KONSEP PENCIPTAAN ALAM MENURUT FILOSOF
Oleh :
Ahmad Damiri
PENDAHULUAN
Filsafat
dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase pertama yang dilakukan
ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab secara sistematis terjadi
pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M).[1]
Pada fase ketiga muncullah filsuf-filsuf seperti
berikut ini :
1) Al-Kindi (801-873 Masehi) dengan teori
perdamaiannya antara wahyu dan akal dan antara agama dan filsafat.
2) Al-Farabi (870-950 Masehi) dengan teori
penciptaan alam oleh Tuhan melalui emanasi dan teori kenabiannya.
3) Ibnu Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh
yang perlu bersatu dengan tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
4) Al-Ghazali (1058-1111 Masehi) dengan kritik
pedasnya terhadap kaum filsuf seperti diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
5) Ibnu Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan
filsafat akhlaknya.
6) Ibnu Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya
bahwa manusia dengan menyendiri dan meditasi dapat sampai pada kebenaran
seperti dijelaskan dalam buku Tadbir al-Mutawahhid.
7)
Ibnu
Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan teori Ibnu Bajjah
dalam Hayy bin Yaqzhan.
8) Ibnu Rusyd (1126 – 1198 Masehi) dengan
pembelaannya terhadap kaum filsuf dengan membawa argumen-argumen Al-Qur’an
seperti diuraikan dalam Tahafut al-Tahafut.[2]
Keberadaan filsafat dalam khasanah pemikiran
Islam tidak dapat dipungkiri dan diragukan lagi. Semenjak dunia Islam
bersentuhan dengan ilmu pengetahuan Yunani, pemikiran filsafat tumbuh subur dan
mengalami perkembangan yang cukup kreatif dan signifikan.[3]
Periode renaisans modern dalam Islam ditandai
dengan munculnya perjuangan-perjuangan politis untuk melepaskan diri dari
dominasi asing dalam kehidupan maupun pemikiran. Para filosof pada masa ini
bukanlah sekedar filosof, melainkan juga pemimpin politik, pembaharu sosial dan
eksekutif. Tidak sampai seperempat abad meninggalnya ahli sufi, Imam al-Ghazali
505 H/1111 M. lahirlah pula sarjana politik yang ke empat yaitu Ibnu Rusyd pada
tahun 520 H/1126 M.[4]
Ibnu Rusyd di dalam kehidupannya telah membuktikan sifat demokrasi Islam yang
seluas-luasnya dan sifat internasionalitas yang tidak membedakan antara
bangsa-bangsa.
Dalam
sejarah filsafat Islam, al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang gencar mengecam
filosof, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, murid dan komentator Aristoteles.
Sementara masalah-masalah kefilsafatan yang menjadi sasaran kritikan beliau
terbatas pada hal-hal yang dianggapnya membahayakan umat Islam.
Dalam
kritiknya, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa al-Ghazali terlalu memperlakukan Allah
seperti purnamanusia. Tentu saja, al-Ghazali akan menolak konsep seperti itu
sebagai konsepnya. Hanya bantahan Ibnu Rusyd tidak tertuju pada konsep itu
sebagai konsep al-Ghazali, tetapi buntut tak terelakkan dari penjelasan al-Ghazali
mengenai sifat bertindak dan mengetahui Allah.
Adapun
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tentang Konsep Penciptaan alam
menurut Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali
PEMBAHASAN
A. Al-Ghazali dan pemikirannya
Al-Ghazali merupakan tokoh penentang dan penyanggah
falsafa (filsafat Islam) yang paling brilian. Oliver Leaman dalam Pengantar
Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan
dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya
secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak
benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the
philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh
pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya
menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni
Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka
tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih
berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini,
Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang
berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam
ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti
yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka,
dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik.
Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh
Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”.
Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari
Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali
dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh
keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial.
Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep
yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf
Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim,
yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir
sebaliknya.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim,
mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham
qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya,
tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran
yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit,
bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini
berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan
menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para
filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka
sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru
karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada
sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta,
kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan
berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu
mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta,
kemudian mencipta.
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap
paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan
dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan
bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam
Alquran.
Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS
11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan
Tuhan bukanlah dari tiada (al-'adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah
(Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia
mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada
pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam
pengantarnya tentang "Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya", dalam
Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan
secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang
kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan
petunjuk mengenai `ketersingkapan tabirsufistik' (al-kasyf ash-Shufiyyah).
Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama
pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
B. Riwayat
Hidup Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam yang
cukup masyhur. Ia adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd,
kelahiran Cordova tahun 520 H/1126 M.[5]
Ia lahir sekitar 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazali. Ia lebih popular dengan
sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.
Keluarganya mempunyai kedudukan yang tinggi di
mata masyarakat Andalusia, bahkan umumnya terdiri dari orang-orang besar yang
terkenal di dalam dunia pengetahuan.[6]
Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim di Andalusia dan ia sendiri pada tahun
565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Sevilla dan Cordova. Karena
prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan
menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[7]
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang
besar sekali perhatiannnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu
faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi Ilmuan. Faktor lain bagi
keberhasilannya adalah ketajaman berfikir dan kejeniusan otaknya. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas
keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang mampu menguasai berbagai
disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedoktran, astronomi, sastra arab dan
lainnya.
Semenjak muda, Ibnu Rusyd tekun dan giat
belajar mendalami ilmu-ilmu pengetahuan dengan ayahnya. Setelah menguasai
dengan baik ilmu fiqih, ilmu kalam, sastra arab, ia menekuni pula matematika,
fisika, astronomi, kedokteran, logika dan filsafat. Ia berhasil menjadi ulama
atau filosof yang sulit ditandingi.[8]
Setelah menyelesaikan pelajaran di rumah dibawah
bimbingan ayahnya, Ibnu Rusyd
melanjutkan pendidikannya ke Universitas Cordova. Dengan mengantongi
ijazah dari Universitas Cordova. Ia menjadi seorang sarjana yang
sungguh-sungguh matang pendidikan agamanya, juga pelajaran ilmu-ilmu umumnya.
Ia dipandang sebagai pemikir yang sangat
menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya.
Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta
pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya
merembes dari Andalusia ke seluruh negeri-negeri Eropa, yang pada akhirnya
menjadi pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat. Tahafut adalah
reaksi atas buku al-Ghazali Tahaful al-Falasifah. Dalam bukunya itu, Ibnu
Rusyd membela kembali pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan Islam yang
telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali.[9]
Di dunia Islam, filsafat Ibnu Rusyd tidak
berpengaruh besar. Oleh sebab itu namanya tidak seharum nama al-Ghazali. Malah,
karena isi filsafatnya yang diangap sangat bertentangan dengan pelajaran agama
Islam yang umum. Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Kendati demikian, sampai
hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat ditemukan adalah sebagai
berikut:
1. Faslu
al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal
(berisikan tentang kolerasi antar agama dan filsafat).
2. Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millat (ilmu
kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara
filsafat dengan syariat.
3. Tahafut al-Tahafut
(berisikan kritikan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahaful al-Falasifah).
4. Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (berisikan perbandingan aliran-aliran dalam
bidang fiqih).
Ibnu
Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat
Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu pengetahuan sukar dicari bandingannya,
karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya tidak pernah terputus membaca
dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan
dirinya.[10]
Selanjutnya
pada tahun 1182 ia bertugas sebagai dokter khalifah di istana al-Muwahhidin Maroko,
menggantikan Ibnu Thufail. Sebagai filosof dan ahli dalam hukum, ia mempunyai
pengaruh besar di kalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’kub
al-Mansur. Tetapi sebagai seorang filosof, pengaruhnya di kalangan istana tidak
disenangi oleh kaum ulama dan fuqaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, Sebagai akibatnya, ia ditangkap dan
diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena derah Cordova.[11]
Tindakan kaum ulama dan fuqaha tidak hanya
sampai disitu, bahkan membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak lagi disenangi. Dan buku-bukunya
tentang filsafat dibakar. Pada saat itu Ibnu Rusyd di pindahkan ke Maraques
Maroko, tetapi tidak lama setelah itu ia wafat di kota tersebut dalam usia 72
pada bulan Desember tahun 1198 M. Setelah tiga bulan berlalu jenazahnya
dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan dipekuburan keluarganya.[12]
Kematian Ibnu Rusyd adalah kehilangan yang sangat besar bagi kerajaan dan umat
Islam di Spanyol.
