Metode Periwayatan Hadits
Oleh : Ahmad Damiri
Abstrac
Hadith the prophet muhammad Saw is the second
source in islamic law after Qur’an not only to know how
prayer but also to guide moslem life. The function of hadits is explanation from ayah qur’an. Some hadith
spread in the moslem but not all hadith is shahih ,there is good hadith, weak hadith, and
false hadith. Therefore not all hadith can be law basic in moslem life because just the hadith shahih admitted in the islamic law. history of hadith
methodology is a way to find out the authenticity of hadith.
Keyword: Weak Hadith, False Hadith , History
Of Hadith Methodology.
Pendahuluan
Hadis Nabi Saw, merupakan sumber
ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang dihadirkan sebagai salah satu
petunjuk bagi umat Islam dalam menjalankan tuntunan agamanya. Keberadaan hadis
dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al-Qur’an tidak
didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan.
Namun, kehadiran hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi penentu boleh atau tidaknya suatu hadis untuk dijadikan hujjah. Hal ini yang menyebabkan ijtihad para ulama hadis bisa melahirkan dua komponen ilmu dalam mempelajari, memahami, menganalisa dan mengamalkan hadis Nabi saw, yaitu yang dikenal dengan ilmu riwayah dan ilmu dirayah hadis . Keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai dasar untuk mengetahui otentisitas hadis. Di awal masa Islam sudah timbul perbedaan pemahaman dalam penyampaian redaksi hadis yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual sehingga melahirkan apa yang disebut dengan periwayatan hadis bi al-lafẓi wa al-ma’na. Pada tingkat selanjutnya ada permasalahan dalam tata cara penerimaan dan penyampaian hadis yang dikenal dengan istilah taḥammul al-ḥadīth wa adā’uhū, yang bisa menentukan kualitas sebuah hadis karena terkait dengan orang yang meriwayatkannya.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Metoda Penelitian hadits, sebagai salah satu bidang cakupan penentu kevalidan sebuah hadis.
Namun, kehadiran hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi penentu boleh atau tidaknya suatu hadis untuk dijadikan hujjah. Hal ini yang menyebabkan ijtihad para ulama hadis bisa melahirkan dua komponen ilmu dalam mempelajari, memahami, menganalisa dan mengamalkan hadis Nabi saw, yaitu yang dikenal dengan ilmu riwayah dan ilmu dirayah hadis . Keduanya tidak dapat dipisahkan sebagai dasar untuk mengetahui otentisitas hadis. Di awal masa Islam sudah timbul perbedaan pemahaman dalam penyampaian redaksi hadis yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual sehingga melahirkan apa yang disebut dengan periwayatan hadis bi al-lafẓi wa al-ma’na. Pada tingkat selanjutnya ada permasalahan dalam tata cara penerimaan dan penyampaian hadis yang dikenal dengan istilah taḥammul al-ḥadīth wa adā’uhū, yang bisa menentukan kualitas sebuah hadis karena terkait dengan orang yang meriwayatkannya.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Metoda Penelitian hadits, sebagai salah satu bidang cakupan penentu kevalidan sebuah hadis.
BAB I
A.
Pengertian
Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani
“methodos’’ yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan
dengan upaya ilmiah ,maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat
memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode
berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan.[1] Dalam referensi lain metode secara etimologis, metode berasal dari kata
'met' dan 'hodes' yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan
atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal
penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah cara melakukan sesuatu dan
rencana dalam pelaksanaan[2].
Maka metode ini pun terdapat dalam
bahasa arab yang disebut dengan kata thoriqoh yang merupakan bentuk
jamak dari thoriq yang berma’na jalan
atau kayfiyah yang berarti cara[3].sedangkan
Metodologi dalam kamus bahasa indonesia, berarti ilmu tetang metode; uraian tentang metode[4].
Sedangkan metode, menurut kamus yang sama adalah Cara teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan[5].
B.
Pengertian
Periwayatan
Periwayatan secara secara
etimologi diambil dari kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk
masdar dari kata kerja “rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti al-naql (penukilan), Al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-istiqa (pemberian minum
sampai puas)[6],
atau dalam istilah ini terkait dengan kegiatan menghimpun kitab-kitab hadis
yang dikenal riwayat hadis. Dalam bahasa indonesia periwayatan yang
diserap dari bahasa arab mempunyai arti cerita atau sejarah[7]. Adapun orang yang meriwayatkannya
disebut dengan rawi, yang diriwayatkan disebut marwiy, rangkaian para
periwayatanya yaitu sanad dan substansi yang setelah sanad dinamai matan[8].
Menurut terminologi ilmu hadis,
periwayatan yang disebut al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan
bentuk-bentuk tertentu[9].
Menurut Syuhudi Ismail seseorang dapat dikatakan melakukan kegiatan periwayatan
hadis jika memenuhi 3 unsur[10],
yaitu:
1) Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis
2) Kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang
lain, dan
3) Ketika hadis itu disampaikan, susunan
rangkaian periwayatnya disebutkan.
Ulama umumnya berpendapat,
persamaan periwayatan dan kesaksian terletak pada empat hal, yaitu pelakunya
haruslah beragama islam, berstatus mukalaf (balig dan berakal), bersifat adil
dan bersifat dabit[11].
Dan semua itu menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi periwayat hadis dan
saksi. Oleh karena itu periwayat hadis pun bisa dikatakan saksi atas berita
yang diriwayatkannya, seperti yang dikenal dalam ilmu sejarah, selama hal ini
tidak disamakan persis dalam kesaksian perkara dikarenakan terdapat persamaan
dan perbedaan dalam hal ini[12].
C.
Pengertian
Hadits
Secara etimologi hadits berarti al-jadid
(sesuatu yang baru)[13],
lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar
(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits
sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada
yang mendefinisikan hadits itu sama dengan sunnah yaitu, segala pemberitaan
tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib
bahwa sunnah ‘atsar rasulullah saw sebelum bi’tsah ataupun
sesudah bi’tsah, sedangkan hadits terhitung setelah bi’tsah, maka
dia berkesimpulan bahwa sunnah lebih luas dari hadis[14].
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya[15].
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan
hadits dengan istilah sunnah ialah ucapan,
perbuatan atau pengakuan rasulullah SAW, yang dapat dijadikan dalil untuk
penetapan hukum syara[16].
Berdasarkan rumusan definisi
hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; memberikan
definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung
prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in yang berarti asli dari nabi. Perbedaan
mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup
segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul
hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara'.
D.
Pengertian Periwayatan Hadits
Periwayatan hadits adalah proses
penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari
gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth),
ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain
sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut[17].
Dalam proses ini terjadi dua
peristiwa, yaitu tahammul dan ada’. Tahammul adalah dan
cara penyampaian hadits dari seorang syaikh atau guru kepada muridnya.
Sedangkan ada’ adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari syaikh
atau gurunya. Dengan demikian, antara dua peristiwa di atas tidak bisa
dipisahkan karena keduanya saling berkaitan.
Dalam proses periwayatan ini
diketahui bahwa para rawi berbeda-beda keadaannya pada waktu menerima hadits
dari gurunya, termasuk dari shahib al-hadits, selain dalam keadaan normal dan
baik, mungkin dalam keadaan kanak-kanak, masih kafir, suka maksiat (fasiq),
atau sedang dalam keadaan gila, dan sebagainya[18].
Kompleksitas periwayatan hadis dan bervariasinya ke-tsiqat-an rawi memungkinkan
para rawi meriwayatkan hadis selafazh yang diterima dari gurunya atau mungkin
meriwayatkan hadis tidak persis dalam lafazh tetapi makna dasarnya tidak
berbeda.[19]
E. Cara Nabi Menyampaikan Hadits
Mengenai
cara nabi menyampaikan hadits pada masanya, dapat dilihat dari bentuk-bentuk
hadits yang terdiri dari ucapan, perbuatan, taqriir dan hal ihwalnya.
Mengingat posisi dan kedudukan nabi pada saat itu selain menjadi kepala Negara
beliau pun memerankan fungsinya di tengah masyarakat mapun keluarga. Maka dapat
disimpulkan nabi dalam menyampaikan haditsnya
dalam beberapa cara, contohnya:
عن عمر بن أبي سلمة رضي الله عنهما
قال : كنت غلاما في حجر رسول لله صلى الله عليه وسلم وكانت يدي تطيش في الصحفة
فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: ياغلام, سم الله وكل بيمينك وكل مما يليك
فما زالت تلك طعمتي بعد.
Dari
Umar bin Abi Salamah ra. Dia berkata: Aku dahulu seorang budak yang berada di
bawah pemeliharaan Rasulullah s.a.w dan selalu tanganku bergerak ke sana ke
mari dalam piring makan. Maka Rasulullah s.a.w berkata kepadaku: " hai
gulam, sebutlah Nama Allah, makanlah dengan tangan kanan engkau dan makanlah
apa yang ada di keliling engkau." Maka setelah itu terus meneruslah
sedemikian sifat aku makan.[20]
Nabi juga
menyuruh dengan cara langsung dengan lisannya kepada 'Umar untuk makan dengan
tangan kanannya. Hal ini karena menurut riwayat syetan itu makan dengan tangan
kiri. Dan mengingat bahwa tangan kanan lebih mulia dari tangan kiri. Begitu
pula hal ini pada saat minum. dalam arRisalah dan Al Um, AsSyafi'i mewajibkan
kita makan dengan tangan kanan karena ada ancaman terhadap orang yang makan
dengan tangan kiri.
ان رسول الله صلى الله عليه
وسلم ذات ليلة في المسجد فصلى بصلاته ناس ثم صلى من القابلة فكثر الناس ثم اجتمعوا
من اليلة الثالثة او الرابعة فلم يخرج اليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم.فلما
اصبح قال قد رايت الذي صنعتم ولم يمنعني من الخروج اليكم الا انى قد خشيت ان تفرض
عليكم وذالك في رمضان.
“Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam
shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam
berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang
mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau
malam keempat. Maka Rasulullah tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi
harinya beliau n bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian
lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali
sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu
terjadi di bulan Ramadhan[21].
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
احسن الناس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل البائن ولابالقصير
Rasulullah
Saw adalah seorang yang paling elok wajahnya dan merupakan ciptaan (tuhan )
yang paling bagus (postur tubuhnya) tidak terlalu tinngi dan tidak juga pendek.[22]
) Hadis ini menerangkan keadaan tubuh nabi. Gambaran ini disampaikan oleh
sahabat nabi yang bertnama Al-Barra[23].
Dalam hal ini, cara nabi menyampaikan haditsnya tidak dalam bentuk perbuatan,
melainkan berupa keadaan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ
رضي الله عنهما أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ رضي الله عنه الَّذِي يُقَالُ لَهُ
سَيْفُ اللَّهِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهِيَ خَالَتُهُ وَخَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ فَوَجَدَ عِنْدَهَا ضَبًّا
مَحْنُوذًا قَدِمَتْ بِهِ أُخْتُهَا حُفَيْدَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ مِنْ نَجْدٍ
فَقَدَّمَتْ الضَّبَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ قَلَّمَا يُقَدَّمُ إِلَيْهِ طَعَامٌ حَتَّى يُحَدَّثَ بِهِ وَيُسَمَّى
لَهُ فَأَهْوَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ إِلَى
الضَّبِّ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْ النِّسْوَةِ الْحُضُورِ أَخْبِرْنَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَدَّمْتُنَّ لَهُ قُلْنَ هُوَ الضَّبُّ
يَا رَسُولَ اللَّهِ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَدَهُ فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ أَحَرَامٌ الضَّبُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ : لَا وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ ,قَالَ
خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ يَنْظُرُ فَلَمْ
يَنْهَنِي (متفق غليه واللفظ لمسلم
Dari
Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwa Kholid bin Walid radhiyallohu anhu
yang dijuluki Saifullah (pedang Allah) mengabarkan kepada beliau (Ibn Abbas)
bahwa Kholid bersama Rasulullah shallallohu alihi wa sallam mendatangi Maimunah
radhiyallohu anha istri NabI shallallohu alaihi wa sallam yang juga merupakan
bibi Kholid dan bibi Ibn Abbas, beliau mendapati di sisinya dhobb panggang yang
dibawa oleh saudari Maimunah yang
bernama Hufaidah bintul Harits dari Najd lalu beliau menghidangkan dhobb kepada
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan selama ini sangat jarang beliau
dihidangkan sesuatu kecuali telah disampaikan tentang jenis makanannya. Maka
Rasulullah shallallohu alihi wa sallam menjulurkan tangannya untuk
mengambil daging dhobb lalu salah
seorang wanita yang hadir pada saat itu berkata beritakan kepada Rasulullah
makanan yang kalian hidangkan kepada beliau. Para wanita lalu berkata, “Itu
daging dhobb wahai Rasulullah”, maka
Rasulullah segera menarik tangannya dan tidak meraih daging tersebut, Kholid
bertanya, “Apakah daging dhobb haram wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,
“Tidak akan tetapi daging itu tidak terdapat di daerahku sehingga aku tidak
menyukainya karena jijik padanya”. Kata Kholid maka aku mengambilnya lalu
memakannya sedang Rasulullah shallallohu alaihi wasallam melihatku dan beliau
tidak mencegahku[24]”
(HR. Bukhari dan Muslim, lafal hadits ini sesuai redaksi Imam Muslim)
F.
Periwayatan
Hadits pada Zaman Nabi dan Sesudahnya
1.
Pada
Zaman Nabi
Hadits
yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat karena para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi dan kemudian
menyampaikannya kepada orang lain hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan
sahabat nabi sendiri seperti, Umar ibn
Alkhatab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang
berasal dari nabi. Kata umar, bila tetangganya hari ini menemui nabi, maka umar
pada esok harinya menemui nabi dan memperoleh berita yang berasal atau
berkenaandengan nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak
bertugas[25].
Dengan demikian, para sahabat yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui nabi,
mereka tetap juga dapat memperoleh hadits dari sahabat yang sempat bertemu
dengan nabi.
Disamping
itu, kebijaksanaan nabi mengutus para sahabat keberbagai daerah, baik untuk
tugas khusus berdakwah maupun untuk memangku jabatan, tidak kecil perananya
dalam penyebaran hadits. Hal ini juga turut mempercepat proses penyebaran
hadits. Hadits nabi yang telah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan
ada yang dicatat. Sahabat yang banyak menghafal hadits seperti: Abu Hurairoh,
sedangkan sahabat nabi yang membuat catatan hadits yaitu: Abu Bakar , Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Amr ibn Al’Ash dan Abdullah bin abbas[26].
Maka dari uraian diatas, periwayatan hadits terjadi dua hal yaitu cara yang
ditempuh oleh nabi dalam menyampaikan haditsnya
dan minat yang besar dari para sahabat.
2.
Pada
Zaman Sahabat
Setelah wafat rasulullah saw,kendali
kepemimpinan umat islam berada di tangan sahabat nabi. Sahabat nabi yang
pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar As-Shidiq kemudian disusul
oleh umar bin khatab, ustman bin affan disusul oleh Ali bin Abi thalib. Keempat
khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Al-Khulafa Al-rasyidin dan
periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar[27].
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan
menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja
sama denganperkembangan pengetahuan dengan para sahabat nabi yang masih hidup
pada masa itu.
Diantara
sahabat nabi yang masih hidup dan besar peranannya dalam periwayatan hadits
nabi ialah ‘Aisyah binti Abu Bakar, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah
bin Umar, dan Jabir bin Abdullah[28].
Riwayat hadits yang ‘dimiliki’ para shahabat, ada yang langsung diperolehnya
dari nabi dan ada yang diperolehnya dari sahabat lain. Bahkan menurut berbagai
sumber, tidak sedikit sahabat nabi yang
memperoleh riwayat hadits dari tabi’in. Aisyah, Abu Hurairah, Mu’awiyah, Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubayr dan Abdullah bin ‘Amr telah menerima
hadits bukan hanya dari nabi dan sahabat nabi saja, melainkan juga dari Ka’b
Al-Akhbar, seorang tabi’iy[29].
3.
Pada
Zaman Sesudah Sahabat
Pada
zaman sesudah generasi sahabat nabi, khususnya sampai saat hadits dihimpunkan
dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan
riwayat hadits nabi. Pembakuan tata cara periwayatan ini sangat erat kaitannya
dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadis nabi dari pemalsuan-pemalsuan
hadits yang sedang berkembang. Diantara para ulama hadits yang besar
perhatiannya terhadap periwayatan hadits pada masa ini yaitu: Sa’id ibn
Al-Musayyab, Muhammad ibn Muslim bin Syihab Al-Zuhry, Abu Amr Abdurahman bin
‘Amr al-awzaiy, Ali bin Al-Madaniy, As-Syafi’i
dan Al-Bukhari[30].
Bagian
hadits yang mereka kaji dan dalami bukan hanya matn-nya saja, melainkan juga
nama-nama periwayatnya dan susunan sanadnya.
Ulama hadits kemudian menciptakan
gelar-gelar keahlian di bidang pengetahuan hadits, seperti gelar al-musnid sebagai
gelar ternedah, kemudian beberapa gelar di atasnya seperti: al-muhaddis,
al-hafiz, al-hakim, dan yang tertinggi adalah amir al-mu’minin fiy
al-hadits. Periwayatan hadits pada zaman ini tidak memperoleh hadits secara
langsung dari nabu, karena tidak sezaman dengan nabi, tetapi mereka
meriwayatkan hadits dari periwayat yang berasal dari generasi sebelum mereka,
tetapi masih sezaman dengan mereka, berasala dari satu generasi dengan mereka
dan berasal dari dari generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan mereka[31].
Bab II
A. Rangkaian Nama-Nama Periwayatan Dan Tata Cara
Periwayatan
Hadits yang dicatat oleh periwayat
dan penghimpun hadis, misalnya
Al-Bukhariy, Muslim, dan Abu Dawud, bukan hanya sabda, perbuatan, taqrir dan
hal ihwal semata, melainkan juga rangkaian nama-nama periwayatnya yang biasa disebut dengan sanad.
Hadis yang
disampaikan secara lengkap matn dan sanadnya biasa disebut dengan hadits
musnad. Adapun hubungan antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat
dalam suatu sanad adalah hubungan kegiatan penerimaan dan penyampaian riwayat
hadits. Kedua kegiatan ini dalam ilmu hadis biasa disebut dengan istilah tahammul
wa ada’al-hadits[32].
Ada delapan macam kaifiyah
tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadis,
yaitu sebagai berikut:
1. As-sama’
Periwayatan hadits dengan cara as-sama’ yaitu seorang syekh
membacakan hadist sedang murid mendengarkannya, sama saja apabila syekh tersebut membaca dari hafalannya atau
kitabnya, begitu pula murid mendengar dan mencatat apa yang di dengarnya atau
mendengar saja dan tidak menulisnya[33].
Di dalam periwayatan yang
berbentuk as-sama’, disyaratkan adanya pertemuan antar guru dan murid.
Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan jumhur
ulama, periwayatan hadits yang diterima dengan adanya tabir (penghalang) yang
memisahan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong
periwayatan bentuk as-sama’. Syaratnya, yang didengar sang murid
benar-benar suara gurunya. Periwayatan
hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah. Ketika meriwayatrkan
hadits, Aisyah berada di belakang tabir, kemudian para sahabat berpedoman pada
suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits Aisyah.
Menurut jumhur ulama, as-sama’
merupakan periwayatan yang paling tinggi dalam periwayatan hadits. Jika melihat
pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara yang sering dilakukan. Para
sahabat mendengarkan dengan seksama apa yag dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat saling
mencocokan hadits yang telah didapat dari Nabi SAW tersebut. Kata atau lafadz yang digunakan dalam
penyampaian hadits dengan cara as-sama’ diantaranya adalah sami’tu (سمعت) , akhbarnaa(أخبرنا), qola lanaa(قال لنا), dzakaro lanaa (ذكرلنا), dan hadatsaniy (حدثني).
Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafadznya adalah sami’na (سمعنا) dan haddatsana (حدثنا).
Kata-kata tersebut menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru
secara bersama-sama[34].bobot
kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati ulama menurut al-Khatib
Al-Bagdadiy bahwa kata yang tertinggi adalah سمعت
kemudian حدثنا dan حدثني, alasannya kata سمعت menunjukan kepastian periwayat mendengar
langsung hadits yang diriwayatkan. Sedangkan dua kata terakhir itu masih
bersifat umum. Menurut ibn al-salah kata حدثنا dan أخبرنا dari satu sisi dapat lebih tinggi kualitasnya dari سمعت.[35] Dan masih ada beberapa pendapat ulama lain
yang berbeda. Kata-kata: كان يقول كذا, فعل, حدث, ذكر, قال
فلان atau yang serupa dengannya, diperselisihkan
penggunaannya oleh ulama. Sebagaian ulama berpendapat, kata-kata itu menunjukan
periwayata dengan cara as-sama, sebagaian yang lain berpendapat
kata-kata tersebut mununjukan cara periwayatan as-sama bila didalamnya
tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) olehperiwayat yang
menggunakan kata tersebut. Pendapat lain mengatakan فلان قال dan yang lainnya tersebut disamakan dengan
harf عن. Menurut Abu Ja’far ibn
Hamdan al-naysaburiy, kata-kata قال لي فلان dalam sahih al-bukhari menunjukan periwayatan
dengan cara al-qiro’ah atau al-munawalah[36].
2.
Al-Qira’ah
Periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah yaitu seorang murid membaca
sedang guru mendengarkan, sama saja apakah ia sendiri membaca suatu hadits atau
orang lain sedang ia mendengarkannya, dan
sama saja baik bacaanya dari hafalan atau dari suatu kitab, begitu pula
sama saja guru tersebut mengikuti kepada orang yang membaca hadist dari
hafalannya atau ia sendiri menyadarkan kitab atau orang siqoh lainnya.[37]
Dari pengertian tersebut iketahui bahwa Al-qira’ah adalah periwayatan hadits
dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan
tersebut biasanya disebut dengan istilah al-arad. Disebut al-arad, karena
seorang rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan sang guru
mendengarkan bacaan tersebut. Dan menurut Syuhudi Ismail berpendapat bahwa
penerimaan riwayat dengan al-qira’ah pada dasarnya lebih korektif daripada
penerimaan riwayat dengan cara as-sama, karena lebih bersifat korektif
dari pada dengan cara as-sama[38].
Para ulama berbeda pendapat
mengenai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah. Ada sebagian ulama yang
menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat dengan periwayatan
hadits dengan cara as-sama seperti: Al-Zuhriy, Malik ibn
Anas, Sufyan ibn ‘Uyaynah, Al-Bukhariy’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa
periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah
dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’ yaitu
seperti Al-Suyutiy, Al-Buwaytiy,al-Muzaniy, Sufyan Al-Sawriy, Ahmad ibn Hanbal,
Abdullah bin Al-Muarak, Ishaq bin Rawahayh dan Ibn al-Salah.sedangkan Abu
hanifah, Abu Zi’b dan beberapa Ulama lain menilai al-qira’ah lebih tinggi
daripada as-sama[39].
Kata-kata atau istilah yang
dipakai dan disepakati para ulama ialah: على فلان قرأت (digunakan bila rawi membaca sendiri di
hadapan guru yang menyimaknya) , قرأت على فلان و أنا اسمع فأقربه (
digunakan bila rawi tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan
orang lain, sedang guru hadits menyimaknya[40].
Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakainannya, ialah حدثنا dan أخبرنا yang tanpa diikuti
kata-kata lain. Ibn al-Mubarak, Ahmad bin hanbal, Al-Nasa’iy dan beberapa ulama
lain tidak membenarkan penggunaan kedua kata tersebut untuk periwayatan
al-qira’ah. Al-Zuhriy, Malik ibn Anas, Sufyan al-Sawriy, Al-Bukhariy dan
beberaa ulama lain membolehkan, bahakan mereka membolehkan juga penggunaanفلان سمعت . Al-Syafi’iy, Muslim dan beberapa ulama lagi
hanya membolehkan penggunaan اخبرنا
saja dan tidak membolehkan penggunaan kata حدثنا[41].
3. Al-Ijazah
Periwayatan hadits dengan cara al-ijazah
yaitu perizinan untuk meriwayatkan, baik secara lafdzi maupun berupa kitab[42].
Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan
sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini diberikan oleh
seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk
ucapan atau tulisan. Dan ulama berbeda pendapat
tentang kebolehan ijazah untuk periwayatan hadits.jenis ijazah
secara global ada dua macam. Yakni, ijazah bersama al-munawalah
dan ijazah al-mujaradah. Ijazah al-munawalah terbagi dua
macam: (a) seorang guru memberikan kepadanya hadits yang apa adanya, kemudian
guru berkata, “anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang
telah saya peroleh ini”, (b) seorang murid menyerahkan hadits kepada guru,
kemudian guru itu memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga
meriwayatkannya, maka dia berkata” hadits ini telah saya terima dari guru-guru
saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits ini dari saya”.
Bentuk ijazah ini sebagain ulama menyamakan dengan cara as-sama
dan sebagian ulama menyamakan dengan al-qira’ah[43].
Adapun
periwayatan dengan ijazah al-mujarodah diantaranya: (a) orang
tertentu untuk hadits tertentu, misalnya yang termuat dalam kitab sahih
al-bukhariy, (b) orang tertentu untuk semua hadits yang telah didengarnya , (c)
orang yang tidak tertentu, misalnya umat islam, untukhadits tertentu atau
hadits yang tidak tertentu.Ijazah al-mujarodah yang pertama oleh
mayoritas ulama fiqh dan ulama hadits disepakati. Sedangkan ijazah yang
lainnya diperselisihkan keolehannya[44].
Kata-kata yang dipakai dalam
menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah, seperti Al-Zuhri
dan Malik membolehkan penggunaan :حدثنا dan
اخبرنا untuk ijazah yang bersamaan dengan al-munawalah.
Abu Nu’amy membolehkan kedua kata itu untuk ijazah al-mujarodah,
tetapi ulama menolak pendapat tersebut. Mayoritas ulama sendiri umumnya memakai
kata-kata: حدثناإجازة, atau
إذناحدثنا atau أجازلي. Al-bagawi menggunakan إجازةأنبأني إ dan
ulama lainya ada yang memakai أنباني atau أنبانا saja.
4. Al-munawalah
Periwayatan hadits dengan cara al-munawalah
adalah seorang guru memberikan naskah yang telah ia koreksi kepada muridnya
untuk diriwayatkan, sambil berucapa “ ini hadits yang telah saya dengar” atau, “ ini hadits yang telah saya
riwayatkan”. Guru hadits tadi tidak menyatakan agar ‘haditsnya’ itu diriwayatkan.
Ulama pada umumnya tidak membenarkan periwayatan dengan al-munawalah
tanpa diikuti ijazah[45].
Kata-kata yang dipakai untuk al-munawalah tanpa ijazah, ialah: ناولنا atau ناولنا[46]. Ulama tidak banyak berbeda pendapat.
5. Al-mukatabah
Al-mukatabah ialah seorang guru yang menuliskan hadits
yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu. Orang yang
menulis hadits dapat saja guru itu atau orang lain namun atas persetujuannya,
sedang orang yang dieri hadits ketika itu ditulis dapat saja berada di hadapan
guru tersebut atau berada di tempat lain[47].
Periwayatan ini terbagi dua yaitu: (a) al-mukatabah tidak disertai
dengan ijazah dan (b) al-mukatabah disertai ijazah. Ulama
pada umumnya memebolehkan kedua macam al-mukatabah tersebut. Bahkan ada
yang menilai, al-mukatabah yang tidak disertai ijazah lebih kuat
dari pada periwayatan dengan ijazah saja. Ibn Al-Salah berpendapat, al-mukatabah
yang disertai ijazah, kekauatannya sama dengan al-munawalah yang
disertai ijazah[48].
Perbedaan antara
al-munawalah dan al-muakatabah ialah bahwa al-munawalah,
hadits-haditsnya tidak mesti dalam bentuk tulisan, sedang dalam al-mukatabah
haditsnya mesti tertulis. Perbedaan lain, bahwa dalam al-mukataah, ketika
hadits dicatat telah ada maksud untuk diberikannya kepada periwayat tertentu.
Sedang dalam al-munawalah yang berbentuk tulisan, maksud penyerahan dari
guru baru muncul setelah hadits yang bersangkutan selesai ditulis. Kata-kata
yang dipakai yaitu: إلي
, أخبرني به , أخبر ني بهكتب .[49]
6.
Al-I’lam
Al-ilam
yaitu seorang guru hadits memberitahukan kepada muridnya,hadits atau kitab
hadits yang telah diterimanya dari periwayatnya, misalnya melalui as-sama,
tanpa diikuti pernyataan agar muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut. Ibn
Al-Salah tidak menganggap sah periwayatan dengan cara al-‘ilam, alasannya: (a)
hadits yang diberi tahukan ituada cacatnya karenanya guru tersebut tidak
menyuruh muridnya untuk meriwayatkannya dan periwayatan cara al-ilam memiliki
kesamaan dengan pemberitahuan seseorang saksi kepada orang lain, atas suatu
perkara, kemudian orang lain itu memberikan kesaksian tanpa izin dari saksi
yang sesungguhnya tadi. Tetapi kebanyakan ulama membolehkan periwayatan dengan
al-ilam dengan alas an: (a) guru tidak menyatakan agar muridnya meriwayatkan
haditsnya, tidak mesti ada cacat dlam haditsnya tersebut. (b) penganalogian
al-ilam dengan kesaksian suatu perkara tidaklah tepat, karena kesaksian memang
memerlukan izin, sedang periwayatan tidak selalu perlu izin, (c) bila
periwayatan dengan cara as-sama dan al-qiro’ah dinyatakan sah
walaupun tanpa diikuti adanya izin dari guru, maka al-ilam harus diakui juga
keabsahannya[50].
Pendapat
mayoritas ulama tersebut, lebih kuat. Sebab untuk apa seorang guru menyampaikan
riwayat haditsnya, bila hadits tersebut dilarang diriwayatkan lebih lanjut.
Kata – kata yang digunakan: أعلاماأخبرنا , atau kata-kata lain yang semakna.
7.
Al-Wasiyyah
Al-wasiyah yaitu
seorang periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkannya kepada
orang lain. Waktu berlakunya ditentukan oleh orang yang member wasiat, dalam
hal ini dapat saja mulai berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia atau
ketika dalam perjalanan[51].
Ulama berbeda pendapat tentang periwayatan cara wasiat (al-wasiyah) ini.
Sebagaian ulama membolehkannya dan sebagiannya tidak membolehkannya. Kata-kata
yang diapakai dalam periwayatan ini: أوصى إلي atau yang semakna
dengannya.
8. Al-wijadah
Al-wijadah ialah seseorang
dengan tidak melalui cara as-sama atau ijazah, mendapati hadits
yang ditulis oleh periwayatnya. Orang yang mendapati tulisan hadits itu dapat
saja semasa atau tidak semasa dengan penulis hadits tersebut, pernah atau tidak
pernah bertemu, pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadits dari penulis
dimaksud[52].
Ulama dalam hal ini juga berbeda pendapat seperti Ahmad Muhammad Syakir yang
tidak membolehkan periwayatan dengan cara Al-wijadah. Sedangkan ulama
yang membolehkan memberikan syarat tertentu, seperti: (a) tulisan hadits yang
didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapa periwayat yang
sesungguhnya, (b) kata-kata yang dipakai untuk periwayatan lebih lanjut
haruslah kata-kata yang menunjukan bahwa asal hadits itu diperolehnya secara Al-wijadah[53].
Kata-kata yang digunakan adalah:
·
وجدت بخط فلان حدثنا فلان
·
وجدت في كتاب فلان
بخطه حدثنا فلان
·
وجدت عن فلان .
أو:بلغني عن فلان.
·
وجدت في نسخة من كتاب
فلان
Butir 1
dan 2 dipakai apabila (a) penerima riwayat tidak pernah menerima riwayat hadits
dari penulis hadits yang bersangkutan,(b) tulisan yang dinukil telah jelas
keorisinilannya, dan (c) sanad haditsnya bisa saja putus (munqati’) atau
bersambung (muttasil). Apabila orisinalitas tulisan belum diketahui dan
sanadnya telah jelas terputus, maka pernyataan yang dipakai adalah salah satu
dari ketiga pernyataan yang disebutkan terakhir diatas[55].
Dengan demikian, periwayat yang menempuh cara Al-wijadah terlebih dahulu
harus mampu meneliti orisinal tidaknya tulisan hadits yang akan
diriwayatkannya.
Selanjutnya
perlu dikemukakan, bahwa kata-kata yang dipakai sebagai penghubung antara
periwayat dengan periwayat terdekat dalam satu sanad, ada yang ditulis secara
lengkap dan ada yang ditulis dalam bentuk singkatan. Bentuk-bentuk singkatan
yang lazim dipakai ternyata tidak seragam. Diantara bentuk singkatan yaitu:
a.
Kata حدثنا biasa disingkat dengan ثنا, نا , حا, tetapi oleh al-hakim, abu abdurahman
al-sulamiy dan al-bagdawiy.
b.
Kata أخبرنا
biasa disingkat dengan أنا , رنا, أخ, tetapi oleh ketiga ulama dalam butir (a) di atas biasa di
singkat dengan أر . Al-bagawiy biasa
menyingkatnya dengan أنبأ . ulama pada umumnya menyayangkan cara penyingkatan yang
dilakukan al-bagawiy, karena singkatan itu dapat mengacaukan dengan singkatan
untuk أنبأنا
c.
Kata حدثني biasa disingkat dengan ثنى atau
دثني
d.
Kata أخبرني biasa disingkat dengan أني
e.
Kata أنبأنا biasa disingkat dengan أنبأ
B. Redaksi matan Hadits yang Diriwayatkan
Pada zaman nabi tidak seluruh hadits
ditulisoleh para sahabat nabi hadits nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada
periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan hadits nabi yang
dimungkinkan diriwayatkan secara lafal (riwayat bi bi al-lafz) oleh
sahabat sebagai saksi pertama hanyalah hadits yang dalam bentuk sabda sedang
hadits yang tidak dalam bentuk sabda hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan
secara makna (riwayat bi al-ma’na)[57].
1. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Lafẓiy
Periwayatan hadis dengan lafal
adalah cara periwayatan hadis yang disampaikan sesuai dengan lafal yang
disabdakan oleh Nabi saw. secara persis tanpa ada perubahan sedikitpun pada
tatanan kalimatnya. Atau dengan kata lain, meriwayatkan hadis dengan lafal yang
masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan
maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam
menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak
memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi
hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan
puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada
urutan nomor empat sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw[58].
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn
‘Āzib pernah diajari oleh rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya
ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata
itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap
meneruskan dengan kata “bi nabiyyika”. Untuk lebih jelasnya penulis bisa
menyajikan bentuk doa yang diajarkan oleh Nabi saw kepada al-Barra’ bin ‘Azib[59],
sebagai berikut;
إذا أويت الى فراشك طاهرا فتوسد
يمينك ثم قل: اللهم أسلمت وجهي اليك وفوضت أمري اليك وألجأت ظهري اليك لا ملجأ ولا
منجى الا اليك. أمنت بكتابك الذي أنزلت ونبيك الذي أرسلت.
“Apabila kamu berbaring di tempat tidurmu
dalam keadaan suci lalu meletakkakan tangan kananmu (pada kepalamu sebagai
bantal) maka berdoalah; Ya Allah aku sejahterakan wajahku di hadapan-Mu, aku
pasrahkan urusanku pada-Mu, dan aku lindungkan harapanku pada-Mu, tiada
pelindung dan tempat berharap selain kepada Engkau. Aku beriman pada kitab yang
Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau utus[60].”
Tingkat kepedulian para sahabat
dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah
dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan
ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk
meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena
mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan
pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi
di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan
ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun
pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan
lafal, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya
periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis
yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain[61]:
a.
Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti
tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat, dan lain sebagainya.
Hadis yang bisa dijadikan contoh
untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin
Aus ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا
عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر
لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات
دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه ثله. [62]
“Paling tingginya ucapan istighfar adalah:
‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku
maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku.
Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka
ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau.
Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca
pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk
dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi. ”
b.
Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena
Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya. Bisa
diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra.
bahwa Rasulullah saw. bersabda,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما
نهى الله عنه [63]
“Orang Islam itu adalah orang yang
orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c.
Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan
sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini
penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah swt, seperti;
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم
يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض؟ [64]
“Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan
melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang
Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada
persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan
perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan
riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin,
Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat
bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan
pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan
bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan
kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan
perbuatan Nabi saw[65].
Menurut hemat penulis, periwayatan
secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian
hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik
perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua
dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal
itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah
diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis
yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna
dari Nabi saw.
2. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadis
diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah saw. periwayatan hadis itu diperketat
agar tidak terjadi periwayatan yang bukan dari Nabi saw. tetapi mereka
menyandarkannya pada Nabi saw demi kepentingan diri atau kelompok mereka.
Yaitu, dengan mengharuskan para perawi menyampaikan hadis apa adanya, tanpa ada
penambahan atau pengurangan sedikitpun, sehingga redaksi hadis tidak mengalami
perubahan sama sekali.
Tetapi dalam kenyataannya, banyak
dijumpai hadis yang memiliki makna sama tapi diungkapkan dengan redaksi yang
berbeda-beda. Karena itu, kita bisa menjumpai komentar hadis “muttafaq
‘alayh, wa al-lafẓ li Muslīm, atau wa al-lafẓ li al-Bukhārīy”. Dengan
demikian, tampak sangat jelas bahwa periwayatan hadis secara makna itu ada dan
diperbolehkan.
Bisa didefinisikan bahwa
periwayatan hadis dengan makna adalah periwayatan hadis dengan maknanya saja
sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan[66].
Atau dengan kata lain, apa yang diungkapkan oleh Rasulullah saw hanya dipahami
maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau susunan
redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat memiliki kualitas daya
ingatan yang beragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu,
kemungkinan masanya sudah lama sehingga yang masih diingat hanya maksudnya
sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadis
secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi.
Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab
tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafal/matan
yang lain meskipun maknanya tetap tanpa ada perubahan.
Untuk memperjelas adanya hadis
yang diriwayatkan secara makna penulis akan memberikan gambaran contoh sebagai
berikut;
لا يجد احد حلاوة الايمان حتى يحب المرء لا يحبه الا لله و
حتى ان يقذف فى النار احب اليه من ان يرجع الى الكفر بعد إن انقذه الله وحتى يكون
الله ورسوله احب اليه مما سواهما. [67]
“Tidaklah seseorang akan mendapatkan manisnya
iman sampai ia mencintai seseorang hanya karena Allah, lebih senang dilempar ke
dalam neraka daripada kembali pada kekufuran sesudah ia diselamatkan oleh
Allah, dan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada lainnya”.
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب
إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر كما
يكره أن يقذف في النار.[68]
“Tiga hal yang membuat seseorang akan
merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari lainnya,
ia mencintai seseorang karena Allah dan membenci kembali kepada kekufuran
sebagaimana ia membenci untuk dicampakkan ke dalam neraka”.
Hadis di atas sama-sama menerangkan
tema tentang iman, namun keduanya diungkapkan dengan redaksi yang berbeda, baik
dalam penggunaan lafal maupun susunannya.
.
Kesimpulan
Metode Periwayat hadits dan Beragamnya
kata-kata yang digunakan dalam periwayatan hadits dan berbeda pendapat para ulama dalam hal
ini, merupakan sebuah indikasi bahwa begitu besar perhatian para kaum muslimin
dalam menjaga orisinalitas Al-hadits sebagai sumber hukum kedua setelah
al-qur’an, sehingga validitasnya bisa terjamin
Ikhtisar[69]
Kata-Kata
Atau Pernyataan Yang Dipakai Dalam Periwayatan Hadits
(Terletak
Antara Periwayat Dengan Periwayat Lain Yang Terdekat Dalam Sanad)
Kata-Kata Yang Digunakan
|
Dipakai Dalam Periwayatan Dnegan
Cara
|
Keterangan
|
|||||||
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
H
|
||
سمعت :حدثني (ثني, دثني)
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
A = al-asma
B =al-qira’ah
C =al-ijazah
D =al-munawalah
E =al-mukatabah
F =al-ilam
G =al-wasiyah
H =Al-wijadah
* = disepakati pemakaiannya
oleh ulama hadits pada umumnya
# = tidak disepakati
pemakaiannya oleh ulama hadits pada umumnya
|
سمعت
|
*
|
#
|
|
|
|
|
|
|
|
حدثنا (ثنا, نا, دنا), أخبرنا
(أنا,رنأ,أخ,أر,أبنا)
|
*
|
#
|
#
|
|
|
|
|
|
|
قال لنا,ذكرلنا
|
#
|
#
|
#
|
|
|
|
|
|
|
قرأت على فلان,قرأت على فلان و أنا أسمع فأقربه.
|
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
خبرنا,حدثنا إجازة,أجازلي,انبأإجازة
|
|
|
*
|
|
|
|
|
|
|
أنبأني (أبني),أنبأنا(أنبا,أبنا)
|
|
|
#
|
|
|
|
|
|
|
ناولنى,ناولنا
|
|
|
|
*
|
|
|
|
|
|
كتب إلي فلان,أخبرني به مكاتبة
|
|
|
|
|
*
|
|
|
|
|
أخبراعلاما
|
|
|
|
|
|
*
|
|
|
|
أوصي إلي
|
|
|
|
|
|
|
*
|
|
|
وجدت بخط فلان حدثنافلان
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
Daftar Pustaka
Ali, Atabik. Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia,Yayasan Ali Maksum: Yogyakarta. 1996.
Al-‘Ala’iy Salah Al-Din Abu Sa’id Khalil Ibn
Kaykaldiy, Jami Al-Tahsil Fiy Ahkam Al-Marasil, Al-Jumhuriyyah
Al-Iraqiyyah: Ihya’ Al-Turas Al-Islamiy, Wuzarat Al-Awqaf, 1978.
Al-Bagdadiy, Abu Bakar Ahmad ‘Aliy Ibn Sabit
Al-Khatib, Kitab Al-Kifayah Fii ‘Ilm Al-Riwayah , Mesir: Matba’ah
Al-Sa’adah, 1972.
Al-Bukhāriy,
Abu ‘Abdullah Muhammad Bin Isma’il, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy,
Juz I, Kairo: Al-Maṭba’ah Al-Salafiyyah Wa Maktabatuha, 1980.
Alhamid,
Abdullah Bin Hamid, Al-Hadits, Riyadh:
Jami’ah Al-Mamlakah Al-Arobiyah,1994.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj,Usul Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Bairut: Darul Fikr, 1989.
_______________________,Al-Sunnah Qabla Al-Tadwīn. Beirut: Dār Al-Fikr, 1971.
Al-Lughoh, Al-Munjid, Bairut: Dar Al-Masyriq,1973.
Al-Syuyuthi,
Al-Khasa’is Al-Kubra, Mesir:Dar Al-Kutub Al-Hadisah, 1967.
______________________, Tarikh Al-Khulafa, Kairo: Dar
An-Nahdah,1975.
Al-Tirmisiy, Muhammad Mahfuz Bin Abdallah, Manhaj
Zawijal-Nazar,Di Terjemahkan,Ahmad
Bahasa, Tim
Penyusun Kamus Pusat . Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai
Pustaka. 2002.
Chaniago, Amran Ys, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Hamalik, Oemar, Proes Belajar Mengajar, Jakarta : : Bumi
Aksara, 2001.
Husayn, Abu Lubabah, Al-Jarh Wa Ta’dil, Riyadh
:Dar Al-Liwa’, 1979.
Http://Carapedia.Com/Pengertian_Definisi_Metode_Menurut_Para_Ahli_Info497.Html,23oktober 2011, 09.25 Pm.
Ismail, Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : PT.Bulan
Bintang, 2005.
Khaeruman, Badri, Ulum Al-Hadis, Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Khumaidi, Irham, Ilmu Hadis Untuk Pemula,
Jakarta: CV Artha Rivera, 2008.
Lisan Al-Arab,Mesir: Dar Al-Misriyyah, Juz II.
Mahmud, Ulum Al-Hadits Studi Kompleksitas
Hadits Nabi, Titian Illahi Press, 1997.
Muslīm, Ṣaḥīḥ Muslīm, Beirut: Dār Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah, 1930.
Ṣāliḥ,
Ṣubḥi, ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalaḥuhū, Beirut: Dār Al-‘Ilm,; Al-Khaṭīb
Al-Baghdādiy, 1991.
Rahman, Fachrur. Ikhtishar Musthalah Al-Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1991.
Shuhbah,
Muḥammad Bin Muḥammad Abū, Al-Wasīṭ Fi ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalah Al-Ḥadīth,
Riyāḍ: ‘Ālam Al-Ma’rifah.
[1]
Oemar Hamalik, Proes Belajar Mengajar, Jakarta : 2001 : Bumi Aksara
[2] Http://Carapedia.Com/Pengertian_Definisi_Metode_Menurut_Para_Ahli_Info497.Html, 23
Oktober 2011, 09.25 Pm.
[4] Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa . 2002 . Kamus Besar Bahasa Indonesia .
Jakarta : Balai Pustaka, Hlm.741
[5]
Ibid.Hlm.740.
[6]
Al-Munjid Al-Lughoh, Bairut: Dar Al-Mayriq,1973, Hlm.289.
[7] Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2002,H. 253.
[8]
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib,Usul Hadis ‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Bairut: Darul Fikr,
1989, Hlm.18.
[9]
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Pt.Bulan
Bintang, 2005.Hlm. 23.
[10]
Ibid, Hlm. 24.
[11] Abu
Lubabahhusayn, Al-Jarh Wa Ta’dil, Riyadh :Dar Al-Liwa’, 1979. Hlm.88.
[12]
Syuhudi Ismail,Op.Cit.Hlm. 26.
[13] Lisan
Al-Arab,Mesir: Dar Al-Misriyyah, Juz Ii, Hlm. 436.
[14]
Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib,Op.Cit , Hlm.37.
[16]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmuushul Fiqih,
[17] Fachrur Rahman, Ikhtishar Musthalah
Al-Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1991, Hlm. 211-222.
[18]
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Hlm. 83.
[19]
Ibid, Hlm. 83.
[20] Shahih Bukhari, Kitabatul’athimah, Bab
Tasmiyah ‘Ala Tho’am Wal’akl Bil Yamin, Hadits Ke-5061, Bairut: Dar Al-Fikr.
[22] Al-Bukhariy, Op.Cit, Juz Ii, Hlm.271.
Hadits Ini Diriawayatkan Juga Oleh Muslim, Al-Turmuzi Dan Malik Bin Anas.
[23] Al-Barra Ibn ‘Azib Ibn Al-Harits, Dikenal
Juga Dengan Sebutan Abu Umarah , Abu ‘Amr Dan Abu Tufyl. Lebih Lanjut Lihat,
Abu Al-‘Ula Muhammad Abd Al-Rahman Ibn ‘Abd Al-Rahim Al-Mubarakfuriy,
Muqoddimah Tuhfat Al-Ahwajiz Syarh Jami’ ‘Al-Turmuziy (Al-Madinah Al-Munawarah”Al-Maktabah
Assalafiyah.1387 H = 1967 M),Juz Ii,Hlm.425.Pernyataan Para Sahabat Nabi Yang
Menerangkan Tentang Keadaan Tubuh Dan Sifat-Sifat Nabi, Lihat Lebih Lanjut
Mislanya Hadis-Hadis Yang Terhimpun Dalam Al-Bukhari, Op.Cit, Juz Ii, Hlm.
271-274, Al-Syuyuthi, Al-Khasa’is Al-Kubra(Mesir:Dar Al-Kutub Al-Hadisah,1387h
=1967 M), Juz I,Hlm 178-190.
[24] Hasan, Hr Abu Daud, Al-Fasawi Dalam
Al-Ma'rifah Wa-Tarikh, Baihaqi, Dan Dihasankan Al-Hafiz Ibnu Hajar Dalam Fathul
Bari, Serta Disetujui Oleh Al-Albani Dalam As-Shahihah No. 2390
[26]
Ibid, Hlm.40
[27]
Al-Syuyuti, Tarikh Al-Khulafa, Kairo: Dar An-Nahdah,1975, Hlm. 50.
[28]
Abdul Ar-Rahim Ibn Al-Husayn Al-‘Iraqiy, Al-Taqyid Wa Al-Idhah Syarh Muqadimah
Ibn Al-Salah , Al-Madinah Al-Munawaroh: Almaktabah Al-Salafiyah, 1400 H,
Hlm.312-313.
[29]
Lihat, Al-Asqalaniy, Tahzib Al-Tahzab, Op.Cit., Juz Vii, Hm 438-440. Ka’b
Al-Akhbar Masuk Islam Pada Zaman Khalifah Abu Bakar, Dan Ada Yang Menyatakan
Pada Zaman Khalifah Umar Bin Al-Khatab. Sebelum Masuk Islam, Ka’b Dikenal
Sebagai Seorang Pendeta Yahudi, Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, Ka’b
Meriwayatkan Hadits Nabi Secara Mursal, Yakni Dengan Tidak Menyebutkan Nama
Sahabat Nabi Yang Telah Menyampaikan Hadits Kepadanya.
[30]
Ibid, Hlm, 55-56.
[33]
Mahmud Thohhan, Ulum Al-Hadits Studi Kompleksitas Hadits Nabi,: Titian Illahi
Press, 1997.
[34]
Irham Khumaidi, Ilmu Hadis Untuk Pemula, Jakarta: Cv Artha Rivera, 2008, Hlm.
126.
[35] Abu
Bakar Ahmad ‘Aliy Ibn Sabit Al-Khatib Al-Bagdadiy, Kitan Al-Kifayah Fii ‘Ilm
Al-Riwayah , Mesir: Matba’ah Al-Sa’adah, 1972, Hlm,412-413.
[36] Lihat, Salah Al-Din Abu Sa’id Khalil Ibn
Kaykaldiy Ala-‘Ala’iy, Jami Al-Tahsil Fiy Ahkam Al-Marasil, Al-Jumhuriyyah
Al-Iraqiyyah: Ihya’ Al-Turas Al-Islamiy, Wuzarat Al-Awqaf, 1978,Hlm,142-144.
[46]Muhammad Mahfuz Bin Abdallah Al-Tirmisiy,
Manhaj Zawijal-Nazar,Di Terjemahkan,Ahmad Ibn Sa’ad Ibn Nabhan, Surabaya,
Cetakan Iii, 1974, Hlm.136.
[56] Ibid, hlm.180.
[58]
Muslīm, Ṣaḥīḥ Muslīm, Kitab Al-Īmān, Bab “Persoalan Tentang Iman”, (Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1930), H.
9.
[59] Ṣubḥi
Ṣāliḥ, ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalaḥuhū, (Beirut: Dār Al-‘Ilm, 1991), H. 8;
Al-Khaṭīb Al-Baghdādiy, Kitāb Al-Kifāyah Fi ‘Ilm Al-Riwāyah, (Haidar Abad:
Al-Ma’arif Al-‘Uthmaniyah, 1435 H), H. 175.
[60]
Hadis Tersebut Diriwayatkan Langsung Dari Barra’ Bin ‘Āzib. Ibid.
[61] Muḥammad
Bin Muḥammad Abū Shuhbah, Al-Wasīṭ Fi ‘Ulūm Al-Ḥadīth Wa Muṣṭalah Al-Ḥadīth,
(Riyāḍ: ‘Ālam Al-Ma’rifah, Tt), H. 146-147.
[62] Abu
‘Abdullah Muhammad Bin Isma’il Al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy, Juz
I, (Kairo: Al-Maṭba’ah Al-Salafiyyah Wa Maktabatuha, 1980), H. 158.
[63]
Hadis Tersebut Diriwayatkan Oleh Al-Turmidhiy Dari Abu Hurairah Dan Juga
Diterima Dari Riwayat Abu Musa Al-Asy’ariy. Abu ‘Isa Muḥammad Bin ‘Isa Bin
Saurah, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ Wahuwa Sunan Al-Turmidhīy, Juz V, (Mesir: Maktabah Wa
Maṭba’ah Al-Muṣṭafā, 1975), H. 17; Al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ…, Bab Iman,
Juz I, H. 8.
[64]
Al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥīḥ…, Kitab Al-Tauhid, Juz Iv, H.
[65]
Ibid, H. 145.
[66] Muḥammad
‘Ajjāj Al-Khāṭib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwīn. (Beirut: Dār Al-Fikr, 1971), H.
155.
[67]
Hadis Tersebut Diriwayatkan Dari Anās Bin Mālik. Muhammad Bin Isma’il
Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy, (Beirut: Dār Al-Fikr, 1981), Kitāb Al-Adab, Bab
Al-Ḥubb Fillah, Jilid Iv, Juz Vii, H. 83.
[68]
Hadis Tersebut Juga Diriwayatkan Dari Anās Bin Mālik. Ibid, Kitāb Al-Īmān, Bāb
Al-Ḥawālah Al-Īmān, Jilid I, Juz I, H. 9. Hadis Tersebut Juga Diriwayatkan Oleh
Muslīm, Abū Dāud, Tirmīdhiy, An-Nasā’iy, Ibnu Mājah Dan Ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar