Muslīm, atau wa al-lafẓ li al-Bukhārīy”. Dengan demikian, tampak sangat jelas bahwa periwayatan hadis secara makna itu ada dan diperbolehkan.
Bisa didefinisikan bahwa periwayatan hadis dengan makna adalah periwayatan hadis dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan[66]. Atau dengan kata lain, apa yang diungkapkan oleh Rasulullah saw hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat memiliki kualitas daya ingatan yang beragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu, kemungkinan masanya sudah lama sehingga yang masih diingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafal/matan yang lain meskipun maknanya tetap tanpa ada perubahan.
Untuk memperjelas adanya hadis yang diriwayatkan secara makna penulis akan memberikan gambaran contoh sebagai berikut;
لا يجد احد حلاوة الايمان حتى يحب المرء لا يحبه الا لله و حتى ان يقذف فى النار احب اليه من ان يرجع الى الكفر بعد إن انقذه الله وحتى يكون الله ورسوله احب اليه مما سواهما. [67]
“Tidaklah seseorang akan mendapatkan manisnya iman sampai ia mencintai seseorang hanya karena Allah, lebih senang dilempar ke dalam neraka daripada kembali pada kekufuran sesudah ia diselamatkan oleh Allah, dan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada lainnya”.
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار.[68]
“Tiga hal yang membuat seseorang akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari lainnya, ia mencintai seseorang karena Allah dan membenci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dicampakkan ke dalam neraka”.
Hadis di atas sama-sama menerangkan tema tentang iman, namun keduanya diungkapkan dengan redaksi yang berbeda, baik dalam penggunaan lafal maupun susunannya.
.
Kesimpulan
Metode Periwayat hadits dan Beragamnya kata-kata yang digunakan dalam periwayatan hadits  dan berbeda pendapat para ulama dalam hal ini, merupakan sebuah indikasi bahwa begitu besar perhatian para kaum muslimin dalam menjaga orisinalitas Al-hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-qur’an, sehingga validitasnya bisa terjamin


Ikhtisar[69]
Kata-Kata Atau Pernyataan Yang Dipakai Dalam Periwayatan Hadits
(Terletak Antara Periwayat Dengan Periwayat Lain Yang Terdekat Dalam Sanad)
Kata-Kata Yang Digunakan
Dipakai Dalam Periwayatan Dnegan
Cara
Keterangan
A
B
C
D
E
F
G
H
سمعت :حدثني (ثني, دثني)
*







A = al-asma
B =al-qira’ah
C =al-ijazah
D =al-munawalah
E =al-mukatabah
F =al-ilam
G =al-wasiyah
H =Al-wijadah

* = disepakati pemakaiannya oleh ulama hadits pada umumnya

# = tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama hadits pada umumnya
سمعت
*
#






حدثنا (ثنا, نا, دنا), أخبرنا (أنا,رنأ,أخ,أر,أبنا)
*
#
#





قال لنا,ذكرلنا
#
#
#





قرأت على فلان,قرأت على فلان و أنا أسمع فأقربه.

*






خبرنا,حدثنا إجازة,أجازلي,انبأإجازة


*





أنبأني (أبني),أنبأنا(أنبا,أبنا)


