AYAT-AYAT
DAN HADIS-HADIS HUKUM
Ahmad
Damiri
PENDAHULUAN
Pengaruh
perundang-undangan ialah wahyu illahi yang berwujud ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an, sedang sumber kedua adalah ijtihad rasul yang berwujud hadis-hadis
hukum. Koleksi nash-nash (ayat dan hadis) ini merupakan pengaruh hukum yang
ditinggalkan oleh periode rosul dan merupakan undang-undang azasi bagi umat
islam. Ia merupakan dasar bagi perundang-undangan dengan islam dan tempat
kembali bagi tiap-tiap mujtahid muslim di masa manapun.
Apabila terjadi
peristiwa hukum sedangkan telah ada nash yang pasti, maka tidak ada ruang
ijtihad bagi siapapun, di manapun dan sampai kapanpun. Sebaliknya jika tidak
ada nash yang pasti atassuatu peristiwa dan masalah, maka ruang ijtihadpun
terbuka, hanya saja mujtahid harus berjalan diatas pancaran koleksi nash-nash
ini dengan cara mengkiaskan nashnya, atau dari ma’qulnya, seperti
prinsip-prinsipnya yang umum. Mujtahid tidak boleh berlawanan dengan nash-nash
yang telah ada, atau keluar dari prinsipnya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ayat-ayat dan
Hadis-hadis Hukum
Dari segi kebahasaan,
kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang lain”[1].
Seperti menetapkan haram pada Khamar, atau halal pada air susu
Menurut terminologi
ushul fiqh hukum (al-hukm) berarti :
“Khitab (kalam) Allah yang mengatur
amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang
mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadl
(ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’”
Abu
Zahrah[2]
memberikan pengertian tentang hukum adalah Titah (Khitab) Syari’ yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i
Wahbah az-Zuhaili memasukan
kedalam kategori hukum wadh’i diatas
hukum sah, fasad/batal, ‘azimah, dan
rukhshah[3]
.
Khitab Allah yang
dimaksud dalam definisi tersebut adalah kalam Allah, kalam Allah sebagai
sifatnya adalah al-kalam al-nafsi
(kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam
Allah yang seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya
bisa mengetahui kalam nafsi itu
melalui kalam lafdzi, yaitu kalam
yang mempunyai lafadz dan suara yang berbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat
al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam
nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur’an populer dikenal sebagai
dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang
dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam
lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an. Maka populer dikalangan
ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat
hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia[4].
Kalam Allah adalah
hukum baik langsung. Seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak
langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal
perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak
langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah itu di bidang Tasyri’ tidak lain
adalah petunjuk dari Allah juga.
Dengan demikian, apa
yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat Ahkam dan teks hadis Ahkam.
Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain, Abdul Karim Zaidan[5],
secara langsung menafsirkan pengertian Khitab dalam definisi tersebut sebagai
kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti sunnah Rasulullah, ‘Ijma’ dan
dalil-dalil Syara’ lain yang dijadikan Allah Sebagai dalil (petunjuk) untuk
mengetahui hukumnya. Sunnah Rosulullah dianggap sebagai kalam Allah secara
tidak langsung karena merupakan petunjuknya juga sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nazm ayat 2-3
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Kedua ayat diatas
menjelaskan bahwa Rosulullah tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali
berdasarkan wahyu. Demikian juga dengan ijma harus mempunyai sandaran, baik
Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum
lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui
adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, khitab Allah dalam definisi hukum
diatas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh Syara’, sehingga apa
yang dimaksud Khitab dalam definisi diatas adalah ayat-ayat hukum dan
hadis-hadis hukum. Misalnya fiirman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 1[6]
“ Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan ketika
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendakinya”.
Bagian awal ayat
tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi, yang
disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau sunnah rasulullah
yang mengatur amal perbuatan manusia, yang populer disebut dengan ayat-ayat ahkam dan hadis ahkam.
Bila dicermati definisi
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat
dikategorikan kepada beberapa macam[7] :
a.
Perintah untuk melakukan suatu
perbuatan. Perbuatan mukallaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.
Larangan melakukan suatu perbuatan.
Perbuatan mukallaf yang dilarang itu sifatnya haram
c.
Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan,
dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub
d.
Anjuran untuk meninggalkan suatu
perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.
Memberi kebebsan untuk memilih antara
melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk
dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah
f.
Menetapkan sesuatu sebagai sebab
g.
Menetapkan sesuatu sebagai syarat
h.
Menetapkan sesuatu sebagai mani
(penghalang)
i.
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan
fasad/batal
j.
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria
‘azimah dan Rukhshah
B.
Cara
membedakan Ayat atau Hadis Ahkam dengan Ayat atau Hadis yang bukan Ahkam
Pembagian ayat hukum
dan hadis hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan
informasi tentang ciri-ciri Ayat Ahkam dan Hadis Ahkam. Artinya, untuk
membedakan mana yang ayat ahkam atau mana yang hadis ahkam dan mana yang bukan.
Bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi
adalah :
Pertama,
Bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh. Istilah hukum disamping
digunakan untuk menyebut teks-teks ayat-ayat atau hadis-hadis hukum, juga
digunakan untuk menyebutkan sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum
itu. Dalam pembagian diatas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan
shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan
sifatnya mandub, yang dianjurkan ditinggalkan sifatnya makruh dan yang
dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram, mandub,
makruh dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal dengan hukum
Syara’. Dengan demikian hukum shalat,
misalnya, adalah wajib dan meminum Khamr adalah haram. Adanya dua bentuk
pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum
kepada teks ayat atau hadis karena melihat kepada dalil dan proses
pembentukannya hukum. Sedangkan pemakainnya kepada sifat perbuatan mukallaf
yang terkena hukum karena mekihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah
hukum kepada teks ayat ahkam dan teks hadis ahkam dapat dilihat ketika
membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang al-Qur’an dan
as-sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukallaf
dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Dalam perkembangannya, kalangan hanafiyah, seperti dikemukakan wahbah Az-zuhaili[8],
lebih cenderung mengartikan hukumdengan sifat perbuatan mukallaf tersebut,
sehingga apa yang disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram,
mandub, makruh dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fiqh
dari kalangan mayoritas ulama. Dibawah ini akan diuraikan pembagian hukum bia
dilihat kepada hasilnya.
Perbedaan pendapat
tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama
hukum adalah qadim karena merupakan kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu
sifatnya. Sedangkan menurut kalangan hanafiyah, hukum adalah baru karena
merupakan pengaruh kalam Allah terhadap perbuatan manusia.
Kedua, seperti
dekemukakan diatas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam dan teks
hadis ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya
terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul wahab Khalaf menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya itu ada yang secara
langsung ditunjukan oleh teks al-Qur’an dan sunnah dan ada pula yang tidak
secara langsung ditunjukan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadis yang
disimpulkan oleh para ahlinya (mujtahid) dengan kegiatan ijtihad, seperti hukum
yang ditetapkan dengan ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya.
Ketentuan-ketentuan seperti itu adalahketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya
juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
C. Pembagian hukum Syara’
Secara garis besar para
ulama Ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i. Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah
”ketentuan-ketentuan Allah dan
Rasul-nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam
bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat[9]”
Sedangkan
yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah “
“ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi)”
Dengan mengemukakan
batasan dari dua macam hukum tersebut dapat diketahui perbedaan antara
keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
a.
Hukum
Taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan,
atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i berupa
penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum
taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum
wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi
sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.
b.
Hukum
taklifi dapat berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukallaf. Sedangkan hukum Wadh’i sebagiannya ada yang diluar
kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, seperti
dalam contoh diatas tadi. Keadaan tergelincir matahari bukan dalam kemampuan
manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan
manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai
tanda bagi masuknya waktu shalat dzuhur.
a. Hukum
Taklifi
Seperti dikemukakan
diatas. Istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada asalnya adalah teks ayat
atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum yang berhubungan dengan hukum
taklifi terbagi kepada lima bentuk:
1)
Ijab
(mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk
perintah yang mengaharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat
yang memerintahkan untuk melakukan shalat.
2)
Nadb
(anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang
menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
3)
Tahrim
(melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang
secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
4)
Karahah,
yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
5)
Ibahah,
yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan[10].
Pembagian hukum
tersebut di atas adalah hukum dilihat sebagai dalil hukum. Selanjutnya, dalam
membicarakan pembagian hukum taklifi ini, seperti pernah disinggung sebelumnya,
istilah hukum digunakan kepada sifat perbuatan mukallaf. Dari sisi ini hukum
taklifi, seperti dikemukakan Abdul Wahab Khalaf, terbagi kepada lima macam,
yaitu : 1) wajib, b) Mandub, c) Haram, d) makruh, e) mubah. Dasar pembagian
tersebut adalah, bahwa ketentuan Allah dan Rasulnya yang berupa perintah
terhadap suatu perbuatan maka perbuatan itu hukumnya wajib, ketentuan yang
berupa anjuran untuk melakukan menimbulkan hukum mandub, suatu larangan
menimbulkan hukum haram, anjuran untuk meninggalkan perbuatan menimbulkan hukum
makruh, dan ketentuan yang memberi kebebasan untuk melakukan dan tidak
melakukan menimbulkan hukum mubah.
As-Syaukani menyebutkan
keempat macam hukum wajib, mandub, haram, makruh disebut sebagai hukum taklifi
karena syari’ menuntut para mukallaf untuk mentaatinya. Sedang mubah disebut
hukum Takhyiri karena syari’ memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya
atau tidak melakukannya. Sementara sebab, syarat dan mani’ disebut sebagai
hukum Wadh’i karena ketiganya menjadi tanda penentu ada atau tidak adanya,
serta sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan taklif[11]
b. Hukum Wadh’i
seperti
telah disinggung diatas, hukum Wadh’i adalah ketentuan syari’at dalam bentuk
menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, sebagai mani’. Dengan
demikian hukum wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1.
Sebab
Sebab menurut bahasa
berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain.
Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sebab
berarti :
“sesuatu
yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi hukum, dan tidak adanya sebab
sebagai tanda bagi tidak adanya hukum[12]”.
Misalnya,
tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada
pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban
mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
Secara
umum, sebab terbagi dua[13],
yaitu sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok
pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya
nikah. Kemudian, keadaan dharurah yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai
binatang. Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti
melakukan perjalanan Jauh yang melelahkan yang menjadi sebab
bolehnya tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang
menjadi sebab bolehnya melakukan hubungan seksual.
2.
Syarat
Menurut bahasa kata
Syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau
“sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan oleh
Abdul Karim Zeidan, Syarat adalah :
“sesuatu
yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada siluar dari hakikat
sesuatu itu”
Misalnya,
Wudu adalah sebagai syarat bagi syahnya shalat dalam arti adanya shalat
tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan
merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi
menjadi syarat bagi syahnya akad nikah, namun kedua orang saksi itu merupakan
bagian dari akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah
perbedaan antara syarat danrukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan
sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana
syarat bagi suatu ibadah misalnya seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan
bagian dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut, sedangkan rukun adalah bagian
dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu
rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan
shalat
Syarat
ada dua macam[14],
yaitu Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti haul (genap setahun) yang merupakan persyaratan wajibnya zakat,
sekaligus juga menjadi penyempurna ibadah nishab, yang merupakan sebab wajibnya
zakat. Atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya pelaksanaan had potong
tangan, namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang dicurinya itu
diambil dari tempat penyimpanannya yang rapi serta terjaga secara ketat. Kedua,
syarat yang menyempurnakan musabab, seperti
wudhu, menutup aurat dan menghadap kiblat dalam shalat
3.
Mani’
Kata mani’ secara
etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, seperti
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, kata mani’ berarti :
“sesuatu
yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang
bagi berfungsinya suatu sebab”
Sebuah akad misalnya
dianggap syah bilaman telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu
mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang (mani’).
Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah
sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan
pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak suami untuk
mewarisi istrinya, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi
antara pembunuh dan terbunuh.
D. Jumlah ayat-ayat dan hadis-hadis
hukum
Al-Qur’an
gsebagaimana dinyatakan al-syaukani adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Rasulnya Muhammad ibn Abdullah, dalam bahasa arab dan maknanya yang murni, yang
sampai kepada kita secara mutawatir[15].
Rangkaian kalam-kalam Allahtersebut kini telah tertuang secara sempurna dalam
sebuah kitab suci yang diberi nama al-qur’an al-Karim, yang secara keseluruhan
berisi ajaran-ajaran akidah, syari’ah (norma-norma hukum), serta norma-norma
Akhlak bagi umat manusia ini. Tuhan mengatur kehidupan mereka di dunia ini
dengan ajaran-ajaran yang langsung dia turunkan lewat rasulnya ini, dalam
rangka memberi petunjuk kepada mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Dari
total ayat Al-Qur-an yang mencapai 6360, ayat hukum menurut persi perhitungan
Abdul Wahab Khalaf yang dikutip harun Nasution, hanya mencapai 368 ayat, atau
kurang lebih 5,8% dari total keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an[16].
Distribusi dari ayat-ayat tersebut adalah:
1.
Aspek ibadah mahdhah, seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji sebanyak 140 ayat.
2.
Aspek kehidupan keluarga, seperti
perkawinan, perceraian, mawarits dan yang sebangsanya sebanyak 70 ayat
3.
Aspek perekonomian yang berkaitan dengan
masalah perdagangan, sewa menyewa, kontrak dan hutang piutang sebanyak 70 ayat
4.
Aspek kepidanaan yang berkaitan dengan
norma-norma hukum tentang pelanggaran kriminal sebanyak 30 ayat
5.
Aspek qhada yang berkaitan dengan
persaksian dan sumpah dalam proses pengadilan sebanyak 13 ayat
6.
Aspek politik dan perundang-undangan
yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan hubungan pemerintah dengan
warganya, sebanyak 10 ayat
7.
Hubungan sosial antara umat islam dengan
non islam, serta hubungan negara islam dengan negara non islam sebanyak 25 ayat
8.
Hubungan kaya miskin, yakni
peraturan-peraturan tentang pendistribusian harta terhadap orang-orang miskin,
serta perhatian negara mengenai hal ini. Ayat-ayat yang mengatur persoalan ini
berjumlah 10 ayat
Jumlah
materi nash dalam periode rosul tidak banyak jumlah ayat-ayat hukum yang
berhubungan dengan ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu mengenai
jihad, berjumlah sekitar 140 ayat. Jumlah ayat-ayat hukum yang berhubungan
dengan muamalat, ahwal syakhsiyah (keluarga), jinayat peradilan, dan kesaksian,
sekitar 200 ayat. Jumlah hadis hukum dalam berbagai macamnya berjumlah sekitar
4500 hadis sebagaimana telah disebut oleh Ibn al-Qosim dalam kitabnya I’lam
al-Muqi’in.
Kebanyakan
hadis hukum merupakan penjelasan bagi hukum al-Qur’an yang masihmujmal, atau
merupakan taqrir (penetapan hukum), atau merupakan tauqid (penguat hukum),
sedangkan selainnya merupakan tasyri’ terhadap apa yang didiemkan oleh
al-qur’an.
Ayat-ayat
hukum dalam al-qur’an terserak dalam sejumlah surat, ayat-ayat khusus mengenai cabang
perundang-undangan tidak terhimpun dalam satu surat. Ayat-ayat keperdataan yang
berjumlah sekitar 70 ayat juga terserak dalam sejumlah surat. Demikian pula
semua ayat hukum yang lain.
Adapun
hadis hukum ia telah dikumpulkan oleh para ahli hadis menurut bab-bab fiqh.
Hadis-hadis tentang jual beli dihimpun dalam babul ba’i (bab jual beli),
demikian pula hadis-hadis tentang gadai, syirkah , hudud, dan lain-lainnya.
Satu hal yang memudahkan kepada kita adalah bahwa setiap cabang
perundang-undangan telah dikumplkan sejumlah ayat hukum secara khusus serta
atsar para sahabat dan tabi’in yang menjelaskan penafsiran bagi nash-nash itu.
Koleksi ini merupakan hak azasi yang terdapat dalam al-qur’an dan al-sunnah,
yang secara khusus mengatur tiap cabang perundang-undangan[17] .
E. Uuslub (Gaya Bahasa) Nash
Ayat-ayat
dan hadis-hadis hukum tidak menggunakan bentuk gaya bahasa dalam menerangkan
apa yang disyariatkan, melainkan menggunakan bermacam-macam gaya bahasa dan
berbagai shighat (bentuk kata) untuk mengungkapkan hukum.
Nash-nash yang menunjukan keharaman, kadang-kadang
diungapkan dalam bentuk larangan melakukan apa yang diharamkan itu. Kadang
identifikasi keharaman tersebut ditunjukan dalam bentuk ancaman terhadap orang
yang melakukan, dan kadang dengan menjelaskan bahwa hal itu tidak dihalalkan
atau hal itu diharamkan[18]
Nash-nash yang menunjukan kewajiban kadang diungkapkan
dalam bentuk amar atau perintah atas sesuatu yang diwajibkan itu, kadang
diungkapkan dengan bentuk wa’id (ancaman) pada siapa yang meninggalkan dan
kadang-kadang dengan menjelaskan bahwa hal itu diwajibkan, difardlukan, atau
ditetapkan.
Adapun yang menjadi sebab bermacam-macamnya gaya bahasa ,
ialah bahwa nash-nash itu disyariatkan dalam waktu-waktu yang berlainan
menurutkejadian, situasi dan kondisi. Bagi tiap-tiap situasi dan kondisi
diperlukan gaya bahasa yang kontekstual. Kadang-kadang kondisi mengharuskan
pengharaman sesuatu dengan bentuk ancaman terhadap seseorang yang melakukannya.
Kondisi mengharuskan peng-tasyri’-an hukum secara khusus, dan mengharuskan gaya
bahasa yang khusus pula untuk menjelaskannya.
Sebab lain bagi bermacam-macam gaya bahasa ialah karena
al-Qur’an tidak bermaksud menjelaskan apa yang dikandungnya yakni masalah
aqidah, akhlak dan hukum semata-mata, melainkan juga untuk i;jaz (membuktikan
ketidakmampuan manusia membuat gaya yang menyamai Al-Qur’an), agar menjadi
bukti atas kebenaran Rasul. Diantara aspek-aspek i’jaz ialah keanekaragaman dan
keindahan gaya bahasa.
Sebagaimana gaya bahasa dari nash-nash itu bermacam-macam
dari segi shighat dan ibaratnya, maka gaya bahasa itu bermacam-macampula dalam
aspek lain, yaitu disertainya hukum-hukum yang disyariatkan dengan penjelasan
‘illat-nya dan hikmah disyari;atkannya hukum itu. Sebagian lagi menetapkan
hukum tanpa penjelaskan illat-nya.
Hikmahnya ialah bahwa syari’ dengan menerangkan ;illat
hukum dan hikmah pada sebagian hhukum-hukum, adalah untuk membuka akal pikiran
bahwa hukum-hukum yang bersifat tasyri’ itu bukan termasuk bidang ta’abudi
(bidang peribadatan), melainkan ia ber’illatkan kemaslahatan umat manusia.
Disini terbuka pintu ijtihad untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan menolak
kemudharatan.
F. Jenis-jenis hukum yang dicakup oleh
nash
Jenis hukum pada garis
besarnya dibagi atas tiga bagian, yaitu :
a.
Hukum I’tiqodiyah, yakni yang bertalian
dengan keimanan kepada Allah, malaikatnya, kitabnya, rasulnya, dan hari
kemudian.
b.
Hukum Khuluqi, yakni yang bertalian
dengan sifat-sifat utama yang diwajibkan kepada manusia untuk berhias
dengannya, dan sifat-sifat hina yang diwajibkan manusia menjauhinya.
c.
Hukum A’mali, yakni yang bertalian
dengan perbuatan=perbuatan para mukallaf berupa ibadat, muamalat, jinayat,
persengketaan, perjanjian, dan transaksi-transaksi
Jenis pertama merupakan
dasar agama, sedang jenis kedua merupakan pelengkap dan penyempurna dasar itu, al-Qur’an telah
menjelaskan kedua jenis ini dan Al-Sunnah telah melengkapipenjelasan itu,
mengulasnya, serta menegakan bukti-bukti kebenarannya.
Ajaran Islam diawali dengan dua jenis hukum yang pertama
dan kedua (akidah dan akhlak). Maka, umat islam ketika berada di mekkah hanya
menerima khitab (titah agama tentang urusan akidah dan akhlak). Penanaman
akidah dan meluruskan akhlak, keduanya merupakan asas yang diatasnya ditegakan
tiap-tiap perundang-undangan dan peraturan.
Jenis yang ketiga adalah hukum ‘amali, yaitu fiqh searti
dengan kata hukum. Orang yang meneliti
fiqh, Al-Qur’an dan A;-Sunnah akan mendapati bahwa tiap cabang hukum
dari cabang perundang-undangan ada legitimasi ayat-ayat Al-Qur’an-nya.
Cabang ibadat dan rangkaian-rangkaiannya terdapat
kira-kira 140 ayat, untuk cabang ahwalsyakhsiyah yaitu perkawinan, perceraian,
pewarisan, wasiat, pengampunan, dan lain-lain terdapat sekitar 70 ayat cabang
muamalat (pergaulan materi) yang meliputi jual beli, sewa menyewa,, gadai
menggadai, perserikatan, perdagangan, utang piutang, dan lain-lain, terdapat 70
ayat[19] .
Pada bab-bab tersebut terdapat banyak hadis, sebagian
dari hadis itu menjelaskan hukum yang mujmal dalam al-Qur’an dan sebagian lagi
menerangkan hukum yang didiamkan oleh Al-Qur;an. Hukum-hukum yang bersifat
Juz’iyi (bagian-bagian hukum) menjadi sempurna dengan adanya beberapa pokok
hukum yang bersifat kulliyyi (bersifat umum). Dengan demkian periode rosul
telah meninggalkan perundang-undangan yang sempura, yang mampu mencukupi
kebutuhan umat islam di segala lingkungan dan masyarakat.
g. Pembukuan Ayat-ayat dan Hadis
Hukum
dalam periode sahabat
telah ada sumber Tasyri’ yang pertama yakni ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an,
suatu hal yang datang secara tiba-tiba yang mempunyai pengaruh abaditerhadap
perundang-undangan Islam. Hal yang datang tiba-tiba itu adalah pembukuan
ayat-ayat Hukum yang tercakup dalam Al-Qur’an dan penyebarannya di kalangan
umat Islam secara merata melalui peraturan resmi, sehingga menjadi mudah bagi
umat Islam dimana pun untuk menghapalnya serta mengetahui nash-nashnya tanpa
adanya perselisihan, baik satu kata maupun keseluruhannya.
Hal yang demikian karena Rasulullah dimasa hidupnya telah
mempergunakan beberapa sekretaris pribadi untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an
yang diwahyukan. Bila mendapat wahyu, maka Rasulullah lantas membacakannyadi
hadapan umat Islam, beberapa orang menulis dan mencatatnya, serta beberapa
sahabat yang lain menghapalkannya.
Setelah Rasulullah wafat, maka seluruh ayat-ayat
Al-Qur’an telah ditulis. Banyak diantara sahabat yang hafal Al-Qur’an, baik
sebagian maupun keseluruhan Al-Qur’anpenulisan Al-Qur’an pada masa hidup Rosul
kadang dilakukan diatas daun kering, kadang diatas kepingan batu putih, dan
kadang diatas pelepah kurma. Para penulis wahyu punya sekumpulan tulisan wahyu
masing-masing, demikian pula pada beberapa sahabat, dan di rumah Rasul. Wada
waktu itu belum terbentuk satupun koleksi lengkap dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Ketika berkecamuk peperangan untuk membasmi kaum yang
murtad dimasa pemerintahan Abu Bakar al-Siddiq, banyak diantara sahabat yang
gugur di dalam peperangan itu. Maka munculah kekhawatiran ‘Ulil Amri (penguasa pemerintah) atas hilangnya lembaran Al-Qur’an
yagn te;ah dihafal oleh para sahabat yang gugur di medan perang. Para sahabat
kemudian mengajukan usul kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun
catatan-catatan yang berserak menjadi satu Al-Qur’an.
Abu Bakar kemudian
menyuruh Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis Al-Qur’an termasyhur dan
sahabay yang paling banyak hafal Al-Qur’an, untuk menulis dan mengumpukan
ayat-ayat Al-Qur’an. Maka mulailah Zaid mengumpulkan catatan-catatan yang
berserak-serak dan kemudian membandingkannya secara teliti antara satu versi
dan versi yang lain, guna memperoleh keabsahan yang tinggi. Dalam proses
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, zaid bermusyawarah dengan para pemuka sahabat,
baik dari golongan muhajirin maupun Anshor, pertama kali kumpulan ayat
Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar, kemudian diteruskan pengimpanannya oleh Umar
bin Khatthab, kemudian diteruskan oleh Umul Mu’minin Hafshah binti Umar
Pada 20 H, Khalifah Usman bin Affan mengambil kumpulan
naskah Al-Qur’an dari tangan Hafshah binti Umar, dan beliau menginstruksikan
kepada Zaid binTsabit sertabeberapa sahabat untuk menukil serta melengkapinya,
guna disebarkan kepada umat islam. Dengan demikian mudah bagi umat Islam untuk
kembali kepada Al-Qur’an, dan tidak terjadi perselisihan lantaran perbedaan
dialek bacaan. Zaid dan beberapa sahabat telah menulis enam buah naskah, sebuah
naskah disimpan oleh Khalifah Usman sendiri, sedang selebihnya dikirim ke
Madinah, Makkah, Kufah, Basrah dan Damaskus; Masing-masing diletakan di
masjid-masjid umum agar menjadi pedoman bagi umat Islam
Para sahabat menghafal dan menukil Al-Qur’an tanpa
perubahan dan pergantian. Pengaruh abadi pembukuan ini bagi perundang-undangan
Islam ialah bahwa ayat-=ayat hukum di dalam Al-Qur’an menjadi mutawatir
penukilannya, baik secara tertulis maupun Lisan, dan seluruhnya menjadi Qath’i
Wurud(pasti Kebenarannya).
Umat Islam telah berusaha sungguh-sungguh dalam
meriwayatkan ayat=ayat Al-Qur’an, dan mengisnadkan para perawinya, sehingga
tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini.
Adapun sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu
nash-nash hukum dalam al-Sunnah, belum dibukukan pada periode ini, sebagaimana
al-Sunnah secara keseluruhan juga belum dibukukan. Dalam periode ini khalifah
kedua yakni Umar bin Khattab telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun
sesudah beliau bertukar pikiran dan bermustyawarah dengan para sahabat, belaiu
khawatir terhadap pembukuan al-Sunnah.. mengapa? Karena waktu itu baru dikenal
versi al-Sunnah dai Abdullah bin ‘Amr
ibn al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran yang bernama al-Sidiq, yang
menghimpun hadis-hadis dari Rasulullah.
Pengumpulan Hadis dan rencana pembukuan Al-Sunnah
dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari
aspek perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadis dari seorang perawi yang
benar-benar diperkuat oleh seorang saksi. Umar bin Khatab meminta si perawi
hadis untuk mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib meminta agar si perawi hadis bersumpah. Namun
demikian, sikap hati-hati ini belum bisa merelisir tujuan yang sebenarnya,
yaitu permbukuan Al-Sunnah. Belum dibukukannya Al-Sunnah dikalangan umat Islam,
setidaknya mengakibatkan dua hal:
1.
Para ulama terpaksa mencurahkan
kesungguhan dalam membahas perawi hadis dan tingkatan kepercayaan mereka. Hadis
kemudian terbagi dalam dua segi; Qath’iyah
Wurud dan Dhanniyah Wurud, kemudian yang Dhanniyah terbagi dalam hadis Shahih, Hasan dan Dhaif, dan kemudian
disusunlah al-‘ilmu al-Riwayatal-Hadits, dan
untuk itu ditulis beberapa kitab dalam ilmu ini.
2.
Ketiadaan pembukuan Al-Sunnah membawa
akibat umat Islamtidak memiliki satu koleksi Al-Sunnah sebagaimana mereka
memiliki Al-Qur’an. Hal ini menyebabkan luasnya arena perbedaan pendapat
tentang hadis. Kadang terjadi perselisihan pendapat tentang bisa atau tidaknya
al-Sunnah dijadikan Hujjah serta sumber perundang-undangan. Juga banyak
perbedaan pendapat tentang keabsahan para perawi hadis dan segala seluk beluk
masalahnya.
Dalam
periode Ijtihad sahabat, belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka
sedikitpun. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika
benar maka berasal dari Allah, tetapi jika keliru berasal dari pribadi para
sahabat itu sendiri. Para sahabat tidak mengharuskan siapapun-khususnya umat
Islam- untuk mengikuti fatwanya, bahkan seringkali Umar bin Khattab menyangkal
pendapat Abu Bakar, dan sering kali Zaid bin Tsabit berbantah dengan Abdullah
bin Abbas. Para sahabat sering kali berbeda pendapat tentang berbagai kejadian
dan rujukan hukumnya. Yang penting maksud sahabat adalah baik, yakni mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hamid Hakim, al-Bayan, Sa’adah. Jakarta
1972
Abdul
Wahab Khalaf, sejarah hukum Islam. Marja, Bandung 2005
Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta 1989
Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta. UI Pres 1978. Jilid
II
Muhammad
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958.
Muhammad
bin Ali bin Muhammad al- Syaukani,
Irsyadul Fuhul, Dar al-Firk, t,th.
Satria
efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008
[1]
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, Sa’adah. Jakarta 1972 Hal. 10
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar
al- Firk al-Arabi, 1958. Hal 26
[3]
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 36
[4]
Ibid.,
[5]
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 37
[6]
Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta 1989 Hal. 156
[7]
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 38
[8]
Ibid...hal 40
[9]
Ibid..hal 41
[10]
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 42
[11]
Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani, Irsyadul Fuhul, Dar al-Firk, t,th. Hal 6
[12]
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada
media Group. Jakarta 2008 hal 62
[13]
Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, Dar
al-Fikr al-Arabi, 1958 hal. 56
[14] Ibid..60
[15]
Al-Syaukani, Op. Cit., hlm. 29
[16]
Harun Nasution, Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, Jakarta. UI Pres 1978. Jilid II hal 7
[17]
Abdul Wahab Khalaf, sejarah hukum Islam. Marja, Bandung 2005, hal. 27
[18]
Ibid.,
[19]
Ibid., hal. 28
minta ijin ngopy pak. smg bermanfaat. trmksih.
BalasHapus