Dalam dunia Islam sendiri, Ibnu Rusyd lebih
terkenal sebagai seorang filosof yang menentang al-Ghazali. Bukunya yang khusus
menentang filsafat al-Ghazali Tahafut al-Tahaful adalah reaksi atas buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah.
C. Pemikiran
dan Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali
1.
Pemikiran Ibnu Rusyd
Pemikiran
Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan
filsafat) yang terbentang hampir di setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat
dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan
al-Qur’an sebagai kitab teks yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu
interpretasi kontekstual. Oleh karena itu, ia mempunyai pendapat sendiri
tentang beberapa masalah filsafat, antara lain:
a.
Kemampuan manusia dalam mencari kebenaran. Ibnu
Rusyd membagi kecerdasan manusia dalam tiga bagian:[13]
1)
Golongan manusia yang memahami dalil Burhani
(al-Burhaniyyun), yaitu suatu qiyas burhani yang bersandar diatas
mukaddimah-mukaddimah (premis-premis) yang benar-benar telah teruji
kebenarannya dengan menyakinkan. Golongan ini hanyalah golongan filosof saja.
2)
Golongan manusia yang memahami qiyas jadali
(Ahlu al-Jidal), yaitu qiyas yang muqaddimahnya berupa ungkapan kalimat
yang belum sampai pada taraf yakin
benar. Qiyas macam ini biasanya digunakan dalam perdebatan-perdebatan para
mutakallimin (teolog) dan ahli fikih.
3)
Golongan yang pemakai qiyas Khitabi
(al-Khitabiyyun), yaitu qiyas yang seringkali dipakai dalam pidato yang
kadang-kadang sama sekali salah apabila direnungkan sebab hanya menggunakan
perasaan dan emosi belaka. Qiyas macam ini biasanya dipakai dan lebih mudah
diterima oleh kaum awam.
Golongan yang pertama adalah minoritas di
antara manusia, itulah filosof yang memiliki ilmu yang tinggi yang dapat secara
menyakinkan mengantar manusia ke arah keyakinan sedalam-dalamnya tentang
kebenaran. Sedang golongan terakhir (awam) adalah mayoritas diantara manusia.
Selain itu, Ibnu Rusyd juga dihargai karena
pemikirannya yang dikenal sebagai”Teori Dua Kebenaran”[14],
hal ini mengandung pengertian bahwa terdapat dua kebenaran dalam ajarannya,
yakni sebuah untuk kebenaran filsafat, dan satunya adalah kebenaran agama.
Bahkan bagi Ibnu Rusyd, kebenaran yang tertinggi berada pada wahyu dan formulasi
teologi.
b.
Dalil tentang adanya Tuhan
Berkaitan
dengan penciptaan alam, Ibnu Rusyd yang menganut teori kausalitas (hukum sebab
akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar
dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd mencari bukti-bukti burhani yang
akan sampai kepada keyakinan adanya Tuhan. Dalam hal ini Ibnu Rusyd
mengemukakan tiga dalil yakni :[15]
1)
Dalil Inayah
Yakni mengemukakan bahwa alam dan seluruh
kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan,
semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan
atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil-dalil ini mendorong orang untuk melakukan
penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal
pikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai
dengan ketentuan al-Qur’an.
2)
Dalil Ikhtira’ (keanekaragaman)
Bahwa segala kejadian dan setiap jenis serta
macam-macam makhluk di dunia ini terdapat gejala yang berbeda-beda satu dengan
yang lainnya. Namun semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin tinggi
tingkatan sesuatu maka semakin tinggi pula daya kemampuan serta tugasnya. Hal ini
mendorong manusia untuk menyelidiki rahasia-rahasia yang terkandung di
dalamnya. Sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an antara lain: surah al-Thariq
ayat 5-6
ÌÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#y ÇÏÈ
“Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?,Dia diciptakan dari air yang dipancarkan”,
ke semua macam ragam yang ada dalam alam
semesta ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang ada yang
menciptakan dan menganturnya yakni Tuhan.