#





ناولنى,ناولنا



*




كتب إلي فلان,أخبرني به مكاتبة




*



أخبراعلاما





*


أوصي إلي






*

وجدت بخط فلان حدثنافلان







*

Daftar Pustaka
Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,Yayasan Ali Maksum: Yogyakarta. 1996.
Al-‘Ala’iy Salah Al-Din Abu Sa’id Khalil Ibn Kaykaldiy, Jami Al-Tahsil Fiy Ahkam Al-Marasil, Al-Jumhuriyyah Al-Iraqiyyah: Ihya’ Al-Turas Al-Islamiy, Wuzarat Al-Awqaf, 1978.
Al-Bagdadiy, Abu Bakar Ahmad ‘Aliy Ibn Sabit Al-Khatib, Kitab Al-Kifayah Fii ‘Ilm Al-Riwayah , Mesir: Matba’ah Al-Sa’adah, 1972.
Al-Bukhāriy,  Abu ‘Abdullah Muhammad Bin Isma’il, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy, Juz I, Kairo: Al-Maṭba’ah Al-Salafiyyah Wa Maktabatuha, 1980.
Alhamid, Abdullah Bin Hamid, Al-Hadits, Riyadh: Jami’ah Al-Mamlakah Al-Arobiyah,1994.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj,Usul Hadis ‘Ulumuhu  wa Musthalahuhu, Bairut: Darul Fikr, 1989.
_______________________,Al-Sunnah Qabla Al-Tadwīn. Beirut: Dār Al-Fikr, 1971.
Al-Lughoh, Al-Munjid, Bairut: Dar Al-Masyriq,1973.
Al-Syuyuthi, Al-Khasa’is Al-Kubra, Mesir:Dar Al-Kutub Al-Hadisah, 1967.
______________________, Tarikh Al-Khulafa, Kairo: Dar An-Nahdah,1975.
Al-Tirmisiy,  Muhammad Mahfuz Bin Abdallah, Manhaj Zawijal-Nazar,Di Terjemahkan,Ahmad
Bahasa,  Tim Penyusun Kamus Pusat . Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka. 2002.
Chaniago, Amran Ys, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Hamalik, Oemar, Proes Belajar Mengajar, Jakarta : : Bumi Aksara, 2001.
Husayn, Abu Lubabah, Al-Jarh Wa Ta’dil, Riyadh :Dar Al-Liwa’, 1979.
Ismail, Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : PT.Bulan Bintang, 2005.
Khaeruman, Badri, Ulum Al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Khumaidi, Irham, Ilmu Hadis Untuk Pemula, Jakarta: CV Artha Rivera, 2008.
Lisan Al-Arab,Mesir: Dar Al-Misriyyah, Juz II.
Mahmud, Ulum Al-Hadits Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Titian Illahi Press, 1997.
Muslīm, Ṣaḥīḥ Muslīm, Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1930.
Ṣāliḥ,  Ṣubḥi, ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalaḥuhū, Beirut: Dār Al-‘Ilm,; Al-Khaṭīb Al-Baghdādiy, 1991.
Rahman, Fachrur. Ikhtishar Musthalah Al-Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1991.
Shuhbah,  Muḥammad Bin Muḥammad Abū, Al-Wasīṭ Fi ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalah Al-Ḥadīth, Riyāḍ: ‘Ālam Al-Ma’rifah.



