KAIDAH
YANG BERKAITAN DENGAN RUKHSOH DAN AZIMAH
Oleh
Ahmad Damiri
Ahmad Damiri
PENDAHULUAN
Ilmu fiqh yang merupakan panduan
ubudiah para mukallaf selalu berhadapan dengan kondisi dimana seorang mukallaf
berada dan situasi yang dihadapinya, dimana kondisi dan situasi tersebut dapat
mempengaruhi kemampuannya dalam melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajibannya
terutama dalam hal ubudiah.
Ilmu fiqh merupakan hasil dari
pemikiran para ulama tentang pedoman pelaksanaan ubudiyah para mukallaf yang diatur
berdasarkan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang baku yang kita kenal
dengan istilah istimbath hukum.
Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan mereka, istimbath
hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan tertentu yang disebut dengan
ushul fiqh.
Mengenai situasi dan kondisi para mukallaf yang mendapatkan hambatan dalam
melaksanakan kewajiban ubudiyahnya, baik hambatan itu berasal dari dirinya
maupun luar dirinya, ushul fiqh mengatur konsep ketetapan dan keringanan yang
dikenal dengan istilah rukhsoh
dan
Azimah. Makalah ini berusaha memaparkan secara
singkat tentang rukhsoh dan azimah tersebut, tata laksananya menurut
para ulama ushul.
PEMBAHASAN
Bentuk lain dari hukum Wadh’I adalah azimah dan rukhshah.
Dalam hal ini para ulama ushul fikih berbeda pendapat dalam menempatkannya
sebagai hukum wadh’i. Ibn al-Hajib
dan Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa
azimah dan rukhshah termasuk
dalam objek hukum, bukan kepada hukum. Menurut mereka, suatu perbuatan yang
boleh di laksanakan oleh para mukallaf, adakalanya berbentuk azimah dan adakalanya berbentuk rukhshah.
Pendapat kedua dikemukakan oleh imam
al-Gozali, al-Amidi Muhibullah ibn Abdul Syukur dan al-Syathibi, menurut
mereka, azimah dan rukhshah termasuk hukum al-wadh’I, karena pada dasarnya seluruh
hukum itu bersifat azimah dan status
ini tidak berubah menjadi rukhshah
kecuali ada penyebabnya. Penyebab tersebut, menurut mereka, adalah seperti
keadaan darurat untuk membolehkan yang di haramkan, atau ada uzur yang
menyebabkan keringanan dalam meninggalkan yang wajib atau untuk menghilangkan
kesulitan bagi hamba. Demikian azimah
dan rukhshah, lanjut mereka, termasuk
hukum wadh’i.
A.
Rukhshah
Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang diberikan syari’at
bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, rukhshah adalah sebuah formulasi hukum
yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum,
situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai
diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang
melarang. Sebaliknya, jika formulasi hukum syari’at
tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah
adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat umum dan tidak terbatas pada obyek, situasi,
kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum dasar (fundamental) yang
belum mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum
syari’at masih seperti sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan mengalami perubahan bentuk
dengan beberapa syarat tertentu, maka ia dinamakan rukhshah.
Secara Etimologi, Rukhshah berarti Kemudahan, Kelapangan, dan Kemurahan. Sedangkan
kata rukhshah menurut terminologi
adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.
Dalam menjalankan ketetapan Allah,
manusia pada suatu waktu, ada kondisi-kondisi “tidak biasa” yang terkadang
memaksa manusia meninggalkan aturan-aturan tersebut. Keadaan tersebut pun
disahkan Allah sebagaimana dalam firmannya:
“... Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …..”[1]
“…Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... ”[2]
“... Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”[3]
“...Dia telah
memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan….”[4]
“Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”[5]
“…Maka barang
siapa terpaksa[6]
Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Semua ayat-ayat di atas kemudian menjadi
pembenaran bagi seorang muslim untuk melakukan hal-hal haram selama dirinya
memang benar-benar dalam keadaan terjepit (dlarurat)[7].
Pembenaran tersebut datang dari Allah Swt dan menjadi sebuah anugerah yang
harusnya kita syukuri keberadaanya. Oleh para Ulama’ praktek merubah keadan
dari sulit menjadi mudah[8]
meliputi dua macam pembahasan, rukhsoh dan
azimah yang merupakan bagian dari
hukum taklify[9].
1. Rukhshah Menurut Hadits
Pengucapan rukhsoh sebagaimana yang kita dengar pada dasarnya tidak disebutkan
Al-Qur’an secara langsung. Semua varian pembahasan yang disodorkan hanya
berkisar mengenai kebolehan seseorang untuk meninggalkan keadaan sulit
sebagaimana kutipan di atas. Penggunaan tersebut justru hanya ada dalam Hadis
Nabi Muhammad Saw. Banyak sekali potongan hadis-hadis nabi maupun sahabat yang
mengutip penggalan rukhsoh. Kalimat
tersebut seperti :
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُه
“Sesungguhnya
Allah suka mendatangkan keringanan”[10]
“…itu
merupakan keringan dari Allah, siapa yang melaksanakannya maka itu lebih baik
dan apabila tetap melaksanakan puasa maka tidak apa-apa..”[11]
“…apakah
kamu mendengar ? dijawab; ya, maka Rasul berkata tidak ada rukhsoh bagi kamu…
Semua hadis-hadis tersebut adalah bukti
bahwa penggunaan kalimat rukhsoh memang
telah ada sejak pada masa Nabi Muhamad Saw. Pemakaian tersebut meliputi
berbagai macam arti dengan makna yang hampir sama “ringan”, “gampang” atau
“mudah”. Tetapi perbedaan yang terjadi antara masa-masa awal dengan generasi
sesudahnya adalah penetapan batasan kalimat “rukhsoh” sendiri. Meskipun sering kita dengar aplikasi kalimat rukhsoh namun generasi awal sejak masa
sahabat belum ada seorangpun yang memberi batasan kongkrit. Kendala tersebut
kiranya dapat dimaklumi mengingat kodifikasi keilmuan masih stagnan plus wacana
yang berkembang hanya terbatas pada hal-hal standar karena interaksi sains
maupun sosial belum terbentur ke luar.
Barulah pada masa sesudahnya muncul
orang-orang yang intensif di bidang ini[12]. Golongan
tersebut oleh para cendekiawan lain dipanggil dengan nama ushuliyyin. Pada abad permulaan kaum ushuliyyin memiliki ragam warna yang berbeda-beda meskipun pada
dasarnya terdapat kesamaan obyek penelitian. Perbedaan tersebut selain
didasarkan ilmu yang mereka miliki juga terdapat faktor-faktor lain yang ikut
mempengaruhi kadar pemikiran mereka.
2. Hukum-hukum Rukhshah
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:
a.
Rukhshah wajib. Contohnya
memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang
tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau
minum arak yang notabene haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa
menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.
b.
Rukhshah sunnah. Misalnya
shalat qashar bagi seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang
dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir
yang mengalami masyaqqah bila
melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan shalat zhuhur, karena cuaca pada
awal waktu zhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak
tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh di atas merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.
c.
Rukhshah mubah. Contohnya
seperti transaksi pesan-memesan (salam)
dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis
transaksi dikategorikan rukhshah yang
mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada
permulaannya tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak
wujud (ma’dum). Dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.
d.
Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan).
Seperti membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf
atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang
tidak mengalami masyaqqah bila harus
mengerjakannya. Begitu pula tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi
harus dibeli dengan nilai di atas harga standar, sementara dia sebenarnya
memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi (rukhshah) dalam contoh di atas lebih utama untuk tidak dikerjakan.
e.
Rukhshah makruh. Contohnya
menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan
ini dimotivasi untuk menghindari khilaf imam Hanafi yang tidak memperbolehkan
qashar sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km versi Hanafiah).
Sementara al-Syafi’iah menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.
3. Macam-macam Rukhshah
Al-Qodli[13]
memetakan rukhsoh menjadi dua bagian.
Kedua-duanya adalah Rukhsoh hakikat
dan Rukhsoh majaz. Persamaan rukhsoh tersebut adalah praktek-praktek
keharaman perbuatan mukallaf yang mendapat pengesahan dari syara’ dengan sebab.
Perbedaan hakikat dengan majaz adalah
kadar pengi’tibaran tema hakikat dan majaz sendiri kepada rukhsoh. Lebih lanjut Al-Qodli
memberikan pembagian rukshoh sebagai
berkut :
a. Rukhshoh hakikat
Terbagi menjadi dua bagian: (1)
kecenderungan meninggalkan rukhshoh
dibanding azimah, artinya boleh
baginya melakukan dua hal tersebut namun akan lebih baik kalau dirinya tidak
memakai rukhsoh dan melakukan hal
yang semestinya dia lakukan ('azimah),
contohnya : kebolehan seseorang berkata kufur saat dirinya sedang keadaan
terjepit, sejalan dengan firman Allah :
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah
dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar”[14].
Al-Qodli berpendapat bahwa hak dan
kewajiban seorang muslim adalah memegang teguh iman yang dia miliki. Apapun
ancaman dan resikonya, pada dasarnya orang tersebut tidak boleh menggeser
sedikitpun jalan yang telah dia tempuh. Berangkat dari sini, Al-Qodli memang
menegaskan boleh bagi seseorang untuk mengambil rukhsoh. Tetapi jalan yang lebih baik baginya adalah menyerahkan
diri dan tidak melakukan rukhsoh.
Pemahaman ini sangat jelas melalui perkatannya:
“فَفِي هَذِهِ الصُّوَرِ لَهُ أَنْ
يَعْمَلَ بِالرُّخْصَةِ حَقِيقَةً لَكِنْ إنْ أَخَذَ بِالْعَزِيمَةِ وَبَذَلَ
نَفْسَهُ فَأَوْلَى “[15].
(2)
upaya menisbatkan kasus yang dilakukan seseorang kepada azimah lebih sempurna daripada rukhsoh,
dalam arti sebuah perkara yang semestinya dilakukan seseorang lebih tepat
kepada Rukhsoh daripada azimah, contoh bagian kedua yang di
tashowwurkan dengan ifthornya musafir. Pada kasus ini, seseorang yang boleh
meninggalkan puasanya dengan alasan berpergian mendapat wewenang dari Allah Swt
“فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
”. Puasa adalah
sebuah kewajiban yang harus dilakukan tiap kaum muslim dan menjadi rukun Islam.
Akan tetapi saat seseorang bepergian memaksa dirinya untuk berpuasa, kemudian
timbul dloror yang kembali pada
dirinya pada saat itu maupun akan datang bukankah fenomena tersebut sama saja
dengan bunuh diri. Perbedaan inilah yang secara tegas memisahkan keping pertama
dengan keping kedua. Bagian pertama menitikberatkan bahwa perbuatan yang
dilakukan seyogyanya adalah azimah.
Sedangkan titik poin bagian kedua adalah lebih mengajak untuk lebih melakukan rukhsoh[16].
Banyak perbuatan-perbuatan mukallaf yang
memang harus mendapat keringanan (takhfif)
syara’. Bentuk keringanan tersebut ada yang sudah mendapat pengesahan dari nash
dan tidak. Terlepas dari pengkategorian rukhsoh
atau azimah, pada dasarnya semua
aturan-aturan yang telah ada bersifat gampang dan mudah. Tidak ada amalan yang
dilakukan anak manusia dan bersifat wajib berakhir dengan sebuah keberatan[17].
Kalaupun di sebuah kondisi ternyata memberatkan pasti ada dalil lain yang
menjadi jalan alternatif.
b. Rukhshoh Majazi
Bagian ini pun terbagi menjadi dua
bagian, yaitu (1) keadaan di mana praktek tersebut (rukhsoh) lebih sempurna dinamakan majaz daripada hakikat.
Gambaran yang diberikan mengenai bagian ini adalah setiap kasus yang memiliki
bentuk masyaqqah serta kemudian
menjadi asal muasal dari rukhsoh
adalah praktek rukhsoh majazi.
Al-Qodli pun kemudian memberikan alasan yang logis, karena pada asalnya praktek
tersebut tidak tercantum dalam nash. (2) sebuah praktek di mana pengkategorian rukhsoh dalam masalah ini memiliki dua
jalan, hakikat dan majaz. Jika dipandang dari segi
hilangnya dominasi syari’at atas perkara tersebut, maka selayaknya dinamakan majaz. Namun jalur yang sangat tepat
untuk dimasuki awal timbulnya hukum adalah hakikat.
Dengan bahasa lain, kasus yang digolongkan pada bagian ini adalah sebuah
keadaan di mana kejadian yang sedang berlangsung meliputi hakikat dan majaz.
Salah satu contoh yang dituangkan dan mungkin bisa kita kaji adalah minum
khamr. Saat keadaan normal seseorang tidak boleh minum khamr dengan alasan
apapun. Namun hukum akan berubah saat seseorang dipaksa minum khamr. Pemaksaan
ini yang menyebabkan seseorang boleh minum khamr. Maka, hukum pemaksaan minum
khamr memiliki dua sisi. Ditinjau dari sisi hilangnya keharaman yang semula
harus di jalani karena dalam keadaan dlarurat, sedangkan di sisi lain kebolehan
tersebut juga mendapat pengesahan dari ayat secara global.
Berbeda dengan Al-Qodli, Mukhtar Yahya
dan Fathurrohman[18]
mengistilahkan rukshshoh dengan takhfif (keringanan)
dan rukshoh dalam arti kemurahan. Rukhshoh dalam arti takhfif terdiri dari 7 macam, yaitu :
a.
Takhfif isqat, yakni
keringanan yang berupa pengguguran, Seperti uzur shalat jum’at, haji, umrah,
dan jihad. Jika semua pekerjaan itu tidak dapat terlaksana akibat adanya uzur
dengan ketentuan-ketentuan tertentu, maka syari’at memberi toleransi dengan
menghapus kewajiban-kewajiban tadi. Untuk shalat jum’at diganti dengan shalat
zhuhur sebagaimana hari biasa.
b.
Takhfif Tanqish, yaitu
keringanan berupa pengurangan, Seperti diperbolehkannya qashar bagi musafir.
Sebelum menjadi musafir, ia harus melaksanakan shalat zhuhur atau ashar
sebanyak empat raka’at. Tapi setelah ia berada dalam perjalanan maka kewajiban
empat raka’at itu diperingan menjadi dua raka’at dengan cara diqashar.
c.
Takhfif Ibdal, yakni
keringanan berupa penggantian, Contohnya mandi dan wudhu boleh diganti dengan
tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat yang dapat diganti duduk, duduk yang
dapat diganti dengan shalat berbaring miring (idhthija’) dan idhthija’
diganti dengan isyarat. Begitu pula kewajiban memerdekakan budak dalam kafarat
yang bisa diganti dengan puasa dua bulan, atau mengganti kewajiban puasa dengan
memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian kewajiban haji dan umrah boleh
diganti dengan kafarah. Semua bentuk “penggantian” di atas boleh dilakukan jika
kita mengalami uzur, dan inilah yang dimaksud dengan Takhfif Ibdal.
d.
Takhfif Taqdim, yaitu
keringanan yang berupa mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya,
Misalnya dalam jama’ taqdim, di mana
shalat ashar boleh didahulukan (dilaksanakan) pada waktu zhuhur, shalat isya
boleh dikerjakan pada waktu maghrib ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan
hujan lebat. Contoh lainnya adalah mendahulukan membayar zakat sebelum hawl, membayar kafarah sumpah sebelum
pelanggaran sumpahnya dilakukan, dan lain sebagainya. Semua jenis ‘pengajuan’
di atas boleh dilakukan dan termasuk kategori rukhshah.
e.
Takhfif Ta’khir, yakni
keringanan yang berupa pengakhiran sesuatu yang telah datang waktunya; Seperti
shalat jama’ ta’khir. Shalat zhuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu
ashar, dan shalat maghrib pada waktu isya. Begitupun kewajiban puasa Ramadhan
boleh dilakukan pada bulan-bulan sesudahnya bagi orang yang sakit atau musafir.
Boleh pula mengakhirkan shalat bagi seseorang yang sedang menyelamatkan nyawa
orang lain, baik karena tenggelam, kebakaran ataupun lainnya.
f.
Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan
berupa pengakhiran sesuatu yang telah datang waktuya; Seperti diperbolehkannya
memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang
najis atau haram, dan minum arak (khamr) untuk melegakan lubang tenggorokan
yang tersumbat. Semua jenis rukhshah semacam ini boleh dilakukan jika sudah
menjadi keharusan atau menjadi satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Hukum yang sama juga berlaku pada orang yang
mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan dipaksa. Begitupun seseorang yang
tayamum, walaupun hadatsnya belum hilang tapi ia diperbolehkan melaksanakan
shalat, dan orang yang ‘bersuci’ dengan memakai batu boleh melakukan shalat
walaupun masih terdapat sisa-sisa kotoran yang tidak dapat hilang kecuali dengan
memakai air.
g.
Takhfif Taghyir, yakni
keringanan yang berupa perubahan sesuatu yang telah diatur menurut aturan
tertentu; Seperti perubahan runtutan gerak dalam shalat saat situasi yang
menakutkan (shalat al-khawf), semisal
shalat dalam masa peperangan. Shalat dalam kondisi seperti itu boleh dilakukan
sesuai kemampuan atau gerakan yang mungkin dilakukan, tanpa aturan pasti.
Seperti kita maklumi, dalam kondisi bagaimanapun seorang muslim tetap
berkewajiban mendirikan shalat, termasuk dalam keadaan perang.
Para Ulama ushul, menjelaskan bahwa
timbulnya keringanan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu karena :
1. bepergian,
sehingga dibolehkan untuk tidak berpuasa, menjama dan mengqasar shalat,
meninggalkan sahalat jum’at dan berjama’ah, juga dibolehkan tayamum.
2. Sakit, dalam
kondisi ini dibolehkan tidak berpuasa, shalat sambil duduk, dan makan makanan
yang haram sekaedar untuk obat.
3. Terpaksa, dalam
keadaan terpaksa dibolehkan merusak hak milik orang lain, makan bangkai, minum
khomr, atau bahkan mengucapkan perkataan yang membawa kekafiran akan dimaafkan
Allah SWT[19].
4. Lupa, karena
lupa maka orang makan dan minum padahal sedang puasa maka tidak batal,
menyembelih hewan tidak menyebut nama Allah karena lupa tidak diharamkan[20].
5. Kebodohan, (jahalah) dengan kata lain tidak tahu,
maka orang yang tidak tahu (bodoh) boleh mengembalikan barang yang sudah
dibelinya lantaran terdapat cacat sementara ia tidak mengetahuinya pada waktu
aqad.
6. Kurang mampu,
maksudnya baik kurang mampu fisik maupun psikhis, atau kurang mampu dalam
materi. Dari sisi fisik atau psikhis, orang gila dibebaskan untuk tidak
melakukan ibadah.
7. Kesukaran umum,
seperti kesukaran menghindari najis dari gemerciknya hujan akibat berlalu
lalangnya kendaraan.
Sementara Rukshoh dalam arti hukum kemurahan dalam prakteknya terbagi kepada
5 macam, yaitu:
1. Rukhshoh yag harus dikerjakan, memakan binatang
yang tidak disembelih menurut syari’at
dalam keadaan mengkhawatirkan jiwanya.
2. Sunnah untuk
dikerjakan, seperti mengqasar shalat bagi orang yang sedang bepegian.
3. Mubah untuk
ditinggalkan dan atau dikerjakan, misalnya pelaksanaan jual beli dengan sistem
salam.
4. Lebih utama
ditinggalkan, misalnya menjama’ sahalat atau berbuka puasa bagi orang yag tidak
mendapatkan kesulitan sedikitpun.
5. Makruh untuk
dikerjakan, misalnya mengqasar shalat dalam bepergian yang kurang dari 3
marhalah.
4. Kaidah-kaidah tentang Rukhshah
Kaidah Kully, yaitu :
المشــــــقـة تجـــــلب التـيســير[21]
“Kesukaran
itu menarik kemudahan”
Telah kita maklumi, setiap kaidah dasar
pasti memiliki kaidah-kaidah cabang/turunan yang senada dan memiliki substansi
sama, walaupun berbeda dalam segi pengungkapan. Pada kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir ini,
terdapat beberapa kaidah cabang sebagai berikut:
1. إِذَا
ضَاقَ اْلأَمْرُ اتَّسَعَ
“Ketika
sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
Dengan kata lain, keringanan hukum akan
diperoleh disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib
seorang gadis yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada
saat yang sama ia bertemu seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya.
Dalam kondisi seperti ini, wanita yang notabene menghadapi kesulitan
diperbolehkan “mengangkat” orang lain (yang bukan mahram) untuk menjadi walinya
(muhakkam).
Contoh lain seperti fenomena yang sering
terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat banyak bertebaran membawa najis
di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap di tubuh kita, maka najis-najis
di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab,
kita sangat sulit menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat
kondisi sulit (dhaqa), akan membuat
hukum menjadi ringan (ittasa’a)
berupa di-ma’fu-nya najis-najis
tersebut.
2.
إِذَا اتَّسَعَ
اْلأَمْرُ ضَاقَ
“Ketika
keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat).”
Kaidah cabang kedua ini sebenarnya semakna
dengan kaidah cabang pertama, walaupun redaksinya berbeda dan cenderung
berlawanan. Artinya, jika yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan
membuahkan keluasan (hukum), maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni
keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas.
Contohnya, ketika melaksanakan shalat,
kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak
menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan
untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa
lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan.
Dengan kata lain, shalat yang kita
lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi
sempit dan terbatas (dhaqa), yakni
tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.
3.
كُلُّ مَا
تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ انْعَكَسَ إِلَى ضِدِّهِ
“Setiap sesuatu yang sudah melewati batas kewajaran,
memiliki hukum yang sebaliknya”
Kaidah yang ketiga ini adalah hasil
sintesa (perpaduan) dua kaidah sebelumnya. Artinya, kaidah ini memandang,
sempit dan luasnya suatu keadaan akan berakibat timbulnya hukum kebalikannya;
ketika kondisi sulit berarti hukumnya ringan; saat keadaan lapang akan membuat
hukum menjadi ketat. Al-Ghazali-lah yang melakukan upaya sintetik tersebut,
yakni melalui perpaduan dua kaidah cabang sebelumnya, yang jika dilihat
sepintas agaknya saling bertolak belakang, padahal kenyataannya mempunyai
substansi yang senada.
4. إِذَا
تَعَزَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدَلِ
“Apabila
yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Contohnya: Tayamum sebagai ganti wudhu.
5. مَا
لاَ يُمْكِنُ التَّحَرُزُ مِنْهُ مَعْفُوْ عَنْهُ
“Apa
yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: Pada waktu sedang shaum, kita
berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih
ada sisa-sisa.
6. الرُّخْصُ
لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى
“Keringanan
itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Contohnya: Orang bepergian dengan tujuan
melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau
berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
7. إِذَا
تَعَزَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ يُصَارُ إِلَى الْمَجَاِز
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang
sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”.
8. إِذَا
تَعَزَّرَ إِعْمَالُ الْكَلاَمِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka
perkataan tersebut ditinggalkan”.
9.
يُغْتَفَرُ فِى
الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلإِبْتِدَاءِ
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan
tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”.
10.
يُغْتَفَرُ فِى
اْلإِبْتِدَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ
“Dimaafkan
pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”.
11. يُغْتَفَرُ
فِى التَّوَابِعِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak
dimaafkan pada yang lainnya”.
B.
‘AZIMAH
a.
Pengertian ‘Azimah
Secara etimologi, ‘azimah berarti tekad yang kuat.
Pengertian seperti ini dijumpai dalam surat Ali-Imran, 3:159;
“apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal
duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya”
Secara terminology, para ulama ushul
fikh merumuskan nya dengan:
“Hukum-hukum
yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak semula”. Maksudnya,
sejak semula Pensyari’atannya tidak berubah dan berlaku untuk seluruh umat,
tempat dan masa tanpa kecuali.
Seluruh hukum taklifi termasuk dalam ‘azimah
dan para mukalaf di tuntut untuk melaksanakannya dengan mengerahkan kemampuan
untuk mencapai sasaran yang di kehendaki hukum tersebut. Berdasarkan usaha ini
orang tersebut berhak mendapatkan ganjaran pahala dari Allah, jika hukum yang
di kerjakannya itu termasuk dalam kategori wajib dan sunah.
Menurut jumhur ulama, yang termasuk
‘azimah, adalah kelima hukum taklif (Wajib, sunah, haram, makruh dan mubah), karena kelima hukum ini
disyari’atkan bagi umat Islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat
bahwa yang termasuk ‘azimah itu hanya
hukum wajib, sunah, makruh dan mubah. Ada juga ulama ushul fikh yang membatasinya dengan hukum
wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan haram
saja.
b.
Macam-macam ‘Azimah
Para ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa ‘azimah ada empat macam, yaitu
:
1. Hukum yang
disyariatkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seutuhnya, seperti
ibadah, muamalah, jinayah dan seluruh hukum yang bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat.
2. Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu
sebab yang muncul, seperti hukum mencaci maki berhala atau sesembahan agama
lain. Hal ini dilarang oleh Allah, karena orang yang menyembah berhala atau
sesembahannya dicela akan berbalik mencela Allah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat al-An’am,6:108 :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan…”
3.
Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya, sehingga mansukh seakan–akan tidak pernah ada.
Status nasikh dalam kasus seperti ini
adalah ‘azimah. Misalnya, firman
Allah dalam persoalan pemalingan arah kiblat dalam surat Al-baqoroh, 2:144:
“Maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram.”
Maksudnya ialah
Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu
turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
4. Hukum
pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti firman Allah dalam
surat An-Nisa,4:24:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki”
Dalam ayat ini
Allah mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan lafaz yang
bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.
KESIMPULAN
Rukhsah adalah sesuatu
yang dishari’atkan karena ‘udhur yang
berat sebagai pengecualian dari prinsip umum yang menuntut larangan dan
terbatas pada kasus-kaus yang membutuhkannya, hal ini di sampaikan oleh
al-Shatibi. Al-Ghazali mempunyai konsep bahwa rukhsah itu adalah sesuatu yang boleh dilakukan oleh mukallaf
karena ‘udhur dan ketidak mampuannya
sedangkan sebab masih tegak. Berbeda dengan al-Humairi yang mengatakan bahwa rukhsah dibentuk tidak bertentangan
dengan hukum ‘azimah dan ketika
seseorang mengambil rukhsah, maka dia
sama seperti melaksanakan ‘azimah. Pengambilan
rukhsah diperbolehkan jika memang
dihadapkan pada ‘udhur yang
mengharuskan berpaling pada rukhsah.
Aplikasi rukhsah dalam pelaksanaan ibadah salat dan puasa terletak pada
bagaimana mukallaf tersebut mengatasi kesulitan yang ada ketika melaksanakan
ibadah. Orang yang sakit ketika salat, ada dua keringanan, yaitu keringanan
ketika bertaharah (bersuci), seperti diperbolehkannya bertayammum, dan
keringanan dalam gerakan melaksanakan salat. Seperti diperbolehkannya duduk,
berbaring dan lain sebagainya bagi mereka yang tidak mampu berdiri. Sedangkan
bagi musafir ada keringanan menjama’ dan mengqasar salat. Begitu juga dalam hal
puasa ada dua keringanan bagi mukallaf untuk mengganti puasa. Ada yang mendapat
keringanan mengganti puasa dengan qada’, seperti orang sakit dan musafir dan
ada pula yang mendapatkan keringanan mengganti puasa dengan fidyah, seperti
orang yang sudah lanjut usia (‘ajuz)
dan orang yang hamil, menyusui yang menghawatirkan kesehatan atau kondisi
bayinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Djazuli
dan Nurol A’en, Ushul Fiqh, (Bandung:Gilang Aditya Press, 1996), hal. 40
Ø
Hasby
Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2001),
hal.207-218.
Ø
Hashby
Ash Shdiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra: 2001,
hal. 420-421
Ø
Al
Imam Al Qodli Shodr Syari’at Abdullah bin Mas’ud Al Mahbubi, Al Taudlih li matn
Al Tanqih fii uhsul al fiqh, tiga kitab dalam satu kitab, Juz II, maktabah al
taufiqiyyah, kairo, t.t, hal 353-360
Ø
Mukhtar
Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembiaan Fiqh Islam, Bandung:Al Ma’arif,
cet. 10, 1986, hal. 507
Ø
http://arif-fikri.blogspot.com/2012/02/kaidah-kaidah-yang-berkaitan-dengan.html
[1] Lihat, Q.S. Al Baqoroh: 185
[2] Lihat, Q.S. Al Baqoroh: 286
[3] Lihat, Q.S Al Tholaq: 7
[4] Lihat, Q.S Al Hajj: 78
[5] Lihat, Q.S Al Insyiroh: 6
[6] Maksudnya: dibolehkan memakan
makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
[7] A. Djazuli dan Nurol A’en, Ushul Fiqh, (Bandung:Gilang Aditya
Press, 1996), hal. 40
[8] Hasby Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Semarang:Pustaka
Rizki Putra, 2001), hal.207-218.
[9] A. Djazuli dan Nurol A’en, Ushul Fiqh, (Bandung:Gilang Aditya
Press, 1996), hal. 40
[10]Meskipun banyak sekali
versi-versi berbeda, namun kebanyakan semua riwayat yang ada kembali ke Ibn
Umar Ra.
[11]Hadits ini menjelasakan tentang
bolehnya berbuka (tidak melaksanakan puasa) karena daam keadaan bepergian jauh
[12] Lihat, Hashby Ash Shdiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka
Rizki Putra: 2001, hal. 420-421
[13]
Al Imam Al Qodli Shodr
Syari’at Abdullah bin Mas’ud Al Mahbubi, Al
Taudlih li matn Al Tanqih fii uhsul al fiqh, tiga kitab dalam satu kitab,
Juz II, maktabah al taufiqiyyah,
kairo, t.t, hal 353-360
[14] Q.S. An Nahl : 106
[15] Al Imam Al Qodli Shodr Syari’at
Abdullah bin Mas’ud Al Mahbubi, Al
Taudlih li matn Al Tanqih fii usul al fiqh, tiga kitab dalam satu kitab,
Juz II, maktabah al taufiqiyyah,
kairo, tanpa tahun, hal 353-360
[16] Ibid.,
[18]
Mukhtar Yahya dan Fatchur
Rahman, Dasar-dasar Pembiaan Fiqh Islam,
Bandung:Al Ma’arif, cet. 10, 1986, hal. 507
[19] QS. An Nahl: 106
[20] ان الله وضع عن امتي الخطاء والنسيان ومااستكرهواعليه
[21]
Mukhtar Yahya dan Fatchur
Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam,
Bandung:Al Ma’arif, cet. 10, 1986, hal. 503
makasii pak ilmunya :)
BalasHapus