3)
Dalil Muharrik (penggerak)
Disamping kedua dalil tersebut diatas, yaitu
dalil inayah dan dalil ikhtira’, Ibnu Rusyd mengemukakan dalil lain, yaitu
dalil gerak atau dalil penggerak pertama.[16]
Ini jelas sekali adanya pengaruh dari Aristoteles yaitu ”penggerak pertama”. Al-Muharrik
al-Awwal, yang dipandang sebagai penyebab pertama adanya gerak, baik itu
gerak perubahan maupun gerak penciptaan. Menurut Ibnu Rusyd, alam ini bergerak
secara teratur, terus menerus dengan suatu gerakan abadi. Gerakan ini
menunjukkan adanya penggerak, sebab suatu hal yang mustahil bahwa sesuatu
bergerak dengan sendirinya. Penggerak itulah yang namanya Tuhan.
c.
Tentang kebebasan manusia dan takdir Tuhan
Manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan
mampu pula menciptakan perbuatannya. Namun demikian, tidak seluruh kehendaknya
bisa dilakukannya, karena adanya faktor lain yang bisa membantu ataupun
menanggalkan kehendaknya di dalam usahanya. Faktor lain ini merupakan kadar
Tuhan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang alam yaitu sunnatullah yang merupakan
“hukum sebab musabab” (kausalitas) yang berlaku terus menerus tanpa henti, baik
terhadap manusia maupun terhadap alam semesta ini.
Faham ini seolah-olah bermakna bahwa kebebasan
manusia ini dibatasi dengan adanya hukum alam yang langsung diciptakan oleh
Tuhan. Sehingga Tuhan seperti tidak langsung mengawasi segala tingkah laku dan
kegiatan alam semesta ini.
Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa
filsafat dengan para filosofnya bisa sampai kepada pemahaman dan mengenal
maksud-maksud agama yang hakiki. Filsafat adalah penyempurnaan agama dan bukan
sebaliknya. Maka apabila ada orang yang mengkafirkan filosof dan menentang
filsafat sebagaimana dilakukan al-Ghazali, maka hanyalah salah faham saja, yang
menilai pemikiran-pemikiran filsafat dari kecamata ilmu kalam (teologi). Oleh
sebab itu, bagi para filosof yang mengenal ilmu burhani yang dapat
mencari makna yang hakiki, tidak boleh memegangi ayat dengan dhahirnya saja.
Namun apabila ternyata manqul (nash) bertentangan dengan ma’ql
(akal) maka ayat itu harus dita’wilkan agar dapat diterima akal.[17]
2.
Ibnu Rusyd dalam Membela Filsafat dan
Mengkritik Al-Ghazali
Dalam upaya pembelaan terhadap filsafat dan
para filosof muslim dari serangan ulama terutama al-Ghazali yang mengatakan bahwa “filsafat musuh agama”
, maka Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara islam (agama) dengan
filsafat tidak ada pertentangan[18].Tugas
filsafat tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta
segala yang ada ini. Ketika al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat dapat
menjadikan orang berbuat bid’ah dan kufur, maka berdasarkan hukum Islam harus
dihukum mati, tetapi Ibnu Rusyd berpendapat bahwa filsafat tidaklah
bertentangan dengan Islam, bahkan orang Islam diwajibkan atau paling tidak
dianjurkan untuk mempelajarinya (wajib atau sunnah).
Pemikiran Ibnu Rusyd itu dilandasi dengan
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, bahwa tanda-tanda bagi orang yang
berfikir sering diungkapkan dalam ayat al-Qur’an dengan kata-kata, apakah
mereka tidak merenung, apakah mereka tidak melihat, perhatikanlah, dan lain
sebagainya yang menyuruh manusia supaya berfikir tentang wujud dan alam
sekitarnya untuk mengetahui Tuhan.
Ibnu
Rusyd menjelaskan bahwa setiap muslim mesti percaya pada tiga dasar keagamaan,
yaitu: adanya Tuhan, adanya Rasul, adanya Pembangkitan. Hanya orang yang tidak
percaya pada salah satu dari ke tiga dasar inilah yang boleh dicap orang kafir.[19]pernyataan
ini dapat dijadikan indikasi bahwa ia tidak pernah meninggalkan wahyu. Lebih
lanjut lagi, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa setiap Nabi adalah filosof, tetapi
tidak semua filosof adalah Nabi, filosof
adalah pewaris Nabi.[20]
Pernyataan ini berarti peringkat filosof
di bawah peringkat Nabi dan kesempurnaan filosof tentu tidak mungkin sama dengan kesempurnaan
Nabi. Posisi filosof sebagai pewaris Nabi dapat diartikan bahwa ia harus
mengikuti ketentuan yang sudah digariskan Nabi.
Dalam
mengkritik al-Ghazali, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam,
segala-galanya dalam alam ini berlaku menurut hukum alam, yaitu menurut sebab
musabab atau causality. al-Ghazali
sendiri tidak percaya pada adanya
hubungan kausalitas antara sebab musabab. Api membakar bukan karena api
mempunyai sifat membakar, tetapi karena kehendak mutlak Tuhan supaya api
membakar. Kalau Tuhan tidak menghendaki supaya api membakar, api tidak akan
membakar. Ibnu Rusyd, sebaliknya berpendapat bahwa segala-galanya di alam ini
berlaku menurut peraturan-peraturan yang
tertentu lagi sempurna, menurut sebab musabab. Kalau api sifatnya membakar,
maka mesti selama-lamanya membakar dan bukan hanya terkadang; maka itu mesti
ada sebabnya.
Serangan al-Ghazali yang menyatakan filsafat
bid’ah bahkan mengkafirkan para filosof, dalam tiga persoalan yakni:
1.
Tentang kadimnya alam
Pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam
arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, sebab menurut
konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah
mengadakan sesuatu dari tiada (creato ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak
bermula, beararti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian, Tuhan bukanlah
pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan al-Ghazali
dalam kitabnya Taha fut
al-Falasifah.[21]
Kadimnya alam, dimana alam ini selalu ada bersama-sama wujudnya Tuhan, tanpa
ada perselangan waktu sedikitpun antara wujudnya dengan wujud Tuhan. Seperti
antara matahari dan sinarnya.[22]
Menurut Ibnu Rusyd, pendapat kaum teolog ini
tidak mempunyai dasar syari’ah yang kuat. Tidak ada ayat yang menyatakan bahwa
Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya
sendiri, kemudian dijadikan alam. Ini hanyalah merupakan pendapat dan
interpretasi kaum teolog.[23]
Tentang kadimnya alam, Ibnu Rusyd menyatakan
bahwa para filosof meyakini alam ini kadim, kadim yang dimaksudkan di sini
adalah sesuatu yang dalam kejadian terus-menerus (ma huwa fi hudus da’im), maksudnya tidak mempunyai permulaan dalam
waktu.[24]
Pendapat Ibnu Rusyd didukung oleh beberapa ayat
al-Qur’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu yang telah
ada, seperti ayat dalam surah Hud ayat 7.
uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& c%2ur ¼çmä©ötã n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uÏ9 öNä3r& ß`|¡ômr& WxyJtã 3
úÈõs9ur |Mù=è% Nä3¯RÎ) cqèOqãèö6¨B .`ÏB Ï÷èt/ ÏNöqyJø9$# £`s9qà)us9 tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿ2 ÷bÎ) !#x»yd wÎ) ÖósÅ ×ûüÎ7B ÇÐÈ
“Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah):
"Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya
orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir
yang nyata”".
dan surah al-Anbiya’ ayat 30.[25]
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù (
$oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr (
xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
“Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya.
dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman?”
Dari ayat-ayat itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain yang berupa air
dan uap. Dengan kata lain bumi dan langit dijadikan dari uap dan air, bukan
dijadikan dari tiada.
Alam bersifat kekal, sebagaimana yang
disimpulkan dari al-Qur’an surah Ibrahim ayat 47-48,
xsù ¨ûtù|¡øtrB ©!$# y#Î=øèC ¾ÍnÏôãur ÿ¼ã&s#ßâ 3
¨bÎ) ©!$# ÖÍtã rè 5Q$s)ÏFR$# ÇÍÐÈ tPöqt ãA£t7è? ÞÚöF{$# uöxî ÇÚöF{$# ßNºuq»yJ¡¡9$#ur (
(#rãtt/ur ¬! ÏÏnºuqø9$# Í$£gs)ø9$# ÇÍÑÈ
“Karena
itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan
bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang
Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.
Bahwa bumi dan langit akan ditukar dengan bumi
dan langit lain, dipertegas oleh Ibnu Rusyd bahwa ini betul diwujudkan, tetapi
diwujudkan terus menerus, artinya alam adalah kekal.
2.
Tentang Tuhan tidak mengetahui perincian yang
ada dalam alam Ibnu
Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham karena kaum filosof tidak pernah
mengatakan demikian. Yang dikatakan oleh filosof ialah, bahwa pengetahuan Tuhan
tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia
tentang perincian itu.[26]
Pengetahan manusia dalam hal ini mengambil
bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi
wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya, pengetahuan manusia bersifat baharu
dan pengetahuan Tuhan bersifat kadi}m yaitu semenjak azali, Tuhan mengetahui
segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya.
Dalam hal ini, Tuhan mengetahui segala sesuatu
tetapi dangan cara yang berbeda dengan manusia. Mengetahui yang mana pada
mulanya manusia tidak memiliki pengetahuan, tetapi secara berangsur-ansur, ia
memperoleh pengetahuan melalui pengamatan alam semesta.
3.
Tidak ada kebangkitan jasmani
Menurut Ibnu
Rusyd, sanggahan al-Ghazali terhadap para filosof muslim, tentang kebangkitan
jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan
demikian.[27]
Yang dimaksud oleh filosof adalah tidak adanya pembangkitan jasmani, pandangan
ini berangkat dari filsafat mereka tentang jiwa karena yang penting bagi
manusia itu adalah jiwanya, bukan jasmaninya.
Diakhirat hanya ada kesenangan jiwa, sehingga
jasmani tidak dapat dibangkitkan, walaupun begitu, filosof tidak mengingkari
adanya ayat-ayat yang menggambarkan kesenangan jasmani di akhirat. Bagi mereka,
ayat-ayat itu adalah konsumsi orang awam. Sebenarnya, kata Ibnu Rusyd, al-Ghazali
juga menyakini bahwa pembangkitan itu hanya bersifat rohaniah.[28]
Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya
hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi terhadap bentuknya.
Namun yang jelas, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia
ini. Hal ini sesuai hadits Nabi:
“Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah
dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam
pikiran”. Dan ucapan Ibnu Abbas ” Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang
bersifat keduaniaan kecuali nama saja”.[29]
Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada hidup di dunia.
Namun demikian, menurut Harun Nasution, Ibnu
Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan
dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam
lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan
menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.[30]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian-uaraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan antara lain:
1. Ibnu
Rusyd adalah seorang filosof yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dan sangat berpengaruh dilingkungan istana pada masa pemerintahan Sultan Abu Yusuf
Ya’kub al-Mansur.
2. Ibnu
Ruysd dikenal di dunia Barat sebagai komentator Aristoteles, juga dikenal sebagai
orang yang membela filsafat dari serangan-serangan kaum teolog, terutama al-Ghazali.
Ibnu Ruysd menganggap bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama. Oleh
sebab itu filsafat Ibnu Rusyd merupakan produk era keemasan filosof yang
akhirnya dijadikan simbol produk rasionalis Islam.
3. Ibnu
Rusyd dikenal di dunia Barat dengan nama “Averrois” dan Averroisme melahirkan
gerakan Renaissans pada abad pertengahan yang mengguncangkan sendi-sendi
kepercayaan Kristen. Bahkan Averroisme berkembang dengan pesat sehingga
menimbulkan revolusi pemikiran yang sangat hebat dan mempengaruhi abad
dibelakangnnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik,…(et al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 1, Akar dan Awal; Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Al-Jauhari,
Imam Khanafi. Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas
Global,Cet. I; Yogyakarta:ITTAQA Press, 1999.
Ahmad,
Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (AVERROES) Filosof Islam
Terbesar di Barat, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Ahwany,
Ahmad Fuad. A History of Muslim Philosophy, suntingan M. M Syarif (Ed)
dengan judul Para Filosof Muslim. Cet. III; Bandung: Mizan, 1999.
Amin,
Husain Ahmad, Mi’ah
al-A’zam fi Tarikh al-Islam, diterjemahkan oleh, Bahruddin Fanni, Seratus
Tokoh Dalam Sejarah Islam. Cet. III; Kairo: Maktabah Madbouli,1999.
Glasse,
GYric. Ensiklopedi islam, Ringkas,
Cet. II, Jilid. 2: Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Hanafi,
Ahmad. Pengantar filsafat Islam, Cet. VI; Jakarta: PT Bulan Bintang,
1996.
Ibnu
Rusyd, Tahafut al-Tahaful, Sulaiman Dunya. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1964.
Ibrahim,
Syauqi. Al-Falsafah Al-Islamiyyah. Kairo: Matbaah Jamiah al-Azhar, 2006.
Kandu,
Amirullah. Ensiklopedi Dunia Islam. Cet.
I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Mu’thi, Usman Abdul Allam, Muhadarat
Falsafiyyah. Kairo: Matbaah Jamiah al-Azhar, 2000.
Nasution,
Hasyimansyah. Filsafat Islam. Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001.
Nasution,
Harun. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Peoradisastra,
Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern. Jakarta: Giramukti
Pestaka, 1981.
Redaksi,
Dewan Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi
Islam. Cet. III, Jilid 2: Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Qasim,
Mahmud. Al-Kaysf an’Manahij
al-Adillah li Ibni Rusyd. Cet. II; Kairo: Anglo al-Misriyyah, 1964.
Sudarsono,
Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Zur,
Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2004.
[2] Dr. Harun Nasution, Teologi
Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI-Press,
1986), hal. 314.
[3]Imam Khanafi> al-Jauhari>, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global
(Cet.I; Jogyakarta: ITTAQA Press, 1999), h. 100.
2Ibid, h. 53.
[4]Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Ruysd
(EVERROUS) Filosof Islam Terbesar di Barat (Cet.I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), h. 6. Lihat juga, Amirullah Kandu, Ensiklopedi Dunia Islam. ( Cet.
I; Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h.
642.
[5]Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Sulaiman Dunya (Cairo: Dar el-Ma’arif, 1964), h. 9. Lihat juga
Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), h.
93
[6]Zainal Abidin Ahmad, op. cit., h. 26.
[7]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet.
I; Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 221. Lihat juga, Taufik Abdullah,…(et
al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
( Jilid. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002), h. 241.
[8]Usma>n Abdul Mu’thi Alla>m, Muha>dara>t Falsafiyyah (Kairo: Matbaah Ja>miah al-Azha>r,
2000), h. 197.
[9]Sudarsono,
op. cit., h. 94.
[10]Usman Abdul Mu’thi Alla>m, op. cit,. h. 197. Lihat juga Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam (cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 113.
[11]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam (Cet. II;
Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 47.
[12]Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 114.
[14]GYril Glasse, Ensiklopedi
Islam, Ringkas (Cet. II; PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 154.
[15]Ibnu Rusyd, Taha>fut al-Taha>fut, h. 29. Lihat juga Mahmu>d Qa>sim, Al-Kaysfu an’ Mana>hij al-Adillah li
Ibni Ru>syd (Cet. II; Kairo: Anglo al-Misriyyah,
1964), h. 150.
[16]Ahmad Hanafi, op. cit., h. 172.
[17]Ahmad Fuad el- Ahwany, A History Of Muslim Philosofhy, Suntingan M. M Syarif
dengan Judul: Para Filosof Muslim (Cet. III, Bandung: Mizan, 1999),h.
204.
[18]Taufik Abdullah,…(et al.)., Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam ( Jilid. 4; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2002),
h. 210.
[19]Harun Nasution, op. cit., h. 48.
[21]Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 120.
[22]Ahmad Hanafi, Antara Imam
Al-Ghazali dengan Imam Ibnu Rusyd dalam Tiga Persoalan Alam Metafisika
(Edisi. I; Jakarta: Pustaka Husna, 1981), h. 17.
[23]Harun Nasution, op. cit.
[24]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam (Cet. III, Jilid. 2; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.
165.
[27]Ibnu Rusyd, op. cit., h. 864.
[28]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.
cit., h. 166.
[30]Harun
Nasution, op. cit., h. 47.
salam kenal :)
BalasHapus