[1] Oemar Hamalik, Proes Belajar Mengajar, Jakarta : 2001 : Bumi Aksara
[3] Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,Yayasan Ali Maksum: Yogyakarta. 1996. Hlm.1231
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa . 2002 . Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka, Hlm.741
[5] Ibid.Hlm.740.
[6] Al-Munjid Al-Lughoh, Bairut: Dar Al-Mayriq,1973, Hlm.289.
[7] Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002,H. 253.
[8] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib,Usul Hadis ‘Ulumuhu  Wa Musthalahuhu, Bairut: Darul Fikr, 1989, Hlm.18.
[9] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Pt.Bulan Bintang, 2005.Hlm. 23.
[10] Ibid, Hlm. 24.
[11] Abu Lubabahhusayn, Al-Jarh Wa Ta’dil, Riyadh :Dar Al-Liwa’, 1979. Hlm.88.
[12] Syuhudi Ismail,Op.Cit.Hlm. 26.
[13] Lisan Al-Arab,Mesir: Dar Al-Misriyyah, Juz Ii, Hlm. 436.
[14] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib,Op.Cit , Hlm.37.
[15] Abdullah Bin Hamid Alhamid, Al-Hadits, Riyadh: Jami’ah Al-Mamlakah Al-Arobiyah,1994, Hlm.22.
[16] Abdul Wahab Khalaf, Ilmuushul Fiqih,
[17]  Fachrur Rahman, Ikhtishar Musthalah Al-Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1991, Hlm. 211-222.
[18] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Hlm. 83.
[19] Ibid, Hlm. 83.
[20]  Shahih Bukhari, Kitabatul’athimah, Bab Tasmiyah ‘Ala Tho’am Wal’akl Bil Yamin, Hadits Ke-5061, Bairut: Dar  Al-Fikr.
[21] Ibid. Hlm.197. Hadis Itu Diriwayatkan Juga Oleh Muslim, Abu Dawud Dan An-Nasai.
[22] Al-Bukhariy, Op.Cit, Juz Ii, Hlm.271. Hadits Ini Diriawayatkan Juga Oleh Muslim, Al-Turmuzi Dan Malik Bin Anas.
[23] Al-Barra Ibn ‘Azib Ibn Al-Harits, Dikenal Juga Dengan Sebutan Abu Umarah , Abu ‘Amr Dan Abu Tufyl. Lebih Lanjut Lihat, Abu Al-‘Ula Muhammad Abd Al-Rahman Ibn ‘Abd Al-Rahim Al-Mubarakfuriy, Muqoddimah Tuhfat Al-Ahwajiz Syarh Jami’ ‘Al-Turmuziy (Al-Madinah Al-Munawarah”Al-Maktabah Assalafiyah.1387 H = 1967 M),Juz Ii,Hlm.425.Pernyataan Para Sahabat Nabi Yang Menerangkan Tentang Keadaan Tubuh Dan Sifat-Sifat Nabi, Lihat Lebih Lanjut Mislanya Hadis-Hadis Yang Terhimpun Dalam Al-Bukhari, Op.Cit, Juz Ii, Hlm. 271-274, Al-Syuyuthi, Al-Khasa’is Al-Kubra(Mesir:Dar Al-Kutub Al-Hadisah,1387h =1967 M), Juz I,Hlm 178-190.
[24] Hasan, Hr Abu Daud, Al-Fasawi Dalam Al-Ma'rifah Wa-Tarikh, Baihaqi, Dan Dihasankan Al-Hafiz Ibnu Hajar Dalam Fathul Bari, Serta Disetujui Oleh Al-Albani Dalam As-Shahihah No. 2390
[25] Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, Hlm. 38.
[26] Ibid, Hlm.40
[27] Al-Syuyuti, Tarikh Al-Khulafa, Kairo: Dar An-Nahdah,1975, Hlm. 50.
[28] Abdul Ar-Rahim Ibn Al-Husayn Al-‘Iraqiy, Al-Taqyid Wa Al-Idhah Syarh Muqadimah Ibn Al-Salah , Al-Madinah Al-Munawaroh: Almaktabah Al-Salafiyah, 1400 H, Hlm.312-313.
[29] Lihat, Al-Asqalaniy, Tahzib Al-Tahzab, Op.Cit., Juz Vii, Hm 438-440. Ka’b Al-Akhbar Masuk Islam Pada Zaman Khalifah Abu Bakar, Dan Ada Yang Menyatakan Pada Zaman Khalifah Umar Bin Al-Khatab. Sebelum Masuk Islam, Ka’b Dikenal Sebagai Seorang Pendeta Yahudi, Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, Ka’b Meriwayatkan Hadits Nabi Secara Mursal, Yakni Dengan Tidak Menyebutkan Nama Sahabat Nabi Yang Telah Menyampaikan Hadits Kepadanya.
[30] Ibid, Hlm, 55-56.
[31] Ibid, Hlm.57.
[32]Ibid, Hlm. 58.
[33] Mahmud Thohhan, Ulum Al-Hadits Studi Kompleksitas Hadits Nabi,: Titian Illahi Press, 1997.
[34] Irham Khumaidi, Ilmu Hadis Untuk Pemula, Jakarta: Cv Artha Rivera, 2008, Hlm. 126.
[35] Abu Bakar Ahmad ‘Aliy Ibn Sabit Al-Khatib Al-Bagdadiy, Kitan Al-Kifayah Fii ‘Ilm Al-Riwayah , Mesir: Matba’ah Al-Sa’adah, 1972, Hlm,412-413.
[36] Lihat, Salah Al-Din Abu Sa’id Khalil Ibn Kaykaldiy Ala-‘Ala’iy, Jami Al-Tahsil Fiy Ahkam Al-Marasil, Al-Jumhuriyyah Al-Iraqiyyah: Ihya’ Al-Turas Al-Islamiy, Wuzarat Al-Awqaf, 1978,Hlm,142-144.
[37] Mahmud Thohhan,Op.Cit.
[38] Syuhudi Ismail, Op, Cit. Hlm. 64.
[39] Al-Bagdadi,Op.Cit.Hlm.382-403.
[40] Ibn Salah, Op,Cit,Hlm.123.
[41] Al-Bagdadiy, Op.Cit, Hlm. 429-436
[42]  Mahmud Thohhan,Op.Cit.
[43] Ibn Al-Salah, Op.Cit, Hlm. 146-147
[44] Ibid, Hlm. 71-73.
[45] Ibn Al-Salah, Op.Cit, Hlm. 149-150.
[46]Muhammad Mahfuz Bin Abdallah Al-Tirmisiy, Manhaj Zawijal-Nazar,Di Terjemahkan,Ahmad Ibn Sa’ad Ibn Nabhan, Surabaya, Cetakan Iii, 1974, Hlm.136.
[47] Ibn Al-Salah, Op.Cit, Hlm. 153.
[48] Ibid, Hlm.155
[49] Ibid.
[50] Ibid,Hlm.155-156
[51] Ibid, Hlm, 157
[52][52] Al-Suyuti, Op.Cit,Hlm.61
[53] Ibid
[54] Ibn Al-Salah,Op.Cit, Hlm, 158
[55] Ibid, Hlm 158-159.
[56] Ibid, hlm.180.
[57] Syuhudi Ismail,  Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Hlm. 79
[58] Muslīm, Ṣaḥīḥ Muslīm, Kitab Al-Īmān, Bab “Persoalan Tentang Iman”,  (Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1930), H. 9.
[59] Ṣubḥi Ṣāliḥ, ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalaḥuhū, (Beirut: Dār Al-‘Ilm, 1991), H. 8; Al-Khaṭīb Al-Baghdādiy, Kitāb Al-Kifāyah Fi ‘Ilm Al-Riwāyah, (Haidar Abad: Al-Ma’arif Al-‘Uthmaniyah, 1435 H), H. 175.
[60] Hadis Tersebut Diriwayatkan Langsung Dari Barra’ Bin ‘Āzib. Ibid.
[61] Muḥammad Bin Muḥammad Abū Shuhbah, Al-Wasīṭ Fi ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalah Al-Ḥadīth, (Riyāḍ: ‘Ālam Al-Ma’rifah, Tt), H. 146-147.
[62] Abu ‘Abdullah Muhammad Bin Isma’il Al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy, Juz I, (Kairo: Al-Maṭba’ah Al-Salafiyyah Wa Maktabatuha, 1980), H. 158.
[63] Hadis Tersebut Diriwayatkan Oleh Al-Turmidhiy Dari Abu Hurairah Dan Juga Diterima Dari Riwayat Abu Musa Al-Asy’ariy. Abu ‘Isa Muḥammad Bin ‘Isa Bin Saurah, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ Wahuwa Sunan Al-Turmidhīy, Juz V, (Mesir: Maktabah Wa Maṭba’ah Al-Muṣṭafā, 1975), H. 17; Al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ…, Bab Iman, Juz I, H. 8.
[64] Al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ…, Kitab Al-Tauhid, Juz Iv, H.
[65] Ibid, H. 145.
[66] Muḥammad ‘Ajjāj Al-Khāṭib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwīn. (Beirut: Dār Al-Fikr, 1971), H. 155.
[67] Hadis Tersebut Diriwayatkan Dari Anās Bin Mālik. Muhammad Bin Isma’il Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy, (Beirut: Dār Al-Fikr, 1981), Kitāb Al-Adab, Bab Al-Ḥubb Fillah, Jilid Iv, Juz Vii, H. 83.
[68] Hadis Tersebut Juga Diriwayatkan Dari Anās Bin Mālik. Ibid, Kitāb Al-Īmān, Bāb Al-Ḥawālah Al-Īmān, Jilid I, Juz I, H. 9. Hadis Tersebut Juga Diriwayatkan Oleh Muslīm, Abū Dāud, Tirmīdhiy, An-Nasā’iy, Ibnu Mājah Dan Ahmad.
[69] Syuhudi Ismail,Op.Cit, Hlm.75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar