FILSAFAT MODERN
III (PRAGMATISME, EXISTENSIALISME, DAN PENOMENOLOGI)
Oleh
Ahmad Damiri
PENDAHULUAN
Wacana filsafat yang menjadi topik utama
pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah persoalan epistemologi.
Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan
yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka dalam
filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban yang
berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut adalah
rasionalisme dan empirisme.
PEMBAHASAN
1.
PRAGMATISME
A. Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan[1].
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal
saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran
mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa
akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme
adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan
orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika
orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu
kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian
pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian
pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat
yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya
menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali
tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna
bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat
yang kedua.
B. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh
filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.
1.
William James
(1842-1910 M)
William James lahir di New York pada
tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal,
berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang
dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan
humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari
manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi
dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan
kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience
(1902) dan Pragmatism (1907). Di
dalam bukunya The Meaning of Truth,
Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari
segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang
kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam
prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah
kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam
pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman
berikutnya.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari
kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di
dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar
kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah
kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak.
Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih
tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan
damai keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
2.
John Dewey
(1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari
William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan
gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan
untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan
manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey
menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan
nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang
kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya
dengan istilah instrumentalisme.
Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan
dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu
usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam
dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan
sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada
hari kemarin. Ketiga, milionarisme,
berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini
dianut oleh William James.
C. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan
dalam tiga tataran pemikiran :
1. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran
dasar (Aqidah) pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme). Hal ini
nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan
perkembangan lebih lanjut dari empirisme.
Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama
sebagai sumber ilmu pengetahuan.
2. Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari
Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah, yang dijadikan sebagai asas
berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan
teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
3. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur
kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan
kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah
satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide
diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar
yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan
realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak
diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide
yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi
kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal
manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan
menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam
pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang
identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan
hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme
berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan
identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan
relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide
–baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan
tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan
–menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh
manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah
terjadi. Maka, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal
yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
2.
EXISTENSIALISME
A. Pengertian Eksistensialisme
Kata dasar eksistensi (existency)
adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere
yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri[2].
Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya
sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa
Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada)[3].
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang
filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat
eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti
arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia
berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama.
Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia
menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan
mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu
di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa
manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.
Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
B. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini
cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers,
Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis
membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu
Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye
Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan
ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia
menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam
kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan
aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu
pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran[4].
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku
pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet
Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan
kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel
yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff(Consluding Unscientific
Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada
kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske
Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger(Work of Love) 1847,
Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948).
Kierkegaard menekankan posisi penting
dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya
tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan
ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di
Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf
eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Kierkegaard bertolak belakang dengan
Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan
eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya
umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku
umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak
suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk
akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang
menggunakan alasan-alasan obyektif[5].
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia
Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus
(ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti
pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk
eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius[6].
·
Eksistensi
estetis
menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat,
karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di
sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan
kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran
norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
·
Eksistensi
etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia
batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal
yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan
norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis)
dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
·
Eksistensi
religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut,
yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman
religius.
2. Jean Paul
Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir
tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya
seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar
yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil
ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya.
Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni
dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal.
Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif
terhadap hidup masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga
Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam
perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia
mengaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul
semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena
itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi,
ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena
bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam
perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum
kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme
dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru
filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl.
Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat
eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan
dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini
membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan
Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat
mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus
mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.
Bagi Sartre, manusia itu memiliki
kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan
manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal.
Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas,
keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat
manusia. Dalam novel semi otobiografi La
Nausee (1938) dan essei
L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan
fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya,
manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya
manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban
tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni
mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar
dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai
kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan
memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada
watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang
manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia
konsepsikan setelah ada seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam
eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia.
Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab
sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan
eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia.
Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung
keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
3.
PENOMENOLOGI
1. Pengertian Phenomenologi
Phenomenologi berasal dari kata fenomenon dan logos.Fenomenon secara asal kata
berarti fantasi, fentom, jostor,
foto yang sama artinya sinar, cahaya. Dari asal kata itu dibentuk sesuatu kata
kerja yang antara lain berarti nampak, terlihat karena cahaya, bersinar[7].
Dari itu fenomenon berarti sesuatu yang nampak, yang terlihat karena
bercahaya dalam bahasa kita “gejala” logos dari bahasa Yunani berarti ucapan,
pembicaraan, pikiran, akal budi, kata, arti, studi tentang, pertimbangan
tentang ilmu pengetahuan, tentang dasar pemikiran, tentang suatu hal.
Kemudian diungkapkan pula bahwa
pengertian fenomenologik adalah :
Kata
“Fenomenologi” berasal dari bahasa
Yunani fenomenon yaitu sesuatu yang nampak atau disebut “gejala” menurut para
pengikut filsafat fenomenologi, “fenomenon”
adalah “apa yang menampakkkan diri dalam diri sendiri” suatu fenomenon itu
tidak perlu harus dapat dipahami dengan indera, sebab fenomenon dapat juga
dilihat atau ditilik secara rohani tanpa mlewati indera.
Dan sejak Edmund Husserl (1859-1938)
sebagai tokoh phenomenologi, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan
menjadi metodologi berpikir, fenomenologi bukan sekedar pengalaman langsung
yang tidak mengimplisitkan penafsiran dan klasifikasi.
Hegel (1807) memperluas pengertian
fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran,
yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada
pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu
pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat
bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi
konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia
Dari beberapa pengertian di atas tentang
fenomenologi, maka dapat dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang
fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran
kita.
2. Tokoh dan Pokok-Pokok Pikirannya
a.
Edmund Husserl [8](1859-1938)
Husserl lahir di Prosswitz (Moravia), ia
seorang Yahudi filosof Jerman pendiri fenomenologi. Di universitas ia belajar
ilmu alam, ilmu falak, matematika dan filsafat, mula-mula di Leipzig, kemudian
juga di Berlin dan Wina. Disana ia tertarik pada filsafat Franz Brentano.
Jika kita ingin mengerti arti
fenomenologi sebagai suatu sikap filsafat, kita harus mengetahui lebih dulu apa
yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl. Menurutnya fenomenologi itu
merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode ia membentangkan langkah-langkah
yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomeno yang murni, kita harus
mulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali
kepada “kesadaran yang murni”.
Sebagai filsafat, fenomenologi menurut
Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada.
Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak
terbatas banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda itu dapat
dilukiskan menurut kesadaran dimana ia
temukan. Dengan begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda,
sebagai lawan dari ilusi atau sasaran pikiran, justru karena benda adalah obyek
kesadaran yang langsung dalam bentuk yang murni.
Fenomenologi merupakan metode dan
filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari
dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen
itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari
subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada
“kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai
filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan
esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan
sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu
den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa
dilihat pada dua posisi[9].
Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia
sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama
konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah
realitas (das Ding an Sich) yang
berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal
fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di
luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah
fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan
membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita
padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut
fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair
dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial
atau esensi (eidos) dari apa yang
disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa
dibarengi dengan prasangka (presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang
objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis,
epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara
tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat
dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari
terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat
fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga
menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat
positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur
dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang
spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan
penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu
berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya,
filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu
keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk
mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan
dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal
dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik,
yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus,
artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat
positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric
sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui
kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual,
kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi
bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya,
apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah
theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl
adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas
bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati.
Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga
seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan
cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk
mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche
berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda
kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting:
Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu
dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek
kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche
memiliki empat macam, yaitu:
1.
Method of
historical bracketing;
metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita
terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu
pengetahuan.
2.
Method of
existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of
transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang
transcendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of
eidetic reduction;
mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi
esensi atau intisari realitas itu
Dengan menerapkan empat metode epoche
tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia
amati.
2. Max Scheler
Disamping Husserl adalah filosof
fenomenologi, yaitu Max Scheler (1874-1928). Bagi Scheler, metode fenomenologi
sama dengan satu cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi lebih
merupakan sikap bahan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran
(diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan
langsung dengan realitas berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurut Scheler ada tiga jenis fakta
yang memegang peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu :
(1)
Fakta
natural,
(2)
Fakta
ilmiah, dan
(3)
Fakta
fenomenologis.
Fakta
natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak
dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi
yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari
pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.
3. Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin
seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti
pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan
diri dari dua ekstrim yaitu : Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian
tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya
memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama
sekali.
Walaupun
Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan
sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh
kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua
pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di
atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan
Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan
tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam.
Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real
KESIMPULAN
Pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia
menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis.
Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang
bermanfaat.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah
exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang
berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri . Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang
dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam
bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani
fenomenon yaitu sesuatu yang nampak atau disebut “gejala” menurut para pengikut
filsafat fenomenologi, “fenomenon” adalah “apa yang menampakkkan diri dalam
diri sendiri” suatu fenomenon itu tidak perlu harus dapat dipahami dengan
indera, sebab fenomenon dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani tanpa
mlewati indera.
DAFTAR PUSTAKA
·
Juhaya
S. Praja, aliran Filsafat dan Etika Prenada Media: Jakarta. 2003.
·
Mudzakir,
dkk., Filsafat Umum, CV. Pustaka Setia: Bandung. 1997.
·
Ahmad
Tafsir. Filsafat Umum, Rosdakarya. Bandung 1992.
·
Wardi
Bachtiar. Sosiologi Klasik. Bandung. Remaja Rosdakarya 2006
·
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai
James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2,
·
Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka
Cipta. 1990), cet. ke-1,
·
Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M.
Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984),
·
Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980),
·
K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT.
Gramedia, 1981,
·
http://www.ensikom.fisipol.ugm.ac.id/ensikom/index.php?title=Fenomenologi
[1] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum, Rosdakarya. Bandung 1992.
Hlm 166
[2]Ahmad Tafsir.
Filsafat Umum, Rosdakarya. Bandung 1992. Hlm 191
[3] Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[4] Save M. Dagun,
Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm. 47.
[5] Smith Titus
dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan
Bintang. 1984), hlm. 388.
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[7] K. Bertens,
Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT. Gramedia, 1981, hlm. 109
[8] http://www.ensikom.fisipol.ugm.ac.id/ensikom/index.php?title=Fenomenologi
[9]Wardi
Bachtiar. Sosiologi Klasik. Bandung.
Remaja Rosdakarya 2006. hlm 143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar