Kamis, 26 April 2012

AYAT-AYAT DAN HADIS-HADIS HUKUM

AYAT-AYAT DAN HADIS-HADIS HUKUM
Ahmad Damiri

PENDAHULUAN

Pengaruh perundang-undangan ialah wahyu illahi yang berwujud ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, sedang sumber kedua adalah ijtihad rasul yang berwujud hadis-hadis hukum. Koleksi nash-nash (ayat dan hadis) ini merupakan pengaruh hukum yang ditinggalkan oleh periode rosul dan merupakan undang-undang azasi bagi umat islam. Ia merupakan dasar bagi perundang-undangan dengan islam dan tempat kembali bagi tiap-tiap mujtahid muslim di masa manapun.
Apabila terjadi peristiwa hukum sedangkan telah ada nash yang pasti, maka tidak ada ruang ijtihad bagi siapapun, di manapun dan sampai kapanpun. Sebaliknya jika tidak ada nash yang pasti atassuatu peristiwa dan masalah, maka ruang ijtihadpun terbuka, hanya saja mujtahid harus berjalan diatas pancaran koleksi nash-nash ini dengan cara mengkiaskan nashnya, atau dari ma’qulnya, seperti prinsip-prinsipnya yang umum. Mujtahid tidak boleh berlawanan dengan nash-nash yang telah ada, atau keluar dari prinsipnya.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ayat-ayat dan Hadis-hadis Hukum
Dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang lain”[1]. Seperti menetapkan haram pada Khamar, atau halal pada air susu
Menurut terminologi ushul fiqh hukum (al-hukm) berarti :
“Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’”
            Abu Zahrah[2] memberikan pengertian tentang hukum adalah Titah (Khitab) Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadh’i
Wahbah az-Zuhaili memasukan kedalam kategori hukum wadh’i diatas hukum sah, fasad/batal, ‘azimah, dan rukhshah[3] .
Khitab Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah kalam Allah, kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah yang seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafdzi, yaitu kalam yang mempunyai lafadz dan suara yang berbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an. Maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia[4].
Kalam Allah adalah hukum baik langsung. Seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadis-hadis hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah itu di bidang Tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga.
Dengan demikian, apa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat Ahkam dan teks hadis Ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain, Abdul Karim Zaidan[5], secara langsung menafsirkan pengertian Khitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti sunnah Rasulullah, ‘Ijma’ dan dalil-dalil Syara’ lain yang dijadikan Allah Sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukumnya. Sunnah Rosulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena merupakan petunjuknya juga sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nazm ayat 2-3
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa Rosulullah tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian juga dengan ijma harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, khitab Allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh Syara’, sehingga apa yang dimaksud Khitab dalam definisi diatas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misalnya fiirman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 1[6]
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan ketika berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya”.
Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau sunnah rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang populer disebut dengan ayat-ayat ahkam dan hadis ahkam.
Bila dicermati definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam[7] :
a.       Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.      Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang dilarang itu sifatnya haram
c.       Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub
d.      Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.       Memberi kebebsan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah
f.       Menetapkan sesuatu sebagai sebab
g.      Menetapkan sesuatu sebagai syarat
h.      Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang)
i.         Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal
j.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan Rukhshah

B.     Cara membedakan Ayat atau Hadis Ahkam dengan Ayat atau Hadis yang bukan Ahkam
Pembagian ayat hukum dan hadis hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang ciri-ciri Ayat Ahkam dan Hadis Ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam atau mana yang hadis ahkam dan mana yang bukan. Bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi adalah :
Pertama, Bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh. Istilah hukum disamping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat-ayat atau hadis-hadis hukum, juga digunakan untuk menyebutkan sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum itu. Dalam pembagian diatas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan ditinggalkan sifatnya makruh dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram, mandub, makruh dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal dengan hukum Syara’. Dengan demikian hukum shalat,  misalnya, adalah wajib dan meminum Khamr adalah haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadis karena melihat kepada dalil dan proses pembentukannya hukum. Sedangkan pemakainnya kepada sifat perbuatan mukallaf yang terkena hukum karena mekihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah hukum kepada teks ayat ahkam dan teks hadis ahkam dapat dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukallaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam perkembangannya, kalangan hanafiyah, seperti dikemukakan wahbah Az-zuhaili[8], lebih cenderung mengartikan hukumdengan sifat perbuatan mukallaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fiqh dari kalangan mayoritas ulama. Dibawah ini akan diuraikan pembagian hukum bia dilihat kepada hasilnya.
Perbedaan pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah qadim karena merupakan kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu sifatnya. Sedangkan menurut kalangan hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap perbuatan manusia.
Kedua, seperti dekemukakan diatas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam dan teks hadis ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul wahab Khalaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya itu ada yang secara langsung ditunjukan oleh teks al-Qur’an dan sunnah dan ada pula yang tidak secara langsung ditunjukan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadis yang disimpulkan oleh para ahlinya (mujtahid) dengan kegiatan ijtihad, seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalahketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

C.    Pembagian hukum Syara’
Secara garis besar para ulama Ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah
”ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat[9]
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah “
“ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi)”
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat diketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
a.       Hukum Taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat dzuhur.
b.      Hukum taklifi dapat berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf. Sedangkan hukum Wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, seperti dalam contoh diatas tadi. Keadaan tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat dzuhur.
a.   Hukum Taklifi
Seperti dikemukakan diatas. Istilah hukum dalam kajian Ushul Fiqh pada asalnya adalah teks ayat atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk:
1)      Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengaharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan shalat.
2)      Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
3)      Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
4)      Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
5)      Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan[10].
Pembagian hukum tersebut di atas adalah hukum dilihat sebagai dalil hukum. Selanjutnya, dalam membicarakan pembagian hukum taklifi ini, seperti pernah disinggung sebelumnya, istilah hukum digunakan kepada sifat perbuatan mukallaf. Dari sisi ini hukum taklifi, seperti dikemukakan Abdul Wahab Khalaf, terbagi kepada lima macam, yaitu : 1) wajib, b) Mandub, c) Haram, d) makruh, e) mubah. Dasar pembagian tersebut adalah, bahwa ketentuan Allah dan Rasulnya yang berupa perintah terhadap suatu perbuatan maka perbuatan itu hukumnya wajib, ketentuan yang berupa anjuran untuk melakukan menimbulkan hukum mandub, suatu larangan menimbulkan hukum haram, anjuran untuk meninggalkan perbuatan menimbulkan hukum makruh, dan ketentuan yang memberi kebebasan untuk melakukan dan tidak melakukan menimbulkan hukum mubah.
As-Syaukani menyebutkan keempat macam hukum wajib, mandub, haram, makruh disebut sebagai hukum taklifi karena syari’ menuntut para mukallaf untuk mentaatinya. Sedang mubah disebut hukum Takhyiri karena syari’ memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya atau tidak melakukannya. Sementara sebab, syarat dan mani’ disebut sebagai hukum Wadh’i karena ketiganya menjadi tanda penentu ada atau tidak adanya, serta sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan taklif[11]
b.   Hukum Wadh’i
seperti telah disinggung diatas, hukum Wadh’i adalah ketentuan syari’at dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, sebagai mani’. Dengan demikian hukum wadh’i terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1.      Sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sebab berarti :
“sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum[12]”.
Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.
Secara umum, sebab terbagi dua[13], yaitu sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian, keadaan dharurah yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang. Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti melakukan perjalanan Jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab bolehnya melakukan hubungan seksual.
2.      Syarat
Menurut bahasa kata Syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zeidan, Syarat adalah :
“sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada siluar dari hakikat sesuatu itu”
Misalnya, Wudu adalah sebagai syarat bagi syahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi syahnya akad nikah, namun kedua orang saksi itu merupakan bagian dari akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara syarat danrukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah misalnya seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut, sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah salah satu rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat
Syarat ada dua macam[14], yaitu Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti haul (genap setahun) yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus juga menjadi penyempurna ibadah nishab, yang merupakan sebab wajibnya zakat. Atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya pelaksanaan had potong tangan, namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang dicurinya itu diambil dari tempat penyimpanannya yang rapi serta terjaga secara ketat. Kedua, syarat yang menyempurnakan musabab, seperti wudhu, menutup aurat dan menghadap kiblat dalam shalat
3.      Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, kata mani’ berarti :
“sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab”
Sebuah akad misalnya dianggap syah bilaman telah mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanya suatu penghalang (mani’). Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani’ (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
D.    Jumlah ayat-ayat dan hadis-hadis hukum
Al-Qur’an gsebagaimana dinyatakan al-syaukani adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulnya Muhammad ibn Abdullah, dalam bahasa arab dan maknanya yang murni, yang sampai kepada kita secara mutawatir[15]. Rangkaian kalam-kalam Allahtersebut kini telah tertuang secara sempurna dalam sebuah kitab suci yang diberi nama al-qur’an al-Karim, yang secara keseluruhan berisi ajaran-ajaran akidah, syari’ah (norma-norma hukum), serta norma-norma Akhlak bagi umat manusia ini. Tuhan mengatur kehidupan mereka di dunia ini dengan ajaran-ajaran yang langsung dia turunkan lewat rasulnya ini, dalam rangka memberi petunjuk kepada mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari total ayat Al-Qur-an yang mencapai 6360, ayat hukum menurut persi perhitungan Abdul Wahab Khalaf yang dikutip harun Nasution, hanya mencapai 368 ayat, atau kurang lebih 5,8% dari total keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an[16]. Distribusi dari ayat-ayat tersebut adalah:
1.      Aspek ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji sebanyak 140 ayat.
2.      Aspek kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, mawarits dan yang sebangsanya sebanyak 70 ayat
3.      Aspek perekonomian yang berkaitan dengan masalah perdagangan, sewa menyewa, kontrak dan hutang piutang sebanyak 70 ayat
4.      Aspek kepidanaan yang berkaitan dengan norma-norma hukum tentang pelanggaran kriminal sebanyak 30 ayat
5.      Aspek qhada yang berkaitan dengan persaksian dan sumpah dalam proses pengadilan sebanyak 13 ayat
6.      Aspek politik dan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan hubungan pemerintah dengan warganya, sebanyak 10 ayat
7.      Hubungan sosial antara umat islam dengan non islam, serta hubungan negara islam dengan negara non islam sebanyak 25 ayat
8.      Hubungan kaya miskin, yakni peraturan-peraturan tentang pendistribusian harta terhadap orang-orang miskin, serta perhatian negara mengenai hal ini. Ayat-ayat yang mengatur persoalan ini berjumlah 10 ayat
Jumlah materi nash dalam periode rosul tidak banyak jumlah ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu mengenai jihad, berjumlah sekitar 140 ayat. Jumlah ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan muamalat, ahwal syakhsiyah (keluarga), jinayat peradilan, dan kesaksian, sekitar 200 ayat. Jumlah hadis hukum dalam berbagai macamnya berjumlah sekitar 4500 hadis sebagaimana telah disebut oleh Ibn al-Qosim dalam kitabnya I’lam al-Muqi’in.
Kebanyakan hadis hukum merupakan penjelasan bagi hukum al-Qur’an yang masihmujmal, atau merupakan taqrir (penetapan hukum), atau merupakan tauqid (penguat hukum), sedangkan selainnya merupakan tasyri’ terhadap apa yang didiemkan oleh al-qur’an.
Ayat-ayat hukum dalam al-qur’an terserak dalam sejumlah surat,  ayat-ayat khusus mengenai cabang perundang-undangan tidak terhimpun dalam satu surat. Ayat-ayat keperdataan yang berjumlah sekitar 70 ayat juga terserak dalam sejumlah surat. Demikian pula semua ayat hukum yang lain.
Adapun hadis hukum ia telah dikumpulkan oleh para ahli hadis menurut bab-bab fiqh. Hadis-hadis tentang jual beli dihimpun dalam babul ba’i (bab jual beli), demikian pula hadis-hadis tentang gadai, syirkah , hudud, dan lain-lainnya. Satu hal yang memudahkan kepada kita adalah bahwa setiap cabang perundang-undangan telah dikumplkan sejumlah ayat hukum secara khusus serta atsar para sahabat dan tabi’in yang menjelaskan penafsiran bagi nash-nash itu. Koleksi ini merupakan hak azasi yang terdapat dalam al-qur’an dan al-sunnah, yang secara khusus mengatur tiap cabang perundang-undangan[17]  .
E.     Uuslub (Gaya Bahasa) Nash
Ayat-ayat dan hadis-hadis hukum tidak menggunakan bentuk gaya bahasa dalam menerangkan apa yang disyariatkan, melainkan menggunakan bermacam-macam gaya bahasa dan berbagai shighat (bentuk kata) untuk mengungkapkan hukum.
            Nash-nash yang menunjukan keharaman, kadang-kadang diungapkan dalam bentuk larangan melakukan apa yang diharamkan itu. Kadang identifikasi keharaman tersebut ditunjukan dalam bentuk ancaman terhadap orang yang melakukan, dan kadang dengan menjelaskan bahwa hal itu tidak dihalalkan atau hal itu diharamkan[18]
            Nash-nash yang menunjukan kewajiban kadang diungkapkan dalam bentuk amar atau perintah atas sesuatu yang diwajibkan itu, kadang diungkapkan dengan bentuk wa’id (ancaman) pada siapa yang meninggalkan dan kadang-kadang dengan menjelaskan bahwa hal itu diwajibkan, difardlukan, atau ditetapkan.
            Adapun yang menjadi sebab bermacam-macamnya gaya bahasa , ialah bahwa nash-nash itu disyariatkan dalam waktu-waktu yang berlainan menurutkejadian, situasi dan kondisi. Bagi tiap-tiap situasi dan kondisi diperlukan gaya bahasa yang kontekstual. Kadang-kadang kondisi mengharuskan pengharaman sesuatu dengan bentuk ancaman terhadap seseorang yang melakukannya. Kondisi mengharuskan peng-tasyri’-an hukum secara khusus, dan mengharuskan gaya bahasa yang khusus pula untuk menjelaskannya.
            Sebab lain bagi bermacam-macam gaya bahasa ialah karena al-Qur’an tidak bermaksud menjelaskan apa yang dikandungnya yakni masalah aqidah, akhlak dan hukum semata-mata, melainkan juga untuk i;jaz (membuktikan ketidakmampuan manusia membuat gaya yang menyamai Al-Qur’an), agar menjadi bukti atas kebenaran Rasul. Diantara aspek-aspek i’jaz ialah keanekaragaman dan keindahan gaya bahasa.
            Sebagaimana gaya bahasa dari nash-nash itu bermacam-macam dari segi shighat dan ibaratnya, maka gaya bahasa itu bermacam-macampula dalam aspek lain, yaitu disertainya hukum-hukum yang disyariatkan dengan penjelasan ‘illat-nya dan hikmah disyari;atkannya hukum itu. Sebagian lagi menetapkan hukum tanpa penjelaskan illat-nya.
            Hikmahnya ialah bahwa syari’ dengan menerangkan ;illat hukum dan hikmah pada sebagian hhukum-hukum, adalah untuk membuka akal pikiran bahwa hukum-hukum yang bersifat tasyri’ itu bukan termasuk bidang ta’abudi (bidang peribadatan), melainkan ia ber’illatkan kemaslahatan umat manusia. Disini terbuka pintu ijtihad untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan menolak kemudharatan.

F.     Jenis-jenis hukum yang dicakup oleh nash
Jenis hukum pada garis besarnya dibagi atas tiga bagian, yaitu :
a.                   Hukum I’tiqodiyah, yakni yang bertalian dengan keimanan kepada Allah, malaikatnya, kitabnya, rasulnya, dan hari kemudian.
b.                  Hukum Khuluqi, yakni yang bertalian dengan sifat-sifat utama yang diwajibkan kepada manusia untuk berhias dengannya, dan sifat-sifat hina yang diwajibkan manusia menjauhinya.
c.                   Hukum A’mali, yakni yang bertalian dengan perbuatan=perbuatan para mukallaf berupa ibadat, muamalat, jinayat, persengketaan, perjanjian, dan transaksi-transaksi
Jenis pertama merupakan dasar agama, sedang jenis kedua merupakan pelengkap dan  penyempurna dasar itu, al-Qur’an telah menjelaskan kedua jenis ini dan Al-Sunnah telah melengkapipenjelasan itu, mengulasnya, serta menegakan bukti-bukti kebenarannya.
            Ajaran Islam diawali dengan dua jenis hukum yang pertama dan kedua (akidah dan akhlak). Maka, umat islam ketika berada di mekkah hanya menerima khitab (titah agama tentang urusan akidah dan akhlak). Penanaman akidah dan meluruskan akhlak, keduanya merupakan asas yang diatasnya ditegakan tiap-tiap perundang-undangan dan peraturan.
            Jenis yang ketiga adalah hukum ‘amali, yaitu fiqh searti dengan kata hukum. Orang yang meneliti  fiqh, Al-Qur’an dan A;-Sunnah akan mendapati bahwa tiap cabang hukum dari cabang perundang-undangan ada legitimasi ayat-ayat Al-Qur’an-nya.
            Cabang ibadat dan rangkaian-rangkaiannya terdapat kira-kira 140 ayat, untuk cabang ahwalsyakhsiyah yaitu perkawinan, perceraian, pewarisan, wasiat, pengampunan, dan lain-lain terdapat sekitar 70 ayat cabang muamalat (pergaulan materi) yang meliputi jual beli, sewa menyewa,, gadai menggadai, perserikatan, perdagangan, utang piutang, dan lain-lain, terdapat 70 ayat[19] .
            Pada bab-bab tersebut terdapat banyak hadis, sebagian dari hadis itu menjelaskan hukum yang mujmal dalam al-Qur’an dan sebagian lagi menerangkan hukum yang didiamkan oleh Al-Qur;an. Hukum-hukum yang bersifat Juz’iyi (bagian-bagian hukum) menjadi sempurna dengan adanya beberapa pokok hukum yang bersifat kulliyyi (bersifat umum). Dengan demkian periode rosul telah meninggalkan perundang-undangan yang sempura, yang mampu mencukupi kebutuhan umat islam di segala lingkungan dan masyarakat.
            g. Pembukuan Ayat-ayat dan Hadis Hukum
dalam periode sahabat telah ada sumber Tasyri’ yang pertama yakni ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, suatu hal yang datang secara tiba-tiba yang mempunyai pengaruh abaditerhadap perundang-undangan Islam. Hal yang datang tiba-tiba itu adalah pembukuan ayat-ayat Hukum yang tercakup dalam Al-Qur’an dan penyebarannya di kalangan umat Islam secara merata melalui peraturan resmi, sehingga menjadi mudah bagi umat Islam dimana pun untuk menghapalnya serta mengetahui nash-nashnya tanpa adanya perselisihan, baik satu kata maupun keseluruhannya.
            Hal yang demikian karena Rasulullah dimasa hidupnya telah mempergunakan beberapa sekretaris pribadi untuk menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan. Bila mendapat wahyu, maka Rasulullah lantas membacakannyadi hadapan umat Islam, beberapa orang menulis dan mencatatnya, serta beberapa sahabat yang lain menghapalkannya.
            Setelah Rasulullah wafat, maka seluruh ayat-ayat Al-Qur’an telah ditulis. Banyak diantara sahabat yang hafal Al-Qur’an, baik sebagian maupun keseluruhan Al-Qur’anpenulisan Al-Qur’an pada masa hidup Rosul kadang dilakukan diatas daun kering, kadang diatas kepingan batu putih, dan kadang diatas pelepah kurma. Para penulis wahyu punya sekumpulan tulisan wahyu masing-masing, demikian pula pada beberapa sahabat, dan di rumah Rasul. Wada waktu itu belum terbentuk satupun koleksi lengkap dari ayat-ayat Al-Qur’an.
            Ketika berkecamuk peperangan untuk membasmi kaum yang murtad dimasa pemerintahan Abu Bakar al-Siddiq, banyak diantara sahabat yang gugur di dalam peperangan itu. Maka munculah kekhawatiran ‘Ulil Amri (penguasa pemerintah) atas hilangnya lembaran Al-Qur’an yagn te;ah dihafal oleh para sahabat yang gugur di medan perang. Para sahabat kemudian mengajukan usul kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun catatan-catatan yang berserak menjadi satu Al-Qur’an.
Abu Bakar kemudian menyuruh Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis Al-Qur’an termasyhur dan sahabay yang paling banyak hafal Al-Qur’an, untuk menulis dan mengumpukan ayat-ayat Al-Qur’an. Maka mulailah Zaid mengumpulkan catatan-catatan yang berserak-serak dan kemudian membandingkannya secara teliti antara satu versi dan versi yang lain, guna memperoleh keabsahan yang tinggi. Dalam proses pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, zaid bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, baik dari golongan muhajirin maupun Anshor, pertama kali kumpulan ayat Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar, kemudian diteruskan pengimpanannya oleh Umar bin Khatthab, kemudian diteruskan oleh Umul Mu’minin Hafshah binti Umar
            Pada 20 H, Khalifah Usman bin Affan mengambil kumpulan naskah Al-Qur’an dari tangan Hafshah binti Umar, dan beliau menginstruksikan kepada Zaid binTsabit sertabeberapa sahabat untuk menukil serta melengkapinya, guna disebarkan kepada umat islam. Dengan demikian mudah bagi umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an, dan tidak terjadi perselisihan lantaran perbedaan dialek bacaan. Zaid dan beberapa sahabat telah menulis enam buah naskah, sebuah naskah disimpan oleh Khalifah Usman sendiri, sedang selebihnya dikirim ke Madinah, Makkah, Kufah, Basrah dan Damaskus; Masing-masing diletakan di masjid-masjid umum agar menjadi pedoman bagi umat Islam
            Para sahabat menghafal dan menukil Al-Qur’an tanpa perubahan dan pergantian. Pengaruh abadi pembukuan ini bagi perundang-undangan Islam ialah bahwa ayat-=ayat hukum di dalam Al-Qur’an menjadi mutawatir penukilannya, baik secara tertulis maupun Lisan, dan seluruhnya menjadi Qath’i Wurud(pasti Kebenarannya).
            Umat Islam telah berusaha sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat=ayat Al-Qur’an, dan mengisnadkan para perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini.
            Adapun sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam al-Sunnah, belum dibukukan pada periode ini, sebagaimana al-Sunnah secara keseluruhan juga belum dibukukan. Dalam periode ini khalifah kedua yakni Umar bin Khattab telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun sesudah beliau bertukar pikiran dan bermustyawarah dengan para sahabat, belaiu khawatir terhadap pembukuan al-Sunnah.. mengapa? Karena waktu itu baru dikenal versi al-Sunnah  dai Abdullah bin ‘Amr ibn al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran yang bernama al-Sidiq, yang menghimpun hadis-hadis dari Rasulullah.
            Pengumpulan Hadis dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadis dari seorang perawi yang benar-benar diperkuat oleh seorang saksi. Umar bin Khatab meminta si perawi hadis untuk mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya. Sedangkan Ali bin Abi Thalib meminta agar si perawi hadis bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum bisa merelisir tujuan yang sebenarnya, yaitu permbukuan Al-Sunnah. Belum dibukukannya Al-Sunnah dikalangan umat Islam, setidaknya mengakibatkan dua hal:
1.      Para ulama terpaksa mencurahkan kesungguhan dalam membahas perawi hadis dan tingkatan kepercayaan mereka. Hadis kemudian terbagi dalam dua segi; Qath’iyah Wurud dan Dhanniyah Wurud, kemudian yang Dhanniyah terbagi dalam hadis Shahih, Hasan dan Dhaif, dan kemudian disusunlah al-‘ilmu al-Riwayatal-Hadits, dan untuk itu ditulis beberapa kitab dalam ilmu ini.
2.      Ketiadaan pembukuan Al-Sunnah membawa akibat umat Islamtidak memiliki satu koleksi Al-Sunnah sebagaimana mereka memiliki Al-Qur’an. Hal ini menyebabkan luasnya arena perbedaan pendapat tentang hadis. Kadang terjadi perselisihan pendapat tentang bisa atau tidaknya al-Sunnah dijadikan Hujjah serta sumber perundang-undangan. Juga banyak perbedaan pendapat tentang keabsahan para perawi hadis dan segala seluk beluk masalahnya.
Dalam periode Ijtihad sahabat, belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika benar maka berasal dari Allah, tetapi jika keliru berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri. Para sahabat tidak mengharuskan siapapun-khususnya umat Islam- untuk mengikuti fatwanya, bahkan seringkali Umar bin Khattab menyangkal pendapat Abu Bakar, dan sering kali Zaid bin Tsabit berbantah dengan Abdullah bin Abbas. Para sahabat sering kali berbeda pendapat tentang berbagai kejadian dan rujukan hukumnya. Yang penting maksud sahabat adalah baik, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.




KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan,  Sa’adah. Jakarta 1972
Abdul Wahab Khalaf, sejarah hukum Islam. Marja, Bandung 2005
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta 1989
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta. UI Pres 1978. Jilid II
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958.
Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani,  Irsyadul Fuhul, Dar al-Firk, t,th.
Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008



[1] Abdul Hamid Hakim, al-Bayan,  Sa’adah. Jakarta 1972 Hal. 10
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al- Firk al-Arabi, 1958. Hal 26
[3] Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 36
[4] Ibid.,
[5] Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 37
[6] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Gema Risalah Pres. Jakarta 1989 Hal. 156
[7] Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 38
[8] Ibid...hal 40
[9] Ibid..hal 41
[10] Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 42
[11] Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani,  Irsyadul Fuhul, Dar al-Firk, t,th. Hal 6
[12] Satria efendi. Ushul Fiqh. Peranada media Group. Jakarta 2008 hal 62
[13] Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958 hal. 56
[14]  Ibid..60
[15] Al-Syaukani, Op. Cit., hlm. 29
[16] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta. UI Pres 1978. Jilid II hal 7
[17] Abdul Wahab Khalaf, sejarah hukum Islam. Marja, Bandung 2005, hal. 27
[18] Ibid.,
[19] Ibid., hal. 28

1 komentar: