Kamis, 26 April 2012

KONSEP PENCIPTAAN ALAM MENURUT FILOSOF

KONSEP PENCIPTAAN ALAM MENURUT FILOSOF
Oleh :
Ahmad Damiri

PENDAHULUAN
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase pertama yang dilakukan ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab secara sistematis terjadi pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M).[1]
Pada fase ketiga muncullah filsuf-filsuf seperti berikut ini :
1)      Al-Kindi (801-873 Masehi) dengan teori perdamaiannya antara wahyu dan akal dan antara agama dan filsafat.
2)      Al-Farabi (870-950 Masehi) dengan teori penciptaan alam oleh Tuhan melalui emanasi dan teori kenabiannya.
3)      Ibnu Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh yang perlu bersatu dengan tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
4)      Al-Ghazali (1058-1111 Masehi) dengan kritik pedasnya terhadap kaum filsuf seperti diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
5)      Ibnu Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan filsafat akhlaknya.
6)      Ibnu Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya bahwa manusia dengan menyendiri dan meditasi dapat sampai pada kebenaran seperti dijelaskan dalam buku Tadbir al-Mutawahhid.
7)      Ibnu Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan teori Ibnu Bajjah dalam Hayy bin Yaqzhan.
8)      Ibnu Rusyd (1126 – 1198 Masehi) dengan pembelaannya terhadap kaum filsuf dengan membawa argumen-argumen Al-Qur’an seperti diuraikan dalam Tahafut al-Tahafut.[2]
Keberadaan filsafat dalam khasanah pemikiran Islam tidak dapat dipungkiri dan diragukan lagi. Semenjak dunia Islam bersentuhan dengan ilmu pengetahuan Yunani, pemikiran filsafat tumbuh subur dan mengalami perkembangan yang cukup kreatif dan signifikan.[3]
Periode renaisans modern dalam Islam ditandai dengan munculnya perjuangan-perjuangan politis untuk melepaskan diri dari dominasi asing dalam kehidupan maupun pemikiran. Para filosof pada masa ini bukanlah sekedar filosof, melainkan juga pemimpin politik, pembaharu sosial dan eksekutif. Tidak sampai seperempat abad meninggalnya ahli sufi, Imam al-Ghazali 505 H/1111 M. lahirlah pula sarjana politik yang ke empat yaitu Ibnu Rusyd pada tahun 520 H/1126 M.[4] Ibnu Rusyd di dalam kehidupannya telah membuktikan sifat demokrasi Islam yang seluas-luasnya dan sifat internasionalitas yang tidak membedakan antara bangsa-bangsa.
Dalam sejarah filsafat Islam, al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang gencar mengecam filosof, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, murid dan komentator Aristoteles. Sementara masalah-masalah kefilsafatan yang menjadi sasaran kritikan beliau terbatas pada hal-hal yang dianggapnya membahayakan umat Islam.
Dalam kritiknya, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa al-Ghazali terlalu memperlakukan Allah seperti purnamanusia. Tentu saja, al-Ghazali akan menolak konsep seperti itu sebagai konsepnya. Hanya bantahan Ibnu Rusyd tidak tertuju pada konsep itu sebagai konsep al-Ghazali, tetapi buntut tak terelakkan dari penjelasan al-Ghazali mengenai sifat bertindak dan mengetahui Allah.
Adapun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tentang Konsep Penciptaan alam menurut Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali

PEMBAHASAN
A.    Al-Ghazali dan pemikirannya
Al-Ghazali merupakan tokoh penentang dan penyanggah falsafa (filsafat Islam) yang paling brilian. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”.
Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial. Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.
 Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam pengantarnya tentang "Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya", dalam Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan petunjuk mengenai `ketersingkapan tabir­sufistik' (al-kasyf ash-Shufiyyah). Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.





B.     Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Ia adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, kelahiran Cordova tahun 520 H/1126 M.[5] Ia lahir sekitar 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazali. Ia lebih popular dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.
Keluarganya mempunyai kedudukan yang tinggi di mata masyarakat Andalusia, bahkan umumnya terdiri dari orang-orang besar yang terkenal di dalam dunia pengetahuan.[6] Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim di Andalusia dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Sevilla dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[7]
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali perhatiannnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi Ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya adalah ketajaman berfikir dan kejeniusan otaknya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedoktran, astronomi, sastra arab dan lainnya.
Semenjak muda, Ibnu Rusyd tekun dan giat belajar mendalami ilmu-ilmu pengetahuan dengan ayahnya. Setelah menguasai dengan baik ilmu fiqih, ilmu kalam, sastra arab, ia menekuni pula matematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika dan filsafat. Ia berhasil menjadi ulama atau filosof yang sulit ditandingi.[8]
Setelah menyelesaikan pelajaran di rumah dibawah bimbingan ayahnya, Ibnu Rusyd  melanjutkan pendidikannya ke Universitas Cordova. Dengan mengantongi ijazah dari Universitas Cordova. Ia menjadi seorang sarjana yang sungguh-sungguh matang pendidikan agamanya, juga pelajaran ilmu-ilmu umumnya.
Ia dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia ke seluruh negeri-negeri Eropa, yang pada akhirnya menjadi pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat. Tahafut adalah reaksi atas buku al-Ghazali Tahaful al-Falasifah. Dalam bukunya itu, Ibnu Rusyd membela kembali pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali.[9]
Di dunia Islam, filsafat Ibnu Rusyd tidak berpengaruh besar. Oleh sebab itu namanya tidak seharum nama al-Ghazali. Malah, karena isi filsafatnya yang diangap sangat bertentangan dengan pelajaran agama Islam yang umum. Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Kendati demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat ditemukan adalah sebagai berikut:
1.    Faslu al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal (berisikan tentang kolerasi antar agama dan filsafat).
2.    Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millat (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara filsafat dengan syariat.
3.     Tahafut al-Tahafut (berisikan kritikan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahaful al-Falasifah).
4.    Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (berisikan perbandingan aliran-aliran dalam bidang fiqih).

Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu pengetahuan sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.[10]
Selanjutnya pada tahun 1182 ia bertugas sebagai dokter khalifah di istana al-Muwahhidin Maroko, menggantikan Ibnu Thufail. Sebagai filosof dan ahli dalam hukum, ia mempunyai pengaruh besar di kalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur. Tetapi sebagai seorang filosof, pengaruhnya di kalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fuqaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, Sebagai akibatnya, ia ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena derah Cordova.[11]
Tindakan kaum ulama dan fuqaha tidak hanya sampai disitu, bahkan membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof  tidak lagi disenangi. Dan buku-bukunya tentang filsafat dibakar. Pada saat itu Ibnu Rusyd di pindahkan ke Maraques Maroko, tetapi tidak lama setelah itu ia wafat di kota tersebut dalam usia 72 pada bulan Desember tahun 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan dipekuburan keluarganya.[12] Kematian Ibnu Rusyd adalah kehilangan yang sangat besar bagi kerajaan dan umat Islam di Spanyol.
Dalam dunia Islam sendiri, Ibnu Rusyd lebih terkenal sebagai seorang filosof yang menentang al-Ghazali. Bukunya yang khusus menentang filsafat al-Ghazali Tahafut al-Tahaful adalah reaksi atas  buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah.

C.  Pemikiran dan Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali
1.    Pemikiran Ibnu Rusyd
Pemikiran Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan filsafat) yang terbentang hampir di setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an sebagai kitab teks yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu interpretasi kontekstual. Oleh karena itu, ia mempunyai pendapat sendiri tentang beberapa masalah filsafat, antara lain:
a.    Kemampuan manusia dalam mencari kebenaran. Ibnu Rusyd membagi kecerdasan manusia dalam tiga bagian:[13]
1)   Golongan manusia yang memahami dalil Burhani (al-Burhaniyyun), yaitu suatu qiyas burhani yang bersandar diatas mukaddimah-mukaddimah (premis-premis) yang benar-benar telah teruji kebenarannya dengan menyakinkan. Golongan ini hanyalah golongan filosof saja.
2)   Golongan manusia yang memahami qiyas jadali (Ahlu al-Jidal), yaitu qiyas yang muqaddimahnya berupa ungkapan kalimat yang  belum sampai pada taraf yakin benar. Qiyas macam ini biasanya digunakan dalam perdebatan-perdebatan para mutakallimin (teolog) dan ahli fikih.
3)   Golongan yang pemakai qiyas Khitabi (al-Khitabiyyun), yaitu qiyas yang seringkali dipakai dalam pidato yang kadang-kadang sama sekali salah apabila direnungkan sebab hanya menggunakan perasaan dan emosi belaka. Qiyas macam ini biasanya dipakai dan lebih mudah diterima oleh kaum awam.

Golongan yang pertama adalah minoritas di antara manusia, itulah filosof yang memiliki ilmu yang tinggi yang dapat secara menyakinkan mengantar manusia ke arah keyakinan sedalam-dalamnya tentang kebenaran. Sedang golongan terakhir (awam) adalah mayoritas diantara manusia.
Selain itu, Ibnu Rusyd juga dihargai karena pemikirannya yang dikenal sebagai”Teori Dua Kebenaran”[14], hal ini mengandung pengertian bahwa terdapat dua kebenaran dalam ajarannya, yakni sebuah untuk kebenaran filsafat, dan satunya adalah kebenaran agama. Bahkan bagi Ibnu Rusyd, kebenaran yang tertinggi berada pada wahyu dan formulasi teologi.

b.   Dalil tentang adanya Tuhan
Berkaitan dengan penciptaan alam, Ibnu Rusyd yang menganut teori kausalitas (hukum sebab akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd mencari bukti-bukti burhani yang akan sampai kepada keyakinan adanya Tuhan. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yakni :[15]
1)   Dalil Inayah
Yakni mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil-dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal pikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan al-Qur’an.
2)   Dalil Ikhtira’ (keanekaragaman)
Bahwa segala kejadian dan setiap jenis serta macam-macam makhluk di dunia ini terdapat gejala yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Namun semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin tinggi tingkatan sesuatu maka semakin tinggi pula daya kemampuan serta tugasnya. Hal ini mendorong manusia untuk menyelidiki rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an antara lain: surah al-Thariq ayat 5-6
̍ÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#yŠ ÇÏÈ
 Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?,Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
ke semua macam ragam yang ada dalam alam semesta ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang ada yang menciptakan dan menganturnya yakni Tuhan.
3)   Dalil Muharrik (penggerak)
Disamping kedua dalil tersebut diatas, yaitu dalil inayah dan dalil ikhtira’, Ibnu Rusyd mengemukakan dalil lain, yaitu dalil gerak atau dalil penggerak pertama.[16] Ini jelas sekali adanya pengaruh dari Aristoteles yaitu ”penggerak pertama”. Al-Muharrik al-Awwal, yang dipandang sebagai penyebab pertama adanya gerak, baik itu gerak perubahan maupun gerak penciptaan. Menurut Ibnu Rusyd, alam ini bergerak secara teratur, terus menerus dengan suatu gerakan abadi. Gerakan ini menunjukkan adanya penggerak, sebab suatu hal yang mustahil bahwa sesuatu bergerak dengan sendirinya. Penggerak itulah yang namanya Tuhan.
c.    Tentang kebebasan manusia dan takdir Tuhan
Manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan mampu pula menciptakan perbuatannya. Namun demikian, tidak seluruh kehendaknya bisa dilakukannya, karena adanya faktor lain yang bisa membantu ataupun menanggalkan kehendaknya di dalam usahanya. Faktor lain ini merupakan kadar Tuhan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang alam yaitu sunnatullah yang merupakan “hukum sebab musabab” (kausalitas) yang berlaku terus menerus tanpa henti, baik terhadap manusia maupun terhadap alam semesta ini.
Faham ini seolah-olah bermakna bahwa kebebasan manusia ini dibatasi dengan adanya hukum alam yang langsung diciptakan oleh Tuhan. Sehingga Tuhan seperti tidak langsung mengawasi segala tingkah laku dan kegiatan alam semesta ini.
Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa filsafat dengan para filosofnya bisa sampai kepada pemahaman dan mengenal maksud-maksud agama yang hakiki. Filsafat adalah penyempurnaan agama dan bukan sebaliknya. Maka apabila ada orang yang mengkafirkan filosof dan menentang filsafat sebagaimana dilakukan al-Ghazali, maka hanyalah salah faham saja, yang menilai pemikiran-pemikiran filsafat dari kecamata ilmu kalam (teologi). Oleh sebab itu, bagi para filosof yang mengenal ilmu burhani yang dapat mencari makna yang hakiki, tidak boleh memegangi ayat dengan dhahirnya saja. Namun apabila ternyata manqul (nash) bertentangan dengan ma’ql (akal) maka ayat itu harus dita’wilkan agar dapat diterima akal.[17]

2.    Ibnu Rusyd dalam Membela Filsafat dan Mengkritik Al-Ghazali
Dalam upaya pembelaan terhadap filsafat dan para filosof muslim dari serangan ulama terutama al-Ghazali  yang mengatakan bahwa “filsafat musuh agama” , maka Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara islam (agama) dengan filsafat tidak ada pertentangan[18].Tugas filsafat tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ketika al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat dapat menjadikan orang berbuat bid’ah dan kufur, maka berdasarkan hukum Islam harus dihukum mati, tetapi Ibnu Rusyd berpendapat bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, bahkan orang Islam diwajibkan atau paling tidak dianjurkan untuk mempelajarinya (wajib atau sunnah).
 Pemikiran Ibnu Rusyd itu dilandasi dengan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, bahwa tanda-tanda bagi orang yang berfikir sering diungkapkan dalam ayat al-Qur’an dengan kata-kata, apakah mereka tidak merenung, apakah mereka tidak melihat, perhatikanlah, dan lain sebagainya yang menyuruh manusia supaya berfikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa setiap muslim mesti percaya pada tiga dasar keagamaan, yaitu: adanya Tuhan, adanya Rasul, adanya Pembangkitan. Hanya orang yang tidak percaya pada salah satu dari ke tiga dasar inilah yang boleh dicap orang kafir.[19]pernyataan ini dapat dijadikan indikasi bahwa ia tidak pernah meninggalkan wahyu. Lebih lanjut lagi, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa setiap Nabi adalah filosof, tetapi tidak semua filosof adalah Nabi, filosof  adalah pewaris Nabi.[20] Pernyataan ini berarti peringkat filosof  di bawah peringkat Nabi dan kesempurnaan filosof  tentu tidak mungkin sama dengan kesempurnaan Nabi. Posisi filosof sebagai pewaris Nabi dapat diartikan bahwa ia harus mengikuti ketentuan yang sudah digariskan Nabi.
Dalam mengkritik al-Ghazali, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, segala-galanya dalam alam ini berlaku menurut hukum alam, yaitu menurut sebab musabab atau causality. al-Ghazali sendiri tidak percaya  pada adanya hubungan kausalitas antara sebab musabab. Api membakar bukan karena api mempunyai sifat membakar, tetapi karena kehendak mutlak Tuhan supaya api membakar. Kalau Tuhan tidak menghendaki supaya api membakar, api tidak akan membakar. Ibnu Rusyd, sebaliknya berpendapat bahwa segala-galanya di alam ini berlaku menurut  peraturan-peraturan yang tertentu lagi sempurna, menurut sebab musabab. Kalau api sifatnya membakar, maka mesti selama-lamanya membakar dan bukan hanya terkadang; maka itu mesti ada sebabnya.
Serangan al-Ghazali yang menyatakan filsafat bid’ah bahkan mengkafirkan para filosof, dalam tiga persoalan yakni:
1.    Tentang kadimnya alam
Pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creato ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, beararti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian, Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan al-Ghazali dalam kitabnya Taha fut al-Falasifah.[21] Kadimnya alam, dimana alam ini selalu ada bersama-sama wujudnya Tuhan, tanpa ada perselangan waktu sedikitpun antara wujudnya dengan wujud Tuhan. Seperti antara matahari dan sinarnya.[22]
Menurut Ibnu Rusyd, pendapat kaum teolog ini tidak mempunyai dasar syari’ah yang kuat. Tidak ada ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya sendiri, kemudian dijadikan alam. Ini hanyalah merupakan pendapat dan interpretasi kaum teolog.[23]
Tentang kadimnya alam, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filosof meyakini alam ini kadim, kadim yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma huwa fi hudus da’im), maksudnya tidak mempunyai permulaan dalam waktu.[24]
Pendapat Ibnu Rusyd didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu yang telah ada, seperti ayat dalam surah Hud ayat 7.

uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& šc%Ÿ2ur ¼çmä©ötã n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uŠÏ9 öNä3ƒr& ß`|¡ômr& WxyJtã 3 úÈõs9ur |Mù=è% Nä3¯RÎ) šcqèOqãèö6¨B .`ÏB Ï÷èt/ ÏNöqyJø9$# £`s9qà)us9 tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿŸ2 ÷bÎ) !#x»yd žwÎ) ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÐÈ

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
dan surah al-Anbiya’ ayat 30.[25]

óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
Dari ayat-ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain yang berupa air dan uap. Dengan kata lain bumi dan langit dijadikan dari uap dan air, bukan dijadikan dari tiada.
Alam bersifat kekal, sebagaimana yang disimpulkan dari al-Qur’an surah Ibrahim ayat 47-48,
Ÿxsù ¨ûtù|¡øtrB ©!$# y#Î=øƒèC ¾ÍnÏôãur ÿ¼ã&s#ßâ 3 ¨bÎ) ©!$# ÖƒÍtã rèŒ 5Q$s)ÏFR$# ÇÍÐÈ tPöqtƒ ãA£t7è? ÞÚöF{$# uŽöxî ÇÚöF{$# ßNºuq»yJ¡¡9$#ur ( (#rãtt/ur ¬! ÏÏnºuqø9$# Í$£gs)ø9$# ÇÍÑÈ
Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
 Bahwa bumi dan langit akan ditukar dengan bumi dan langit lain, dipertegas oleh Ibnu Rusyd bahwa ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus, artinya alam adalah kekal.
2.    Tentang Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham karena kaum filosof tidak pernah mengatakan demikian. Yang dikatakan oleh filosof ialah, bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.[26]
Pengetahan manusia dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya, pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat kadi}m yaitu semenjak azali, Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya.
Dalam hal ini, Tuhan mengetahui segala sesuatu tetapi dangan cara yang berbeda dengan manusia. Mengetahui yang mana pada mulanya manusia tidak memiliki pengetahuan, tetapi secara berangsur-ansur, ia memperoleh pengetahuan melalui pengamatan alam semesta.


3.    Tidak ada kebangkitan jasmani
Menurut Ibnu Rusyd, sanggahan al-Ghazali terhadap para filosof muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian.[27] Yang dimaksud oleh filosof adalah tidak adanya pembangkitan jasmani, pandangan ini berangkat dari filsafat mereka tentang jiwa karena yang penting bagi manusia itu adalah jiwanya, bukan jasmaninya.
Diakhirat hanya ada kesenangan jiwa, sehingga jasmani tidak dapat dibangkitkan, walaupun begitu, filosof tidak mengingkari adanya ayat-ayat yang menggambarkan kesenangan jasmani di akhirat. Bagi mereka, ayat-ayat itu adalah konsumsi orang awam. Sebenarnya, kata Ibnu Rusyd, al-Ghazali juga menyakini bahwa pembangkitan itu hanya bersifat rohaniah.[28]
Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi terhadap bentuknya. Namun yang jelas, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai hadits Nabi:
“Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”. Dan ucapan Ibnu Abbas ” Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduaniaan kecuali nama saja”.[29] Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada hidup di dunia.
Namun demikian, menurut Harun Nasution, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.[30]

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian-uaraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan antara lain:
1.      Ibnu Rusyd adalah seorang filosof yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dan sangat berpengaruh dilingkungan istana pada masa pemerintahan Sultan Abu Yusuf  Ya’kub al-Mansur.
2.      Ibnu Ruysd dikenal di dunia Barat sebagai komentator Aristoteles, juga dikenal sebagai orang yang membela filsafat dari serangan-serangan kaum teolog, terutama al-Ghazali. Ibnu Ruysd menganggap bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama. Oleh sebab itu filsafat Ibnu Rusyd merupakan produk era keemasan filosof yang akhirnya dijadikan simbol produk rasionalis Islam.
3.      Ibnu Rusyd dikenal di dunia Barat dengan nama “Averrois” dan Averroisme melahirkan gerakan Renaissans pada abad pertengahan yang mengguncangkan sendi-sendi kepercayaan Kristen. Bahkan Averroisme berkembang dengan pesat sehingga menimbulkan revolusi pemikiran yang sangat hebat dan mempengaruhi abad dibelakangnnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik,…(et al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 1, Akar dan Awal; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van  Hoeve, 2002.
Al-Jauhari, Imam Khanafi. Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global,Cet. I; Yogyakarta:ITTAQA Press, 1999.
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (AVERROES) Filosof Islam Terbesar di Barat, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ahwany, Ahmad Fuad. A History of Muslim Philosophy, suntingan M. M Syarif (Ed) dengan judul Para Filosof Muslim. Cet. III; Bandung: Mizan, 1999.
Amin, Husain Ahmad, Mi’ah al-A’zam fi Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh, Bahruddin Fanni, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Cet. III; Kairo: Maktabah Madbouli,1999.
Glasse, GYric. Ensiklopedi islam, Ringkas, Cet. II, Jilid. 2: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Hanafi, Ahmad. Pengantar filsafat Islam, Cet. VI; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahaful, Sulaiman Dunya. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1964.
Ibrahim, Syauqi. Al-Falsafah Al-Islamiyyah. Kairo: Matbaah Jamiah al-Azhar, 2006.
Kandu, Amirullah. Ensiklopedi Dunia Islam. Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Mu’thi, Usman Abdul Allam, Muhadarat Falsafiyyah. Kairo: Matbaah Jamiah al-Azhar, 2000.
Nasution, Hasyimansyah. Filsafat Islam. Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Peoradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern. Jakarta: Giramukti Pestaka, 1981.
Redaksi, Dewan Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet. III, Jilid 2: Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Qasim, Mahmud. Al-Kaysf an’Manahij al-Adillah li Ibni Rusyd. Cet. II; Kairo: Anglo al-Misriyyah, 1964.
Sudarsono, Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Zur, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.





[1] Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008), hal. 12-13.
[2] Dr. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press, 1986), hal. 314.
[3]Imam Khanafi> al-Jauhari>, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global (Cet.I; Jogyakarta: ITTAQA Press, 1999), h. 100.
2Ibid, h. 53.
[4]Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Ruysd (EVERROUS) Filosof Islam Terbesar di Barat (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 6. Lihat juga, Amirullah Kandu, Ensiklopedi Dunia Islam. ( Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010),  h. 642.
[5]Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Sulaiman Dunya (Cairo: Dar el-Ma’arif, 1964), h. 9. Lihat juga Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h. 93
[6]Zainal Abidin Ahmad, op. cit., h. 26.
[7]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 221. Lihat juga, Taufik Abdullah,…(et al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ( Jilid. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002), h. 241.
[8]Usma>n Abdul Mu’thi Alla>m, Muha>dara>t Falsafiyyah (Kairo: Matbaah Ja>miah al-Azha>r, 2000), h. 197.
[9]Sudarsono, op. cit., h. 94.
[10]Usman Abdul Mu’thi Alla>m, op. cit,. h. 197. Lihat juga Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 113.
[11]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 47.
[12]Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 114.
[13]Syauqi Ibrahi m, Al-Falsafah Al-Islamiyyah (Kairo: Matbaah Jamiah al_Azhar, 2006), h. 156.
[14]GYril Glasse, Ensiklopedi Islam, Ringkas (Cet. II; PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 154.
[15]Ibnu Rusyd, Taha>fut al-Taha>fut, h. 29. Lihat juga Mahmu>d Qa>sim, Al-Kaysfu an’ Mana>hij al-Adillah li Ibni Ru>syd (Cet. II; Kairo: Anglo al-Misriyyah, 1964), h. 150.
[16]Ahmad Hanafi, op. cit., h. 172.
[17]Ahmad Fuad el- Ahwany, A History Of Muslim Philosofhy, Suntingan M. M Syarif dengan Judul: Para Filosof Muslim (Cet. III, Bandung: Mizan, 1999),h. 204.
[18]Taufik Abdullah,…(et al.)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ( Jilid. 4; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002), h. 210.
[19]Harun Nasution, op. cit., h. 48.
[20]Ibnu Rusyd, Taha>fut, op. cit., h. 869.
[21]Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 120.
[22]Ahmad Hanafi, Antara  Imam Al-Ghazali dengan Imam Ibnu Rusyd dalam Tiga Persoalan Alam Metafisika (Edisi. I; Jakarta: Pustaka Husna, 1981), h. 17.
[23]Harun Nasution, op. cit.
[24]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Cet. III, Jilid. 2; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 165. 
[25]Syauqi Ibrahi}m, op.cit., h. 121.
[26]Ibid., h. 189. Lihat juga, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 166.
[27]Ibnu Rusyd, op. cit., h. 864.
[28]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 166.
[29]Ibid., h. 866.
[30]Harun Nasution, op. cit., h. 47.

1 komentar: