KONSEP
KEWARISAN DAN PRANATA KEWARISAN YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT
A.
ABSTRAK
Exploring complexion of
law in Indonesia one of them could be stored views of the development of
inheritance law that many legal shift from conventional fiqh. Inheritance law
in Indonesia is heavily influenced by the two legal systems namely customary
law adat recth and the civil law, so that inheritance law can now be considered
as the result of compromise of all three legal systems, Islam, customary law
and Western civil law.
This study wants to
describe the inheritance law in Indonesia which is currently contained in the
Compilation of Islamic law and jurisprudence of the Supreme Court. Compilation
of Islamic Law, though not included in the structure legal system, but it is
factual has been used as a source of law for judges in religious courts.
Meanwhile, the Supreme Court jurisprudence has sufficient bonding power because
it is a legal product which was followed by subsequent judges in their
decision.
To emphasize the shift
of inheritance law, in addition to legal researchers alive today, also
describes fiqh as heirs legih conventional wide, to look toward the
transitional law of inheritance.
Key
word: Islam, Indonesia, waris, Adat,
B.
PENDAHULUAN
Hukum waris di
Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya,
masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku.
Golongan
penduduk tersebut terdiri dari :
Ø Golongan
Eropa & yang dipersamakan dengan mereka
Ø Golongan
Timur Asing Tionghoa & Non Tionghoa
Ø Golongan
Bumi Putera.
Berdasarkan peraturan
Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 & Kepres No. 240 / 1957 pembagian
golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan. Tentang hukum waris ini dapat
dilihat di dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat & Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW)[1].
Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik & ciri khas masing-masing mengakibatkan
terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
Namun demikian apabila
berbicara persoalan hukum waris, maka tidak terlepas dari 3 (tiga) unsur pokok
yaitu; adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan,
adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan &
adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau
pembagian harta warisan.
Tidak selamanya
mendengar & menguraikan tentang hukum waris, kita teringat kepada seorang
yang telah meninggal dunia & meninggalkan harta pusaka yang langsung dapat
dibagi-bagikan kepada seluruh ahli waris untuk dapat memiliki & dikuasai
secara bebas, tetapi adakalanya terjadi pewaris dalam arti penunjukan atau
penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup.
Kita sebagai negara
yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya Hukum
waris sendiri yang berlaku secara Nasional (seperti halnya Hukum perkawinan
dengan UU Nomor 1 Tahun 1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila dan sesuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di
masyarakat.
Karena itu mengingat
bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Yang tentunya mengharapkan
berlakunya Hukum Islam di Indonesia, termasuk Hukum warisnya bagi mereka yang
beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun Hukum waris Nasional
nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok Hukum waris Islam dimasukkan
ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat
yang bersangkutan[2].
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian Waris
Pengertian Waris
menurut Lughat adalah : pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau
dari satu kaum kepada kaum lain. Sesuatu itu lebih umum daripada harta,
meliputi : ilmu, kemuliaan dan lain sebagainya[3].
Menurut
Istilah adalah : pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para
ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkannya itu berupa harta
bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum syara’[4] .
Tirkah adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh
seseorang setelah meninggal dunia, baik berupa harta benda dan hak-hak
kebendaan, atau bukan hak kebendaan. Dengan demikian setiap sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang mati, menurut jumhur fuqaha dikatakan “Tirkah”, baik yang meninggal itu punya
hutang/piutang, baik ‘aeniyah maupun syakhsiyah[5]
Hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Harta yang dapat dibagi
adalah harta peninggalan yang dikurangi dengan biaya-biaya waktu pewaris
(almarhum) sakit dan biaya pemakaman, serta hutang-hutang yang ditinggalkan
oleh pewaris[6].
Kitab Undang-undang
hukum perdata (BW) juga memberikan batasan tentang pengertian & definisi
hukum waris sebagai suatu pedoman, adapun pengertian tersebut, adalah seperti
terurai dibawah ini. Menurut Pasal 830 BW[7] : “
Pewarisan hanya berlangsung karena kematian “.
Pasal 832 BW[8]
mengatakan : “ Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris
ialah, para keluarga sedarah baik syah maupun luar kawin & si suami atua
isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera dibawah ini, dalam
hal bilamana baik keluarga sedarah maupun yang hidup terlama diantara suami isteri
tidak ada, maka segala harta peninggal si yang meninggal menjadi milik negara
yang mana wajib melunasi segala utangnya , sekedar harga harta peninggalan
mencukupi untuk itu” .
Sebab-sebab
mendapat waris[9] :
1.
Hubungan darah, yakni mendapatkan
warisan karena ada hubungan darah/family dengan orang yang meninggal dunia.
2.
Hubungan pernikahan yakni mendapatkan
warisan karena ada aqad pernikahan yang syah dengan si mati walaupun setelah
aqad pernikahan berlangsung tidak terjadi hubungan seksual atau belum berkumpul
berduaan.
3.
Al-Wala,
yaitu kerabat hukmiah (ditetapkan kerabat oleh hukum islam), dan kerap kali
disebut “Wala’ul ‘Itqi” dan “wala’un-Ni’mah”, karena tuannya telah
memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka dan mengembalikan hak-hak azasi
kemanusiaan kepada budaknya.
Rukun-rukun Waris[10] :
1.
Muwarrits,
yakni orang yang meninggal dunia, yang harta peninggalannya berhak dimiliki
oleh ahli warisnya
2.
Warits,
orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik disebabkan
ada hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan dan sebagainya
3.
Mauruts,
ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, berupa harta
bergerak dan tidak bergerak. Mauruts juga kerap kali disebut Irtsan, Miratsan,
Turatsan, dan Tirkatan. Semuanya bermakna sama, yakni harta yang ditinggalkan
oleh orang mati untuk ahli warisnya.
2.
Hukum Waris Islam
Setiap masalah yang
dihadapi oleh manusia ada Hukumya (wajib,
sunat, haram, mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif Hukumnya.
Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh
Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan
sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah
secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan
pasti.
Hal yang demikian itu
tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam
tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sangat
tinggi atau tepat dan merupakan blessing
in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak
ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama
atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli
wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan
masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetapkan Hukumnya, yang
sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya[11].
Masalah-masalah yang
menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadapi manusia ada
yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan
keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi,
bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di
kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan
anak (lelaki atau perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh
ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing[12].
Selain dari itu masih
banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli
waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama,
kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu
Abbas, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka[13].
Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai
ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik
melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan[14].
Penyebab timbulnya
bermacam-macam pendapat dan fatwa Hukum dalam berbagai masalah waris adalah
cukup banyak[15].
Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :
1.
Metode dan pendekatan yang digunakan
oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda
2. Kondisi
masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal tersebut itulah
yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam Hukum fiqh Islam,
termasuk Hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam
dalam mencari kitab pegangan Hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M)
menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam
yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ra’yu yang sesuai dengan
keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut.
Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu
itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka
menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah
didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab
untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai
pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang Hukum-Hukum yang cocok dengan bangsa
atau umatnya.
Turki adalah negara Islam
yang dapat dipandang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang
berlaku secara Nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi,
yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.
Di Mesir, pemrintah
membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli Hukum yang
bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari Hukum fiqh
Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan
zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923,
dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar,
pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari
mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali
dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan
menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian
tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang
bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal
al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU
Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini
terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara
si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa
mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja
menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris[16].
3. Hukum Waris Adat
Hukum adat Waris di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat
yang bersangkutan, mungkin merupakan prinsip patrilineal murni, patrilineal beralih-alih (alternerend) matrilineal
ataupun bilateral (walaupun sukar
ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), ada pula prinsip Unilateral berganda atau (dubbel-unilateral). Prinsip-prinsip
garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun
bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materiel maupun immateriel).
Hukum waris adat
mengenal adanya tiga sistem kewarisan[17]
yatu :
a.
Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris
mewarisi secara perorangan, (Batak, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain)
b.
Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama)
mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada
masing-masing ahli waris (minangkabau).
c.
Sistem kewarisan mayorat:
1) Mayorat
laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau
anak laki-laki sulung (atau keturunan anak laki-laki) merupakan ahli waris
tunggal, seperti di lampung.
2) Mayorat
perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal,
adalah ahli waris tunggal, misalnya, pada masyarakat di tanah semendo.
Apabila sistem
kewarisan dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, maka menurut Hazairin
yang di kutip oleh Soerjono Soekanto[18] “
sistem individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak
perlu langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat dimana hukum kewarisan itu
berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam
masyarakat yang bilateral, tetapi dapat juga dijumpai dalam masyarakat yang
patrilineal seperti di tanah batak, malahan ditanah batak itu disana sini
mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistem kolektif yang terbatas;
demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat patrilineal yang
beralih-alih di tanah semendo dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang
dayak di kalimantan barat, sedangkan sistem kolektif itu dalam batas-batas
tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di
minahasa, sulawesi utara”
Menurut hukum adat, untuk
menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua macam garis pokok,
yaitu:
1.
Garis pokok keutamaan
2.
Garis pokok penggantian
Garis pokok keutamaan
adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara
golongan-golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang
satu lebih diutamakan daripada golongan yang lain. Dengan garis pokok keutamaan
tadi, maka orang-orang yang mempunyai hubungan darah dibagi dalam
golongan-golongan sebagai berikut[19]:
1.
Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris
2.
Kelompok keutamaan II : orang tua
pewaris
3.
Kelompok keutamaan III : saudara-saudara
pewaris, dan keturunannya
4.
Kelompok keutamaan IV : kakek dan nenek
pewaris
5.
Dan seterusnya.
Garis pokok penggantian
adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa diantara orang-orang
di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang
sungguh-sungguh menjadi ahli waris adalah:
a.
Orang yang menjadi penghubung dengan
pewaris
b.
Orang yang tidak ada lagi penghubungnya
dengan pewaris
Di dalam pelaksanaan
penentuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dan
penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama prinsip garis keturunan
yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Demikian pula harus diperhatikan
kedudukan pewaris, misalnya sebagai bujangan, janda, duda dan seterusnya.
Menelaah gambaran umum
yang telah disajikan di muka, maka dalam hukum waris adat ini, yang menjadi
pokok pembahasan adalah[20]
pertama- siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang merupakan ahli waris.
Membicarakan siapa yang menjadi pewaris dan ahli waris, pada dasarnya membahas
mengenai subyek hukum waris. Dengan demikian, ruang lingkup pertama adalah
mengenai subyek hukum waris. Kedua- akan ditelaah saat, kapan suatu warisan itu
akan dialihkan dan bagaimana cara pengalihan itu dilakukan antara generasi.
Juga akan ditinjau mengenai bagaimana bagian dan pembagian harta warisan itu
dilakukan. Mengenai masalah diatas, berarti pada dasarnya membicarakan
peristiwa hukum warisan. Termasuk dalam peristiwa hukum waris adalah hak-hak
dan kewajiban yang muncul dari pewarisan itu.
Ketiga- menelaah
mengenai apa sajakah yang menjadi harta warisan itu dan apakah semua harta
warisan itu dapat diwariskan kepada ahli waris. Mempersoalkan hal ini berarti
membahas materi dari objek hukum waris
4. Hukum Waris Barat
Berbicara mengenai
hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (
BW ) yang menganut sistem individual , dimana harta peninggalan pewaris yang
telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga
negara Indonesia keturunan asing seperti eropah, cina , bahkan keturunan arab
& lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini , aturan tentang hukum
waris barat tetap dipertahankan , walaupun beberapa peraturan yang terdapat di
dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi , seperti hukum perkawainan menurut
BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974 , tentang perkawinan yang
secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara.
Hal ini dapat dilihat
pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 / 1974 yang menyatakan : Untuk
perkawinan & segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam kitab undang-undang hukum perdata ( BW ), ordomensi perkawinan indonesia
kristen ( Hoci S. 1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran ( Regeling op
de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) & peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini ,
dinyatakan tidak berlaku.
Pokok hukum waris barat
dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :
1.
Dalam hal seorang mempunyai hak atas
sebagian dari sekumpulan harta benda , seorang itu tidak dipaksa mambiarkan
harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama
berhak atasnya
2.
Pembagian harta benda ini selalu
dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu
3.
Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian
harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu
4.
Perjanjian semacam ini hanya dapat
berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau tenggang lima
tahun itu telah lau “. ( Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 14 )
Jadi hukum waris barat
menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-bagi kan
kepada para ahli waris . Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta
peninggalan ( pusaka ) yang belum dibagi segera dibagikan , walaupun ada
perjanjian yang bertentang dengan itu , kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan
pembagian harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat berlaku atas
kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali
dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan
baru. Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
I. Ahli waris menurut
UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris abintestato.
Yang termasuk dalam golongan
ini ialah
1.
Suami atau isteri (duda atau janda) dari
sipewaris (simati)
2.
Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
3.
Keluarga sedarah alami dari sipewaris
II. Ahli waris menurut
surat wasiat ( ahli waris testamentair )
Yang termasuk kedalam
keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat
wasiat untuk menjadi ahliwarisnya“. Pada dasarnya untuk dapat mengerti &
memahami hukum waris ini , cukup layak bidang-bidang yang ahrus dibahas
diantaranya pengertian keluarga sedarah & semenda , status hukum anak-anak
tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya.
Untuk itu dalam tulisan
ini diambil saja bagian yang dianggap mampunyai hubungan dengan penjelasan
terdahulu yakni mengenai hukum kewarisan islam & hukum waris adat.
Legitine
Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak
ini ditentukan berdasarkan besarnya bagian ab
intestato dari legitimaris yang
bersangkutan dengan perkatan lain legitine
portie adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato. Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak
& keturunanya terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan
oleh pewaris. Untuk lebih jelas hal ini dapat diketahui dari bunyi pasal 914
KUH Perdata[21]
yang pada pokoknya menyebutkan adalah sebagai berikut :
a)
Jika yang ditinggalkan hanya seorang
anak , maka legitine portie anak itu adalah ½ dari harta peninggalan.
b)
Jika yang ditinggalkan dua orang anak ,
maka legitine portie masing-masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato
masing-masing anak itu
c)
Jika yang ditinggalkan tiga orang anak
atau lebih , maka bagian amsingmasing anak adalah 3/ 4 dari bagian ab intestato
masing-masing anak itu“ . ( Ibid , : 68) .
Jadi yang dimaksud
dengan tiga orang anak atau lebih adalah termasuk pula semua keturunannya, akan
tetapi sebagai pengganti. Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini,
yang masing-masing mempunyai warna & karakteristik tersendiri, memiliki
kelebihan & kekurangan sesuai dengan alam pikiran & jiwa pembentukannya,
yang masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan
hidup & keyakinan yang berbeda-beda pula & mengakibatkan terdajinya
pluralisme hukum waris di Indonesia.
5.
Pelaksanaan
Hukum Waris Islam Di Indonesia
Sejak berdirinya
kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman
VOC, Hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia
sebagai konsekuensi Iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.
Karena itu, pada waktu
pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama[22].
Di Jawa dan Madura pada tahun 1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah
dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni
semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah,
sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf[23].
Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada tahun 1937,
wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb.
1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639
untuk Kalimantan Selatan[24].
Pengadilan Agama di
luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan
Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan Agama) tetap
menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan
Sultan. Baru pada tahun 1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur
Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang
yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga
mempunyai wewenang atas Waris, Hadhanah, Wakaf, Sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi
peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh
Pengadilan Umum tetap berlaku[25].
Menurut Daniel D. Lov,
seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic
Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di
Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan
kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap
menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan.
Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke
Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri[26].
Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang
tidak mempunyai kekuatan Hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris
Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai
alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu.
Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria[27].
Sebagai penyegaran
untuk mengingat kembali bahwa sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah
mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah yang
menetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah masalah kewarisan.
Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan masalah
warisan, tetapi Pengadilan Agama mengeluarkan “Fatwa Waris” yang sangat
dibutuhkan oleh para pencari keadilan.
Pada tahun 1989,
pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA).
Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan
hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen
menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya
sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf
orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.
Namun demikian materi HWI tetap
berada dalam buku II KHI yang berpayung hukum pada Inpres No. 1 tahun 1991.
Mempelajari materi HWI
hukumnya fardlu kifayah. Artinya jika sudah ada sebagian orang yang
mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban yang lain. Namun melaksanakan HWI dalam
membagi harta peninggalan adalah fardlu ‘ain. Artinya setiap orang Islam wajib
melaksanakan hukum waris Islam jika ia membagi waris. Tidak gugur kewajibannya
sehingga ia melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan Allah (Qs.4:13-14).
Dalam mempelajari hukum waris Islam,
kendala yang umum dihadapi adalah :
a.
Orang merasa sulit mempelajarinya karena
melibatkan beberapa ilmu lain, seperti : matematika, akuntansi, bahasa,
penilaian atau penaksiran harta, pertanahan, dll.
b.
Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, jika
HWI ini tidak senantiasa dipakai akan cepat lupa dan hilang. Sementara
peristiwa kematian jarang terjadi.
c.
Persentase pembagian harta dalam HWI
sangat tergantung keberadaan ahli waris saat pewaris meninggal. Oleh karena
itu, diperlukan metode untuk memahami siapa-siapa ahli waris yang berhak
mendapat harta peninggalan dan berapa bagian masing-masing ahli waris.
d.
Beberapa mazhab dalam Islam memiliki
perbedaan dalam menetapkan ahli waris, menghitung dan membagi harta peninggalan
pewaris.
e.
Tidak semua orang yang mati meninggalkan
harta yang patut menjadi urusan penting.
D. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah
dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan dan saran/harapan
sebagai berikut :
1.
Hukum Islam khususnya Hukum keluarganya
termasuk Hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan
mereka terhadap agama Islam. Karena itu, Hukum Islam tersebut hendaknya
dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan Hukum Nasional (mengingat
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran Hukum agamanya), di
samping Hukum-Hukum lain yang hidup di negara Indonesia
2.
Akibat politik Hukum pemerintah kolonial
Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya –
Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut Hukum Islam
dari lingkungan tata-Hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik Hukum Belanda
yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang.
Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang bertekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk
Hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti
dengan Hukum Nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran Hukum
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
3.
Khusus Hukum waris Islam yang ternyata
diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah
diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan
praktek-praktel Pengadilan Agama dalam Hukum waris Islam yang sangat
mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang
Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang
Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti
benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan
Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti
semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Moch.
Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam,
Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di
Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.
Ø Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam,
Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983
Ø Sajuti
Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam),
Jakarta, Bina Aksara, 1982.
Ø Muhammad
Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy,
Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960
Ø M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Ø Amir
Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan
dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.
Ø Masjfuk
Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam
Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.
Ø ___________,
“Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”,
Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983.
Ø Notosusanto,
Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan
Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.
Ø Bustanul
Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di
Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.
Ø Muhammad
Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.
Ø Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek voor Indonesie)
Ø Muhammad
Ali As-Shabuni. Hukum Waris dalam Syariat
Islam. CV. Diponogoro Bandung 1992
Ø Soerjono
Soekanto. Hukum Adat Indonesia.
Rajawali Pers Jakarta 2010
[1] Mengenai Hukum Islam, Hukum adat,
Hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa
dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan
Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20
[2] Mengenai pandangan Islam
terhadap adat/Hukum adat, Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm.
27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A
Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara,
1982, hlm/ 65-70
[3] Muhammad Ali As-Shabuni. Hukum Waris dalam Syariat Islam. CV.
Diponogoro Bandung 1992 hlm. 40
[4] Ibid..hlm 41
[5] Yang dimaksud dengan
utang/piutang ‘ainiyah ialah
hutang/piutang yang ada hubungannya dengan harta benda, seperti gadai, segala
sesuatu yang berhubungan dengan barang yang digadaikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan hutang/piutang syakhsiyah
adalah hutang/piutang yanga ada sangkut pautnya dengan kreditur, seperti
qiradh, mahar, (mas kawin) dan lain-lain.
[6] Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Rajawali Pers
Jakarta 2010 hlm. 261
[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
Pasal 830
[8] Ibid...Pasal 832
[9] Muhammad Ali As-Shabuni. Hukum Waris dalam Syariat Islam. CV.
Diponogoro Bandung 1992 hlm. 47
[10] Ibid..hlm 47
[11]Muhammad Salam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm.
211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu Hukum Islam,
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404
[12] Perhatikan al-Qur’an Surat
al-Nisa ayat 11 dan 12
[13] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66
[14] Ibid., hlm. 57
[15]Mengenai
sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat/fatwa Hukum, Masjfuk Zuhdi, Ijtihad
dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981,
hlm. 16-17. Dan mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat,
Ibid., hlm. 22-26
[16] Muhammad Sallam Madkur, op.cit., hlm. 118-127
[17] Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Rajawali Pers
Jakarta 2010 hlm. 260
[18] Ibid...hlm 260
[19] Ibid...hlm 261
[20] Ibid...hlm 262
[21] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) Pasal 914
[22]Nama resminya Priester Road
(Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak
mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.
[23]Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10
[24]Perhatikan pasal 2a Stb. 1937
Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan
yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan
Selatan.
[25] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”,
Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25
[26]Ny. Habibah Daud mengadakan
penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang
hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan
1034 orang (96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Muhammad Daud
Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984 hlm. 24-25
[27] Ibid., hlm. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar